7. Ingatan Masa Lalu

1615 Kata
Malam ini si kembar menginap di rumah orang tua Madilyn. Katanya mereka masih kangen pada Opa dan Oma. Madilyn tidak bisa berbuat banyak jika anak-anaknya itu sudah berkehendak. Suasana rumah begitu sunyi tanpa kehadiran si kembar yang tidak pernah kehabisan energi meski seharian sudah menghabiskan waktu untuk beraktivitas. Namun entah kenapa kesunyian di rumahnya sama sekali tidak mampu membuat kedua mata Madilyn terpejam dengan mudah. Selama ini Madilyn sering mengeluh kalau kehebohan si kembar di malam hari terkadang membuatnya sulit tidur padahal sudah ngantuk berat. Lalu lihatlah yang terjadi saat ini? Justru keheningan membuatnya jadi memilih menghabiskan waktu untuk memikirkan banyak hal ketimbang tidur lebih awal dari biasanya. Yang pertama kali dia pikirkan adalah momen ketika melihat Saveri berjalan bersisian bersama Riyo siang tadi. Dia yakin pertemuan ayah dan anak itu pasti akan terjadi suatu hari nanti, tapi dia tidak menyangka momennya terjadi secepat ini ditambah tanpa rencana. Jantungnya tiba-tiba berdenyut mengingat dirinya pernah mengirimi pesan singkat pada Saveri sebelum akhirnya dia menutup semua akses komunikasinya dengan ayah biologis si kembar itu. Di dalam pesan itu Madilyn mengatakan bahwa dia sudah memenuhi keinginan Saveri untuk menggugurkan calon bayi mereka sekaligus meminta Saveri untuk tidak muncul di hadapannya lagi baik sengaja maupun tidak sengaja. Kini tubuhnya gemetar ketakutan membayangkan reaksi Saveri saat tahu dirinya telah dibohongi habis-habisan oleh Madilyn. Tiba-tiba saja perasaan bersalah diiringi sakit hati yang begitu mendalam datang bersamaan dalam hati Madilyn. Setetes buliran bening tanpa terasa jatuh di pelupuk matanya. Lalu kemudian laju ingatan tentang dirinya dan Saveri di masa lampau datang memenuhi pikirannya. Hari itu Madilyn diajak teman satu mess sekaligus satu-satunya teman yang Madilyn kenal ketika dia baru pertama kalinya menginjakkan kaki di kampus menonton pertandingan basket antar jurusan. Namanya Kaitlyn, panggilannya Kate. Kebetulan yang tanding saat itu adalah tim basket dari jurusan Madilyn. Karena memang belum punya kegiatan apa pun di kampusnya Madilyn masih punya banyak waktu bahkan untuk sekadar menonton pertandingan basket. Ketika tim dari jurusannya tanding Madilyn menandai salah seorang pemain dari tim lawan yang bermain dengan sangat lincah dan beberapa kali melakukan long shot tepat sasaran. Madilyn terus menatap ke arah pemain lawan tersebut untuk mencari tahu profil pemain lewat nama yang ada di punggung. Setelah mengawasi selama beberapa saat Madilyn akhirnya tahu nama pemain itu adalah VERI. Singkat cerita tim VERI menjadi pemenangnya. “Kau mau tahu sebuah informasi, Meidy?” tanya Kate sesaat setelah pertandingan telah usai, tapi mereka masih enggan meninggalkan gymnasium berbarengan dengan penonton yang lainnya. “Apa itu, Kate?” “Salah satu pemain dari tim lawan adalah orang Indonesia sepertimu,” ujar Kate antusias. “Oh, ya? Yang mana?” tanya Madilyn penasaran. “Wait!” Kemudian Kate menyapu pandangannya ke segala penjuru gymnasium dan tatapannya berhenti pada sosok yang tengah berjalan sambil menyeka lehernya dengan handuk olahraga. “Nah! Itu dia!” ucapnya sambil menunjuk ke sebuah titik yang kini menjadi poros perhatian Madilyn. Laki-laki itu adalah pemain lawan yang sedari tadi mencuri atensinya. Sosok yang mengenakan kaus tim basket dengan nama punggung VERI. Madilyn terkejut ketika Kate tiba-tiba menarik tangannya dan mengajak ke arah laki-laki tersebut. Madilyn agak sangsi sebenarnya tentang pernyataan Kate kalau pemain basket bernama punggung VERI tersebut adalah orang Indonesia seperti dirinya, melihat postur tubuh laki-laki itu yang tentunya di atas rata-rata tinggi laki-laki Indonesia pada umumnya. Dan ketika posisinya semakin dekat Madilyn bisa melihat bahwa warna bola mata laki-laki itu juga sangat unik dan tentunya tidak dimiliki oleh orang Indonesia yang cenderung memiliki warna bola mata coklat gelap atau hitam seperti warna bola matanya. Dan ketika matanya akhirnya bisa menatap bola mata hazel itu lebih dekat, Madilyn hanya sanggup menunjukkan wajah melongo sambil menggumam dalam hatinya, “His eyes so beautiful.” Sosok di hadapannya bisa dibilang merupakan orang Indonesia paling tampan yang pernah ditemuinya, terlepas laki-laki itu memiliki darah murni Indonesia atau blasteran negara lain. Madilyn pernah melihat laki-laki yang hanya sekadar tampan saja tapi tidak mampu membuatnya terpesona apalagi terpikat dengan mudahnya. Akan tetapi laki-laki di hadapannya ini adalah paket lengkap. Dia tampan, mempesona dan sungguh memikat hati Madilyn dengan mudahnya. Apalagi senyumnya. Rasanya seluruh dunia ikut tersenyum hanya dengan melihat senyuman laki-laki itu. “Hai, Veri. Sorry mengganggu waktu istirahat kamu. Perkenalkan dia teman saya. Dia dari Indonesia juga seperti kamu,” ucap Kate lalu menyentuh bahu belakang Madilyn, seolah memberi kode pada temannya itu agar memperkenalkan dirinya sendiri pada Veri. “Hallo. Perkenalkan nama saya, Madilyn. Panggil saja Medy,” ujar Madilyn sambil menyodorkan tangannya saat menyebutkan nama. “Hay, hallo. Salam kenal. Saya Saveri. Panggil saja Veri,” ujar Saveri sembari menjabat tangan Madilyn. Demi Tuhan, jantung Madilyn berdebar kencang saat itu. Tulang sendinya seketika luluh lantak ketika kulitnya bersentuhan dengan kulit lembab Saveri. Tangan mungilnya terasa pas dalam genggaman Saveri. Bukan sekali ini Madilyn berjabat tangan dengan laki-laki. Namun entah kenapa dia merasa ada perasaan yang tidak pernah muncul ketika dia berjabat tangan dengan laki-laki sebelum ini. Ada rasa tenang dan nyaman ketika Saveri menggenggam tangannya. Lalu ketika tangan mereka berpisah, bisa-bisanya Madilyn merasa hampa dan kehilangan. “Kate! Kaitlyn!” Tiba-tiba terdengar suara lain menyerukan panggilan pada nama Kate. Membuat Kate memutar kepala mencari sumber suara tadi. Dia menemukan teman satu negara dengannya tengah mengangkat tangan setinggi-tingginya, seolah ingin menunjukkan keberadaannya pada Kate. Begitu juga dengan Kate yang kini sedang mengangkat tangan membalas kode temannya itu. “Meidy, I apologize for the inconvenience. Tapi saya harus meninggalkan kalian. Saya harus menemui teman dulu sebentar. Kalian berdua silakan mengobrol. I will be right back.” Kemudian tanpa menunggu persetujuan apa pun baik dari Veri apalagi dari Madilyn, sosok Kate sudah hilang begitu saja. Madilyn ingin protes. Namun rasanya percuma karena temannya itu sudah melesat pergi dan meninggalkan dirinya berdua dengan Saveri. Madilyn pikir suasana canggung pasti akan tercipta bila dia tiba-tiba bersama dengan orang yang benar-benar baru dikenalnya. Dia juga mengira kemungkinan terburuknya Saveri merasa bosan lalu meninggalkan dirinya begitu saja. Namun dugaannya salah Saveri justru mengajaknya duduk di salah satu sisi tribun yang sudah kosong. Herannya Madilyn bisa menurut begitu saja pada ajakan Saveri. Padahal selama ini dia selalu berusaha menjaga jarak jika hendak diajak berbicara dengan laki-laki asing berduaan saja seperti sekarang ini. Terlebih setelah dia mulai kuliah di luar negeri. Jiwa-jiwa introvert-nya meronta-ronta ketika dipaksa menghadapi suasana, lingkungan dan orang-orang baru dalam hidupnya. “By the way kamu di sini ambil kuliah apa?” tanya Saveri sambil menatap lurus lawan bicaranya. “Seni.” “Wow, calon seniman.” “I hope so.” “Seni apa yang paling kamu suka dan yang akan menjadi concern kuliah kamu?” “Seni lukis.” “Kamu suka melukis?” “Tentu saja. Kalau aku suka musik tentu saja aku lebih seni musik atau sekolah alat musik yang aku gandrungi.” Saveri tertawa. Lutut Madilyn benar-benar lemas saat itu. Beruntung kini dia sedang duduk di tribun. Kalau saja Saveri tertawa ketika mereka berdua masih berdiri seperti tadi, bisa dipastikan Madilyn mendadak jatuh lunglai di atas lantai gymnasium. Otaknya pun tiba-tiba membeku selama beberapa saat. Yang dilakukan oleh Madilyn selama beberapa detik terakhir adalah menyimpan wajah Saveri ketika tertawa dalam memori ingatannya. Wajah Saveri meningkat beberapa level lebih menyenangkan ketika tertawa lepas seperti itu. Namun kini Madilyn tidak perlu repot-repot mencari rekaman wajah Saveri ketika tertawa di dalam memori penyimpanan ingatannya karena wajah Saveri ketika tertawa melekat jelas di dalam wajah Sasha. Ralat semakin bertambah usia si kembar, semakin lama anak-anaknya itu mulai memiliki kriteria wajah Saveri ketimbang dirinya yang notabene adalah ibu kandungnya. Hal yang Madilyn patut syukuri di antara kemalangannya masa itu. Wajah si kembar dengan paras kebule-bulean yang merupakan ciri khas wajah Saveri. Sehingga membuat siapapun yang melihat wajah si kembar akan percaya begitu saja kalau ayah mereka adalah seorang bule. Namun semenjak kejadian di bandara siang tadi Madilyn sedikit menyesal kenapa wajah anak-anaknya terlalu mirip dengan laki-laki bejad yang telah menghancurkan masa depannya. Membuat Madilyn juga khawatir jika suatu hari Saveri bertemu dengan mereka lalu dia sadar soal kemiripan mereka dan pada akhirnya tahu tentang keberadaannya anak-anaknya. Lebih buruknya lagi Saveri akan menuntut Madilyn dengan berbagai tuduhan. Mengerikan. Sayangnya, meski dihantui ketakutan seperti itu Madilyn tetap berpegang teguh pada pendiriannya untuk tidak akan pernah menyampaikan apa pun pada Saveri soal kehidupan anak kembar mereka. Madilyn yakin suatu hari nanti dia akan menemukan sosok laki-laki yang sepadan dan mau menerima dirinya sepaket dengan anak kembarnya, seperti yang dikatakan oleh ayahnya. Ingatan Madilyn tentang sosok laki-laki yang merupakan cinta pertamanya, laki-laki pertama yang menjadi pacarnya, laki-laki pertama yang menyentuh hati serta tubuhnya dan juga laki-laki pertama yang menggores luka hebat dalam hatinya berhenti. Semua perasaan untuk Saveri menumpuk jadi satu selama sepuluh tahun terakhir. Sedih, marah, kecewa, sakit hati, rindu dan juga cinta. Madilyn sampai bingung perasaan mana yang porsinya paling besar karena semua telah melebur menjadi satu dan membentuk perasaan yang kini masih mendominasi penuh dalam hati Madilyn. Hal itu yang membuat hingga detik ini Madilyn sama sekali belum pernah bahkan mencoba untuk membuka hatinya pada laki-laki lain. Tidak, dia tidak menunggu Saveri datang lagi dalam kehidupannya. Sama sekali tidak ada pikiran seperti itu. Dia hanya ingin menyembuhkan lukanya dulu sebelum bertemu dengan orang baru. Dia ingin bertemu orang baru dengan luka yang telah sembuh. Dan mungkin inilah waktunya. Hal kedua yang menjadi beban pikiran Madilyn malam ini adalah perkataan sang ayah siang tadi. Sepertinya tidak ada salahnya mengikuti saran Ayah untuk mulai membuka diri pada sosok pria. Sudah waktunya Madilyn mulai memikirkan untuk mencari pendamping hidup dan bisa dijadikan figur ayah bagi anak-anaknya. Terlebih si kembar mulai tantrum mempertanyakan soal keberadaan ayah mereka. Bahkan si kembar mulai menggali informasi tentang sosok ayahnya lewat Oma dan Opa, karena hingga detik ini Madilyn sama sekali belum pernah membicarakan tentang hal sensitif itu dengan anak kembarnya. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN