Saveri sedang berkonsentrasi penuh pada dokumen-dokumen di hadapannya. Hari ini dia sudah mulai resmi bekerja di perusahaan ayahnya setelah melalui rapat pemegang saham dengan hasil Saveri menjadi CEO selanjutnya di Burgeon Group. Tiba-tiba ponselnya yang ada di atas meja bergetar diikuti nama Dafhina muncul di layar ponsel. Saveri tidak lantas menerima panggilan telepon tersebut. Dia menunggu sampai ponselnya berhenti bergetar dan melihat apakah Dafhina akan menghubunginya kembali atau tidak untuk melihat seberapa penting hal yang hendak istrinya bahas di telepon.
Tak berselang lama ponsel Saveri kembali bergetar diikuti nama Dafhina berkedip-kedip di layar. Kali ini barulah Saveri menjawab panggilan telepon tersebut.
“What’s going on, Daf? Why call me?”
Terdengar Dafhina mendesah pelan. “Kamu sibuk apa?” tanya Dafhina sabar.
“Biasalah kerjaan kantor. Agak sibuk karena aku masih penyesuaian di sini,” jawab Saveri sembari menutup map berisi dokumen penting yang baru saja diperiksanya.
“Langsung kerja banget? Nggak cuti dulu sehari? Kamu baru sampai Jakarta dua hari yang lalu, Ver.”
“Baru mulai kerja aja sudah mau ambil cuti. Kamu mau aku ngasih contoh yang tidak benar pada anak buahku?”
“Ya, deh, bos paling teladan, segera tunjukkan pesonamu,”canda Dafhina lalu terkekeh pelan.
Saveri hanya balas dengan tertawa kecil mendengar komentar Dafhina. Inilah hal yang sering menjadi bahan sindiran sekaligus candaan semenjak mereka menikah. Hal itu dikarenakan sehari setelah Saveri dan Dafhina melangsungkan pernikahan di Singapore, Saveri memboyong Dafhina ke Amerika. Bahkan tidak sampai 24 jam setelah mereka menginjakkan kaki di negeri paman sam itu, Saveri langsung bekerja seperti biasanya. Alasannya dia hanya sedang memberi contoh pada anak buahnya tentang makna sebuah loyalitas. Padahal di balik alasan itu, Saveri hanya sedang berusaha menjaga jarak dengan Dafhina. Namun Saveri sama sekali tidak pernah merasa merasa tersinggung meski mendapat sebutan tuan teladan ataupun mister perfect dengan maksud sarkastik oleh Dafhina. Dan belakangan Dafhina mulai menyadari soal itu.
“So, kenapa kamu meneleponku, Daf?” tanya Saveri seolah ingin mempersingkat waktu telepon Dafhina.
“Salah aku menelepon suamiku sendiri? Aku kangen kamu, Veri.”
“C’mon, Dafhina. Cepat katakan apa kepentinganmu?”
Begitulah Saveri. Dia sulit sekali diajak membicarakan hal-hal yang sifatnya romantisme. Bahkan mungkin dia sudah lupa bagaimana cara dan rasanya beromantis ria dengan seorang perempuan. Meski Saveri sudah pernah menghabiskan waktunya dengan beberapa perempuan, sejak mengenal Madilyn dia hanya bersikap romantis pada Madilyn. Hanya Madilyn yang mampu membolak balikkan emosi jadi seperti ini.
“Ya, ya, ya. Aku akan to the point. Ada undangan lelang penggalangan dana untuk korban perang di negara yang saat ini sedang mengalami konflik panas. Kebetulan orang tuaku member dari yayasan amal yang mengadakan penggalangan dana itu.”
“So?” jawab Saveri santai tapi tatapannya fokus pada pergerakan saham perusahaannya di layar laptop.
“Biasanya Papi dan Mami yang datang ke acara itu. Tapi Papi sedang kurang sehat dan Mami nggak mungkin datang ke acara itu sendiri tanpa Papi.”
“Oh,” jawab Saveri kemudian meletakkan ponselnya di atas meja, menyalakan pengeras suara dan jemarinya bergerak di atas keyboard laptop untuk mengetik sesuatu.
“Orang tuaku memberikan undangan mereka untuk kita. Kamu bisa menemani aku hadir ke acara itu, Ver?”
Terdengar suara helaan napas pelan lalu gumaman dari mulut Saveri. Sementara itu tangannya terus bergerak untuk mengetik.
“Veri? Are you listening to me?”
Saveri mengalihkan pandangannya dari layar laptop ke ponselnya. “Iya dengerin, tapi sambil kerja.”
“Kamu telponan sama aku sambil kerja? Nggak bisa ditinggal sebentar aja kerjaan itu?”
