10. Dia Lagi Dia Lagi

1403 Kata
"Elo kok jadi diem mulu dari tadi, Mel?" Nathan menoleh sesekali ke arahku ketika kami sedang dalam perjalanan pulang. Nathan yang menawarkan tumpangan karena Anin hari ini dijemput sang kekasih tercinta. Aku hanya berdeham singkat merespon pertanyaannya. "Gue ada salah ngomong ya?" "Pikir aja sendiri!" semburku menahan kesal. Jalanan di depan kami masih sangat padat merayap. Padahal aku sengaja mengambil lembur beberapa jam, dengan harapan jalanan bisa sedikit lengang. Namun ternyata prediksiku salah besar, ibu kota dan jalanan macetnya tak pernah lekang dimakan waktu. "Hah?" Nathan menautkan alisnya saat kembali menoleh ke arahku. "Makan malam dulu deh, sumpek gue liat macet. Tapi lebih sumpek lagi kalau ada temen gue ngambek!" Nathan dan kepekaannya memang juara. Apalagi dia masih mengingat kebiasaan ngambekku yang selalu bisa diredakan dengan makanan lezat. Buktinya sekarang, pria itu malah membelokkan arah mobilnya ke salah satu mall dan menarik lenganku menuju restoran Jepang cepat saji kesukaanku. "Cerita, Meli, jangan silent treatment mulu sama gue! Nggak asik lho, didiemin kayak gini." Nathan membuka suara begitu kami selesai memesan makanan. Aku menatap Nathan dengan tatapan tajam dan tanpa putus. Andai ini sebuah adegan kartun animasi, mungkin akan ada kobaran api keluar dari kedua bola mataku. "Status janda gue bukan candaan, Nath dan gue gak suka disinggung soal itu di depan orang asing yang … bahkan gue nggak kenal." "Kapan gue bica—" "Tadi pas makan siang sama Bu Nad dan suaminya," potongku cepat-cepat. "Jelas-jelas elo nyinggung soal pasangan. Padahal udah tau kalau gue single," imbuhku lantas menyilangkan kedua tangan di depan d**a. "Astaga, yang itu," Nathan menggaruk pelipisnya sambil memasang raut wajah menyesal. Sepertinya ia memang tak sengaja saat mengutarakan pendapatnya tadi siang, hanya saja ... aku tetap tak suka dengan spontanitas mulutnya yang berlebihan. Apalagi itu dilakukan di depan seorang Arfino Hesta yang sedang aku hindari. Aku kan terlanjur mengaku masih memiliki suami di depan casanova kaleng-kaleng itu. "Iya yang itu!" semburku manyun lagi. Kalau bukan sahabat dekat mungkin sudah babak belur sepasang pipi Nathan saat ini. "Tapi gue nggak nyebut elo janda, Melisa," bela Nathan rupanya masih belum paham juga. “Ya itu sama aja, Nath. Elo nggak ada di posisi gue, makanya nggak paham gimana risihnya gue tiap ada orang yang bahas status gue," ujarku setelah menghembuskan napas panjang. "Sorry, Mel. Lain kali mulut gue pasti akan gue kunci rapat-rapat." Nathan meraih telapak tangan kananku dan menepuknya pelan. Aku hanya mengangguk singkat. Nathan menyesal dengan kalimatnya tadi siang, jadi aku tak ingin memperpanjang lagi perdebatan kami. Sudah cukup setengah hari ini aku mendiamkannya. “Yakin cuma itu aja, yang pengen elo sampaikan ke gue?” tanya Nathan lagi kini menjambak ujung rambutku. “Ya menurut lo?” balasku memicing tak mengerti. “Udah hampir dua minggu elo pindah di kantor pusat. Tapi selama itu pula elo kayak orang kelimpungan. Memang sih kerjaan lo beres semua, perfect semua. Tapi dari kedua mata lo, kelihatan banget tuh kalau elo lagi gusar, Mel. Kayak menyembunyikan sesuatu gitu.” Tuh kan … tak salah memang aku menjuluki Nathan dengan sebutan si paling peka sejak pertama kali dekat dengannya ketika kami masih menjadi mahasiswa dulu. Nathan selalu peka dengan keadaan sekitarnya, apalagi pada perubahan sikap orang-orang terdekatnya. Aku berdecak sekali sambil meringis tipis. “Nyembunyiin apa ya?” “Ya mana gue tahu, Melmel,” cibir Nathan mencebik ke arahku. “Mau tahu atau mau tahu banget?” godaku sengaja tergelak. Nathan dan wajah frustasinya memang selucu itu untuk selalu digoda. “Terserah elo aja deh, Bu Meli.” Perbincangan kami terjeda sesaat ketika kedatangan pramusaji yang membawakan pesanan kami. Egg mayo beef bowl menjadi menu utama pilihanku, sedangkan Nathan nampak antusias saat memindahkan mangkuk berisi satu mangkuk teriyaki. "Jadi gue dimaafin kan?" Nathan memecah keheningan selepas makan malam kami tandas tak bersisa. Ternyata aku memang selapar itu, pantas saja emosiku sangat mudah meledak-ledak sejak tadi. “Kalau mau lebih cepet dimaafin, sekalian take away gih, gue mau menu yang paling mahal. Nanti malam gue lembur lagi, biar besok acara healing gue bebas gangguan," jawabku mengibaskan satu tangan mengarah ke pramusaji restoran. Nathan langsung nyengir kuda lantas memanggil salah satu pramusaji untuk memenuhi permintaanku. "Emang besok mau ke mana? sok banget pake acara healing segala." "Mau ngopi-ngopi cantik