"Selalu ada rasa yang tak tuntas jika itu tentang dia," gumamku lirih saat membaca sepenggal kimat daalm naskah terjemahan yang pagi ini masuk ke emailku untuk final check. Kenapa kalimat itu seolah menyindirku ya, atau aku saja yang terlalu sensitif belakangan ini karena beberapa kali bertemu dengan Bang Fino.
Jujur saja, satu minggu pertama bekerja di kantor pusat membuat jantungku sedikit tak sehat. Bagaimana tidak, aku dan Bang Fino seolah berbagi peran menjadi Tom and Jerry yang hobby main petak umpet. Tiap kali melihat batang hidungnya di kantor, aku langsung sibuk menghindar dan menenggelamkan diri dalam kesibukan. Pokoknya apapun akan kulakukan demi tak bertemu dengan lelaki yang sampai detik ini masih membuat hatiku berdebar menyedihkan.
Sepertinya pernyataan Anin yang menyebutkan bahwa suami boss kami itu jarang muncul di kantor tak berlaku lagi. Karena belum ada setengah jam yang lalu pria jangkung itu mondar mandir di depan ruang kerjaku.
"Mel, makan!" pekik suara Nathan jelas terdengar saat ia membuka pintu kaca di ruang makan kerjaku.
"Gue lagi ngejar deadline, Nath. Satu jam lagi gue kirim ke bagian printing," dustaku sambil membenarkan letak kacamata. Pagi ini aku bangun kesiangan, jadi tak sempat memakai soft lens andalan. Untung kacamata penyelamatku tak pernah tertinggal di dalam ransel.
"Dusta! gue habis dari bagian printing barusan. Apa yang harus elo cek tadi, udah lo kirim kan barusan." Aku membelalak sebal saat Nathan memicingkan mata sambil memutar-mutar telunjuknya di depan mukaku. Sial! alasan jadi tak berguna lagi kalau sudah ketahuan seperti ini.
Aku berdecak saat melepas kacamata dan merenggangkan kedua lengan ke atas kepala. Sepertinya tak afa gunanya juga kalau berbohong pada manusia bernama Nathanael Willy ini.
"Elo kenapa sih akhir-akhir ini? kayak berubah aneh aja gitu tingkah lo, Mel."
"Aneh gimana? perasaan biasa aja deh, gue nggak berubah, gue juga masih makan nasi nggak berubah makan besi." Aku mencebik saat bangkit berdiri untuk menggapai dompet dan ponsel di meja sebelah.
"Sikap lo yang aneh sejak pindah ke ibukota, kayak sering ngelamun nggak fokus gitu, kayak mikirin nasib alam semesta." Nathan masih menatapku penuh curiga. Punya temen kenapa peka banget kayak gini sih?
"Mau makan siang di mana?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Ada kedai bakso juara di sebelah. Bakso uratnya juara banget, Mel." Syukurlah Nathan tak mencecarku lagi. Pria berkulit putih itu malah merangkul bahuku dan menepuknya pelan, seolah tahu kalau aku sedang banyak pikiran.
"Boleh," anggukku langsung setuju. Bakso dengan sambal super banyak langsung membayangi kepalaku. Pasti lezat sekali.
"Oke, gue ke meja Anin dulu kalau gitu," seru Nathan melepas rangkulannya lalu berjalan cepat ke kubikel milik Anin di sebelah kanan lorong.
Aku hanya mengangguk pelan, karena tangan kiriku sambil menarik pintu kaca ruanganku agar tertutup. Aku sengaja tak pernah mengunci ruanganku agar tim yang lain bisa bebas keluar masuk jika sedang menyerahkan laporan pekerjaan mereka.
"Lisa!"
Akhir-akhir ini aku sudah sangat familiar dengan kehadiran Bang Fino yang lebih sering muncul di ruang Bu Nadia. Saat aku menoleh aku memberinya lirikan tajam karena jemarinya menyentuh lenganku. Aku buru-buru menepis tangannya, akan rumit kalau ada orang kantor berpikiran yang tidak-tidak jika melihat ini. Dan aku benci jadi pergunjingan, karena aku sudah kenyang dengan hal itu sejak menyandang status janda.
"Pak Fin... hmm, Pak Hesta," ralatku cepat-cepat ke mode normal sebagaimana seorang kacung memanggil suami bossnya.
"Mau ke mana?"
Ke neraka!
"Ada urusan," jawabku singkat berharap bisa segera lepas dari tatapan sendu pria tampan di depanku ini.
"Mau makan siang, Mel?"
Aku memejamkan mata dramatis begitu mendengar sapaan ramah Bu Nadia dari belakang punggung Bang Fino. Pasangan suami istri ini gemar sekali membuat jantungku diskoan sih?!
"Eh, Bu Nad, iya nih, Bu. Diajakin Nathan makan di sebelah."
"Bakso Damas yang baru buka cabang itu bukan?" tanya Bu Nadia memastikan.
“Iya yang itu, Bu. Komen yang lain sih, enak ... makanya kami mau ke sana. Penasaran, ya kan, Mel?” Nathan yang sudah kembali menyahut dari sebelahku, lalu dengan santainya meletakkan siku di salah satu pundakku.
"Wahh, kebetulan banget kita berdua mau ke sana juga. Bareng aja gimana?" Bang Fino gegas menjawab sebelum Bu Nadia buka suara.
"Bukannya Mas Hesta tadi mau makan sushi ya?" Bu Nadia mengernyit ke arah suaminya. Duuh manisnya adegan di depanku ini, adegan yang justru membuatku tak betah berlama-lama berdekatan dengan pasangan tersebut.
"Cancel deh, kita ke Damas aja, nanti sekalian bungkusin baksonya buat orang rumah," balas Bang Fino melirik sekilas ke arahku. Hal yang membuatku langsung menundukkan pandangan.
"Ya udah ayo berangkat!" Nathan menjentikkan kedua jarinya kegirangan. Pasti sahabatku ini bahagia sekali, karena nanti ujung-ujungnya makan siang kami pasti akan dibayari oleh atasan kami. Ckk ... dasar mental gratisan!
"Anin mana sih?" aku mendadak ingat kalau tadi Nathan bilang mau ke meja kerja Anin untuk mengajak gadis itu turut serta.
"Janjian makan sama Dion ternyata. Inez sama Lila ikut kita kok tapi, nggak masalah kan, Bu Nad?" jawab Nathan beralih menatap Bu Nadia yang sudah berjalan bersebelahan dengan Bang Fino di depan.
"Nggak apa-apa dong, makin rame makin seru. Iya kan?" sahut Bu Nadia dengan senyum lebar. Senyum yang semakin mempertegas lesung pipi yang mempercantik wajahnya.
Bayangkan saja coba, pasangan suami istri yang membuat hatiku panas dingin sekarang ada tepat di depanku. Saling menatap dan melempar senyum. Bahkan beberapa menit lagi kami akan makan bersama selalu. Lagi-lagi aku benci dengan situasi seperti ini, tidak pingsan atau kejang-kejang di tempat a sudah bersyukur sekali.
"Lho, si Anin bukannya masih berantem sama Dion ya?" tanyaku pada Nathan dengan suara pelan.
"Barusan baikan, makanya mereka mau makan berduaan aja. Nggak mau diganggu gugat. Udah biasa banget mereka tuh putus nyambung terus dari dulu, untung bentar lagi kawin, eh ... nikah." Nathan tergelak dengan kalimatnya sendiri.
Aku kenal Anin sejak tiga tahun terakhir, dan kalau dingat-ingat lagi, selama rentang waktu itu, sudah puluhan kali ia curhat kalau sedang putus dan bersitegang dengan sang kekasih. Jadi kalau hari ini gadis itu sudah kembali ceria lantaran hubungannya dengan Dion mulai mencair harusnya aku sudah tak heran lagi. Tapi rasanya tetap saja aku merindukan mulut cerewetnya di saat canggung seperti ini.
Begitu sampai di kedai bakso yang kami tuju, aku langsung mengambil tempat di kursi bamu paling pojok untuk meminimalisir kemungkinn duduk berdekatan dengan Bang Fino. Aku berasalan sedang PMS jadi tak begitu kuat jika harus berdiri dalam antrian. Untuk urusan menu bakso, aku meminta tolong pada Nathan agar ia menyamakan isian bakso untuk kami berdua. Meskipun mulutnya menggerutu tak jelas, untungnya sahabatku itu bersedia juga mengantre untukku juga.
“Lho Anin mau nikah dalam waktu dekat ini?”
Bu Nadia ternyata mengambil duduk tepat di sebelahku, padahal tadi aku berarap Nathan yang mengambil alih tempat itu. Sedangkan Bang Fino duduk berseberangan dengan istrinya. Aku bersyukur selama perjalanan ke kedai hingga detik ini, pria itu jarang masuk ke pembicaraan Bu Nadia dengan kami, para stafnya. Setidaknya jantungku bisa sedikit tenang karena minim mendengar suara beratnya yang sering menerbangkan anganku ke masa lalu.
“Sepertinya sih begitu, Bu?” jawabku apa adanya.
“Waaah, saya baru denger loh.”
“Nanti kalau sudah ada tanggalnya, pasti Anin sebar undangan ke kantor juga kok, Bu. Tenang saja.” balasku lagi sambil tersenyum.
“Berarti Nathan yang pacaran udah bertahun-tahun malah kesalip Anin dong ya?” celetuk Bu Nadia dengan nada bercanda saat Nathan sampai ke meja kami dengan membawa nampan berisi dua mangkuk bakso. Pasti salah satunya untukku.
“Saya sih nyantai, Bu Nad. Windi kan masih kuliah, jadi nggak buru-buru nikah juga. Biar dia lulus dulu deh minimal.” Nathan tergelak kecil begitu duduk tepat di depanku. Windi yang ia sebut tadi adalah nama kekasih Nathan yang sudah dipacarinya hampir lima tahun berjalan.
“Good, laki-laki gentle harus mendukung pasangannya meraih cita-citanya dulu ya, Nath.” Bu Nadia manggut-manggut sambil menuang beberapa sendok sambal ke dalam mangkuk baksonya.
“Iya dong, Bu. Lagian saya lebih pengen lihat Meli nikah dulu daripada saya duluan yang ke penghulu,” sambung Nathan membuatku sontak tersedak kuah bakso yang baru saja masuk ke dalam tenggorokanku.
Sial, dasar kambing nih temen satu! Kenapa harus bawa-bawa namaku ke topik tepi jurang seperti ini coba?
“Heh, kenapa bawa-bawa nama gue deh, Nath?” geramku lalu melempar gulungan tissue tepat mengenai kening Nathan.
“Gue serius, Mel, gue mah masih jauh mikirin nikah. Mending elo salip duluan sana, biar barengan sama Anin,” balas Nathan santai sambil menyuap baksonya yang masih mengepulkan asap panas.
“Lho, lho… Meli udah punya calon emangnya?” Bu Nadia nampak terkejut saat menoleh ke arahku yang masih ternganga.
“Eh, kok jadi bahas saya, Bu?” tanyaku setelah menenggak air putih di depanku.
“Calon? calon suami maksudnya?” aku mendesah pasrah saat Bang Fino mendadak masuk ke perbincangan kami.
“Iya, Mas Hesta. Ya kali calon yang lain. Melisa ini single lho,”
Inilah salah satu alasan aku malas ikut makan siang beramai-ramai dengan teman kantor yang lain. Karena pasti ada saja moment di mana mereka saling menanyakan status dan pasangan satu sama lain.
“Oh, maaf. Saya kira sudah menikah.” Bang Fino menatapku lekat saat memainkan lakonnya untuk mengeruk informasi tentangku. Sial kuadrat!!
“Menikah sih sudah pernah, Pak. Tapi …” seru Nathan menggantung kalimatnya begitu menyadari aku menendang tulang keringnya di bawah meja. Nathan siang ini benar-benar menjelma menjadi sosok sahabat yang super duper menyebalkan. Aku bersumpah akan membuat perhitungan dengan sahabatku yang satu ini.
“Divorce!” selaku dengan nada datar. Aku muak dengan percakapan ini, jadi lebih baik aku terang-terangan saja sekalian. Bodoh amat kalau Bang Fino saat ini mulai mengeraskan rahang ketika sepasang netranya tak lepas dari wajahku.
***