“Ya, gimana… Kamu telponnya posisi aku memang lagi kerja.”
“Tapi ini jam makan siang, loh. Anak buah kamu aja sekarang pasti lagi pada makan siang di luar kantor. Masa kamu yang bosnya malah stay di kantor?”
“Kamu maunya aku istirahat makan siangnya di luar kantor? Tahu sendiri gimana susahnya menghubungi aku kalau sudah kerja di luar kantor?”
Dafhina mengembuskan napas kasar. “Oke, oke. Jadi kamu bisa temenin aku datang ke acara penggalangan dana itu nggak?” tanya Dafhina pasrah.
“Memangnya kamu nggak bisa datang sendiri?”
“Ya, minimal kamu mikir sebelum bertanya, Saveri. Kalau aku datang sendirian di acara yang notabene separuh dari tamu undangan yang hadir nanti itu kenal kedua orang tuaku dan anak mereka yang bernama Dafhina. Tak sampai di situ mereka semua yang kenal kedua orang tuaku bisa dipastikan juga ikut hadir di acara pesta pernikahan kita. So, masih mau nyuruh aku datang sendiri ke acara itu?”
“Tema acaranya seperti apa? Seperti pesta atau makan malam biasa?”
“I don’t know. Tapi kata Mami pakai pakaian resmi. Dresscode laki-laki setelan jas lengkap dan perempuannya gaun malam.”
“Aku sedang malas pakai setelan jas. Diganti kemeja putih dan celana kain hitam saja bisa nggak?”
“C’mon, Saveri! Kamu mau dikira waitress di acara itu?”
Saveri tertawa terkekeh. “Ada yang salah dengan waitress? Aku nggak masalah sebenarnya.”
“Aku yang masalah. Nggak usah aneh-aneh. Kamu mau nemenin apa nggak?”
“Iya mau. Tapi nggak usah pakai dasi.”
“Saveri!”
“Oke, fine. I’ll go.”
“Gitu kek, dari tadi. Seneng banget bikin tensi aku naik. Kamu mau aku cepat tua? Biar kamu punya alasan buat berpaling ke yang lebih muda?”
“Kamu jangan terlalu jauh mikirnya. Lagipula nggak ada hubungannya antara tensi darah dengan proses penuaan.”
“Tapi beneran ya, kamu bisa nemenin aku ke acara penggalangan dana?”
“Kapan acaranya?”
“Sabtu malam, weekend ini.”
“Sekarang hari Kamis, acaranya Sabtu besok dan kamu baru bilang?”
“Ya, gimana lagi? Kalau ngabarinnya jauh-jauh hari yang ada kamu pasti punya waktu berpikir untuk menggagalkan kesiapan kamu.”
“Ya, tapi nggak harus mepet gini jugalah.”
“Iya, maaf. Kalau kamu bisa bantu menemani aku datang ke acara itu, aku bakal hutang budi sama kamu, Ver. Kamu boleh meminta imbalan apa pun.”
Saveri terdiam selama beberapa detik. Kesempatan itu dia jadikan waktu untuk memikirkan hal apa yang menjadi tujuan sebenarnya Dafhina tampak begitu ngotot ingin mengajaknya pergi ke tempat itu. Dafhina memang suka mendatangi acara-acara pesta apalagi pesta amal seperti itu ketika di Amerika. Tapi di sana dia datang bersama teman-teman yang sudah cukup akrab dengannya. Bahkan meski Saveri tidak mau menemani Dafhina sama sekali tidak pernah merasa keberatan. Sementara di sini dia terbilang baru dalam acara-acara seperti itu. Ditambah lagi dia sampai seperti sedang menyogok Saveri agar mau menemaninya kali ini. Tentu saja membuat Saveri curiga pada sikap Dafhina yang tidak biasa kali ini.
“Oke, deal,” ujar Saveri tiba-tiba. “Tapi aku sendiri yang menentukan pakaian apa yang akan aku kenakan di acara itu.”
“Tapi aku sudah siapin pakaian untuk kamu, Veri. Please! Sekali ini saja.”
“Atur sajalah, Daf,” ujar Saveri pasrah agar Dafhina segera mengakhiri panggilan teleponnya dan dia bisa kembali bekerja dengan tenang.
“Good boy. Anyway, kamu sudah makan siang?” tanya Dafhina lagi.
“Nanti saja agak siang. Aku masih kenyang,” jawab Saveri singkat. “Sudah nggak ada yang mau diomongin lagi, kan? Aku sudahi dulu ya, teleponnya. Kalau ada yang perlu dibicarakan lagi nanti saja setelah aku pulang.” Kemudian sambungan telepon diakhiri secara sepihak oleh Saveri.
~~~
^vee^