sama Anin ke tempat temen." Aku mengiyakan ajakan Mas Hanif minggu lalu untuk sesekali datang ke tempat kerjanya di Sudirman. Apalagi dia selalu mengingatkan hal yang sama setiap kami berpapasan di lobby apartmen. Jadi nggak enak kan kalau terus menerus menolak ajakannya? inget kata mama, pamali nolak rejeki, bikin jodoh menjauh! "Gue kok nggak diajak? gue temen lo juga kan?" protes Nathan membuatku tergelak seketika. "Emang weekend ini elo nggak melepas rindu sama Windi gitu?" cibirku pelan. Biasanya setiap akhir pekan, cuma Nathan yang paling susah diajak ngumpul atau sekedar jalan bareng. Alasannya sederhana, pastilah karena pacaran dengan kekasihnya yang masih ABG kinyis-kinyis itu. "Agenda melepas rindu harus jalan terus dong, enak aja ... kalau sampai cancel. Udah kangen berat gue hampir dua minggu nggak ketemu sama Windi si pujaan hati. Sibuk revisi skripshit dia!" keluh Nathan sambil mendengkus sebal. Sepertinya rindu pada kekasih memang bisa mempengaruhi tingkat sensitifitas seseorang. Nathan buktinya. “Besok mau ke mana sama Anin?" ulang Nathan lagi. Ahh... aku sampai lupa dengan pertanyaannya. "Ngopi di Sudirman, ada temen jadi managernya Coffe shop gitu. Dia punya bakery juga di sebelah coffee shop, jadi sekalian aja." "Temen siapa sih? gue kenal kan?" Aku menggeleng pelan. "Kayaknya sih nggak kenal. Namanya Mas Hanif, temen dari pemilik apartemen yang gue tempati. Dia udah nawarin gue sama Anin sejak kapan hari tau, nggak enak juga kalau nggak dateng." "Gue ikut! sama Windi," putus Nathan secepat kilat. "Oke aja, gue shareloc tempatnya. Besok jam sebelas." aku langsung mengeluarkan ponsel dan mengirimkan lokasi yang kumaksud pada Nathan. Keesokan harinya, aku merasa menjadi jomlowati mengenaskan ketika menyadari aku datang seorang diri. Sedangkan dua sahabatku yang lain datang dengan membawa pasangan masing-masing. Sialan memang! Padahal semalam Anin jelas-jelas berkata akan datang seorang diri. Dasar, teman j*****m. Kalau begini kan rasanya seperti kencan bersama yang terencana. Nathan dan Windi, Anin dan Dion sedangkan aku duduk bersebelahan dengan Mas Hanif. Duuh ... formasi yang luar biasa bikin canggung. "Roti yang ini enak banget, Mas, sumpah!" dengan mulut masih mengunyah, sahabat cantikku itu menunjuk brownies dengan citarasa matcha di depannya. Saat ini kami memang duduk di lantai dua coffee shop. Namun di meja kami penuh dengan hidangan yang berasal dari bake house milik Mas Hanif tepat di sebelah bangunan ini. Namanya Hann Bake house, kata Mas Hanif diambil dari namanya dan nama sang ibu, Hanna. "Itu resep asli dari ibu saya, by the way." Mas Hanif tersenyum penuh bangga. "Waah, enak ya punya ibu yang jago bikin kue," pujiku tulus. Aku langsung teringat sosok mama yang juga jago urusan dapur, tapi bukan untuk kue, melainkan masakan rumahan yang rasanya kuaui sangat luar biasa. "Alhamdulillah, saya akhirnya buka bake house juga karena ide dari ibu." "Ide briliant ketemu sama eksekusi yang ciamik. Gak heran kalau jadi bakery-nya viral dan rame terus, Mas." Kali ini Nathan ikut menambahkan. “Alhamdulillah sih kalau sampe dibilang viral.” Sejak tadi Nathan dan Dion terlihat klop dengan Mas Hanif saat berbincang ngalor ngidul. Mulai dari urusan bisnis, berita terkini bahkan sampai hobby otomotif para lelaki. Ternyata nggak hanya kaum hawa saja yang betah berlama-lama bicara kesana kemari. Para pria kalau sudah bertemu sekutu juga bisa lupa daratan. "Hey, Nif, di sini lo? Seru banget kayaknya." Aku hampir terlonjak saat menyadari ada seorang lelaki tak diundang yang menepuk pundak Mas Hanif. Sosok menjulang yang mendadak saja berdiri di antara aku dan Mas Hanif. "Oyy, elo, Ta? ikut gabung sini!" Mas Hanif malah menggeser kursinya menjauh. Membuat pria yang ternyata kenalannya ini dengan leluasa menarik kursi dan duduk di sebelahku. "Eh, Pak Hesta kenal sama Mas Hanif?" tanya Anin mewakili rasa penasaranku. Bagaimana bisa sih aku selalu bertemu dengan Bang Fino di bumi yang seluas ini? "Kenal dong, kami temen nongkrong bareng," jawab Bang Fino melirik sekilas padaku. Aku tahu karena saat itu aku masih ternganga dengan kehadirannya yang tiba-tiba. "Acara apa ini, Nif? kok ngumpul sama anak-anak Gayatri? ngobrolin bisnis baru atau ... triple date nih?" mantan crush-ku di masa lalu itu kembali melirik tajam ke arahku. "Bisnis mengarah ke triple date sih kalau bisa, mumpung udah pas formasinya," canda Mas Hanif lantas tergelak kecil. Gelak riang yang berbanding terbalik dengan raut wajah Bang Fino yang seolah merasa ... tak rela? Really? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN