"Saya ga mau lagi ikut acara begituan, Pak!"
Agam yang sedang menyetir mobil mengantarkan Via pulang itu menoleh kearahnya dengan dingin, "kamu itu pacar saya, jadi harus nurutin apa perintah saya!"
Via melongo seketika, dikira dia babu nya apa?!
"Pura-pura!" tandas Via. "pacar pura-pura ya, Pak!" Via lebih memperjelas, diakhiri dengan dengusan kesal. Agam nampak bodo amat dan kembali fokus ke arah jalan.
"Kayaknya Lea suka deh sama Bapak." Mendadak Via membuka topik ini.
"Emang."
Via melotot horor ke arah Agam, sesantuy itu bosnya menanggapi?
"Bapak udah tahu? Tapi kok biasa aja?"
"Terus saya harus ngapain?" Agam menghentikan mobilnya saat di lampu merah, "harus balas perasaannya? Maaf-maaf saja, hal seperti itu tidak ada dalam kamus saya!"
"Bapak sudah punya pacar, ya?"
"Kamu kok kepo sekali," kali ini Agam menatap Via sepenuhnya, "tugas kamu itu hanya turutin perintah saya, jadi jangan banyak ngomong!" Via pun hanya mendecih pelan mendengarnya sambil mengumpat tertahan, kalau bukan karena terpaksa dirinya tidak akan mau menjadi kacung Agam seperti ini. Mendengarkan segala omongan pedasnya benar-benar menyiksa batinya.
Agam kembali melajukan mobilnya saat lampu hijau, kali ini keheningan yang menguasai keduanya karena Via sudah malas mengobrol lagi, palingan ntar juga disemprot sama Agam. Asem banget!
Tapi ngomong-ngomong soal ucapan yang dikatakan Lea tadi, sepertinya mengandung makna tersirat deh, untungnya setelah itu Lea tertawa dan mengatakan hanya bercanda.
Tapi kok ... matanya menatap sinis kearah Via, ya?
Halah bodo amat!
Via menatap sekitar dengan bingung,
"Pak kok malah ke Mall, sih?!" protesnya sambil menunjuk-nunjuk ke arah luar.
Dengan santai Agam melepas selt belt nya lalu membuka pintu mobil, Via yang merasa dikacangin itu akhirnya hanya mengikuti Agam saja, lagian ngapain sih bosnya pergi ke mall malam-malam? Mau nongki-nongki cantik apa!
"Loh Pak, ngapain kita ke butik?"
"..."
Sekali lagi Via harus bersabar dengan kekacangan Agam, sungguh sepertinya bila berbicara dengan Agam itu butuh kesabaran tingkat dewa. Sudahlah... sudah capek hayati!
Agam nampak berbicara dengan pelayan di butik ini, Via tidak tahu apa yang mereka bicarakan karena Via lebih memilih untuk melihat-lihat baju, cuma lihat-lihat doang soalnya nggak punya uang.
"Permisi, Mbak." seorang pelayan menghampirinya dengan membawa beberapa lampir baju di lengan kanannya.
"Iya, kenapa ya, Mbak?" Via mengernyit bingung.
"Mbak bisa ikut dengan saya untuk mencoba baju-baju ini?" Via menatap baju itu tidak mengerti.
"Maaf, tapi saya tidak memesannya, Mbak." sahut Via langsung, ya kali aja dirinya cuma lihat-lihat disuruh beli baju. Pakai uang siapa, ha?!
"Tuan yang duduk di sana yang yang menyuruh Mbak untuk coba baju ini." Via langsung menoleh cepat ke arah Agam yang malah santai-santai duduk di sofa sambil bermain HP. Via pun akhirnya mau tidak mau menuruti perkataan pelayan itu, mencoba satu demi satu baju yang dibawa nya.
Kali ini rencana apa lagi yang disiapkan triplek itu?!
*****
"Bapak ngapain beliin saya baju sebanyak ini?" Via mengangkat 4 tote bag yang berisi baju itu. Masalahnya baju yang dibelikan Agam ini harganya tidak main-main, ya Via tahu sih orang kaya itu bebas, tapi nggak gini-gini juga keles!
Agam mengangkat satu alisnya sambil bersedekap kearah Via. "Kenapa?" Kamu suka, kan."
"Maksud Bapak?" Via mengerucutkan alisnya tidak paham.
"Itu bonus kamu karena telah bantu saya, semakin banyak kamu bantu saya maka kamu akan mendapatkan semakin banyak barang-barang seperti itu!" Tunjuk Agam.
Via melongo speechless dengan ucapan Agam barusan, "bapak kira saya wanita apaan?!" bukan hanya Via yang terkejut dengan ucapannya sendiri, Agam pun juga terkejut mendengar nada tinggi itu.
"Maksud kamu?" Agam kali ini menurunkan tangannya geram, "bukannya semua wanita itu sama saja, menyukai barang-barang seperti itu!" sambil menunjuk tote bag yang berada di tangan Via itu.
Via memejamkan matanya frustasi, rasanya sangat ingin menendang Agam ke air kobokan. "memang wanita itu suka barang-barang seperti ini Pak," Via kembali membuka matanya dengan kilatan mata yang tidak terbaca. "Tetapi bila Bapak memberikannya sebagai bonus atas kebohongan tadi, maka itu sama saja saya menjual diri saya!" Tegas Via langsung.
"Kenapa sih kamu gengsi banget!" Agam kali ini menunjuk Via dengan jari telunjuknya, "kamu mau jadi pacar pura-pura saya kan juga karena uang, lalu apa bedanya bila saya memberikan kamu barang-barang seperti itu." Tanpa perasaan bersalah Agam mengatakan semua itu, apakah Agam sadar kalau ucapannya itu sangat menusuk hati Via? ah sepertinya tidak.
"Jadi selama ini Bapak anggap saya sebagai wanita murahan." Via menjatuhkan tote bag nya ke lantai.
"Saya tidak pernah mengatakan itu, kamu sendiri yang mengatakannya."
Oh .... bener juga, kan memang dirinya sendiri yang memilih menjual diri demi uang. Via tersenyum kosong menyadarinya. "Apakah Bapak tahu--" ucapannya mengambang di angin begitu saja, seolah ada magnet yang menutupi bibirnya rapat-rapat, melarang dirinya mengungkapkan hal ini.
"Maaf Pak, sepertinya saya harus pulang." Via pun menunduk lalu memutar tubuhnya begitu saja.
"Saya antar!" Agam memegang lengan kanannya dengan lengan kiri yang mengambil keempat tote bag yang terjatuh itu, Via tidak melawan. Dia menurut saat Agam membawanya, karena dirinya sudah muak dengan semua hal yang terjadi dalam hidupnya ini.
Tidak bisakah dia hidup tenang barang sekali saja?!
*****
TBC.