8. Gagal Paham

1566 Kata
"Kok Bu Nad, nyetir sendiri ya?" tanyaku begitu selesai memasang sabuk pengaman di depan tubuh. Aku bertanya hal demikian karena tak jauh dari mobil Anin aku melihat Bu Nadia masuk ke mobilnya dan langsung melaju begitu saja. Sore ini aku memang sengaja pulang menumpang mobil Anin karena katanya, gadis ini sedang butuh teman bicara melepas penat akibat pertengkarannya dengan sang kekasih. Ia tak bisa mencurahkan keluh kesahnya dengan leluasa jika bersama Nathan, karena itu Anin sedikit memaksaku untuk menjadi pendengarnya. Diih, korban bucin ternyata bisa berantem juga. "Laah, emang biasanya gitu," jawab Anin santai. Gadis berambut cokelat terang itu mulai mengarahkan mobilnya mengantre untuk keluar area parkir. “Bukannya diantar jemput sama suaminya ya?" Sejak obrolan di acara makan siang tadi, aku jadi sedikit penasaran dengan kehidupan rumah tangga antara Bang Fino dan Bu Nadia. Memang dasar akunya yang bodoh luar dalam kan? menanyakan hal seperti ini memang berpotensi mengoyak hati, tapi mau bagaimana lagi? aku terlanjur ingin tahu dengan pasangan yang membuatku cemburu itu. "Nggak lah, mereka malah jarang kelihatan bareng kok meski kantornya deketan gini." Kantor Bang Fino dekat dari kantor? Informasi baru! Aissh ... ada apasih dengan diriku? kenapa berubah norak lagi pasca bertemu dengan pria itu. Please sadar, Meli!! Dia suami orang! Suami atasan lo sendiri!! "Ohh.." balasku singkat karena tak ingin Anin menganggapku terlalu kepo dengan kehidupan atasan kami. Aku mendesah pelan sambil fokus ke arah jalanan ibukota yang tak pernah lengang ini. "Yang kapan hari itu kayaknya Pak Fino kebetulan aja nganter Bu Nad soalnya anaknya lagi rewel. Katanya habis sakit gitu deh, makanya lagi manja!" Ternyata tak terlalu susah mengorek informasi dari seorang Anin yang memang pada dasarnya suka bicara ngalor ngidul ini. Cukup lempar satu pertanyaan singkat, gadis ceria ini akan langsung menjawab sepanjang jalan kenangan. "Oh, namanya Pak Fino," ulangku seolah baru mendengar namanya. Padahal kan ... ya begitulah. "Yoi, cakep banget ya? husband material banget kan? sebelas dua belas sama Yasir." Anin malah cengengesan saat membicarakan suami dari atasan kami. Ngomong-ngomong Yasir ini nama pacarnya Anin. Mereka sedang perang dingin, entah karena apa. Aku hanya mengangkat kedua bahu. "Nggak tau deh, kan bukan suami gue, Nin." "Diih, elo mah. Ya kali aja elo butuh referensi buat nyari suami lagi, cari yang kayak Pak Fino gitu, Mel. Meski tatapannya tajam, orangnya baik banget." "Suami ya?" aku sontak menggaruk kulit kepalaku yang tak gatal. "Kapan-kapan aja deh." "Kok kapan-kapan sih? emang elo belom move on dari Bayu? diih..." Anin langsung menoleh dan memberiku tatapan penuh tanya. "Gue udah move on, Anin. Cuma lagi males aja kalau harus cepet-cepet cari pengganti. Nggak segampang itu!" Aku tak berdusta krena kenyataannya memang demikian. Lebih mudah melupakan Bayu darpada pria yang menjadi cinta pertamaku itu. Gedung apartemen yang menjadi tempat tinggalku terlihat semakin dekat. Anin mengambil lajur kiri untuk memudahkannya saat masuk area parkir. "Unit lo ada di lantai berapa?" tanya Anin ketika kami sampai di lobby. "Tiga belas." "Woiii... angka keramat," komentar Anin dengan ekspresi berlebihan. "Nggak ah, biasa aja. Malah pemandangan dari sana bagus banget kalau malam. Kapan-kapan lo nginep deh, atau malam ini aja sekalian nginep." Itu tak berlebihan, karena memang begitulah adanya. Aku sering berjam-jam menghabiskan waktu di depan jendela besar kamar sambil menyelesaikan naskah untuk kukoreksi. View gemerlap langit juga meriahnya lampu ibukota benar-benar memanjakan mata. "Kapan-kapan ajalah, malam ini gue nggak bawa baju ganti. Besok pagi juga harus sekalian anter nyokap nganter food tester ke rumah temennya." Ibunya Anin ini punya usaha catering sehat dengan menu lezat yang dibuat dari bahan organik dan tanpa bahan pengawet. Menu yang tidak terlalu cocok untukku karena aku penyuka makanan cepat saji yang sudah klop dengan lidahku. "Hai, Mel," suara tak asing menarik perhatianku dari layar ponsel saat aku menunggu di depan lift dengan Anin. Ternyata Mas Hanif baru saja keluar dari lift sebelah dengan membawa tumpukan map tebal di tangan kirinya. Mas Hanif tinggal di gedung ini juga, jadi seharusnya aku tak terlalu kaget kalau besok-besok akan sering berpapasan dengannya. Pria itu tersenyun manis saat berjalan mendekat. "Baru pulang kerja?" "Iya, Mas. Mas Hanif sendiri?" dengan penampilan segar dan rambut setengah basah dia mirip seseorang yang baru akan berangkat kerja daripada pulang kerja. Tapi sesore ini? "Baru mau berangkat ngecek gerai kopi si juragan," balasnya santai seraya melirik map di tangannya. Juragan yang ia maksud pasti Senopati suaminya Anya. Selain pemilik rumah sakit, dia juga dikenal punya banyak gerai kopi di beberapa titik. "Waah asik tuh kalau diajak ngopi juga?" aku menoleh ke arah Anin yang sudah senyam senyum tak jelas. Gadis ini sama sekali tak terganggu dengan pelototan mataku yang menyisirnya. "Eh, kenalin Mas, ini Anin, temenku. Nin, kenalin ini Mas Hanif. Jangan dengerin ocehan dia ya, Mas," ujarku menahan malu. Anin dan tingkat kepedeannya kadang malu-maluin juga. “Hanif,” Mas Hanif yang pertama kali mengulurkan tangan dengan ramah. “Anin, Mas.” “Boleh kok, kapan-kapan kita ngopi bareng-bareng. Seru juga kayaknya.” Mas Hanif ternyata menanggapi celetukan sahabatku dengan santai. “Jangan dengerin mulut embernya, Anin deh, Mas,” omelku sembari melirik sinis pada Anin yang malah mencebik padaku. Sialan nh temen laknat! “It’s okay kok, Mel. Saya serius juga kok mau ngajakin kalian ngopi di Gold Espresso. Kalau dari sini sih, yang paling deket ya cabang Sudirman.” Mas Hanif malah terkekeh lantas melanjutkan tawarannya. Ini orang beneran ramah nggak kaleng-kaleng atau gimana sih? “Kami nggak mau ngerepotin Mas Han—” “Ini undangan resmi dari saya, Mel, jangan ditolak ya!” Mas Hanif masih mempertahankan senyumnya saat mengangkat telunjuk di depanku. “Ahh … oke,” desahku pada akhirnya. “Anggap aja sebagai jamuan selamat datang kamu ke Jakarta, Meli,” seru Mas Hanif saat menepuk pundakku dua kali. “Oke, have fun ya, saya berangkat dulu. Nanti kalau nggak kemaleman saya bawain muffin kesukaan kamu.” Waktu datang pertama kali ke Jakarta minggu lalu, Mas Hanif dengan ramahnya membawakanku dan mama satu kotak muffin. Kudapan kesukaanku. Lalu akibat obrolan randomnya dengan mama, sekarang pria itu jadi tahu kalau muffin memang sangat mempan memperbaiki mood-ku. “Nggak usah rep—” “Bye, Meli, Anin,” potong Mas Hanif ketika melambaikan tangan pada kami berdua. Terserahlah kalau begitu. Aku tak pernah meminta, tapi rasanya segan juga kalau Mas Hanif terlalu perhatian padaku yang notabene baru saja kenal. Eh … atau aku saja yang terlalu besar kepala ya? siapa tahu memang perangai Mas Hanif yang sebaik itu pada semua orang. “Cakep juga, Mel,” komentar Anin begitu berada di dalam lift yang membawa kami berdua ke lantai atas. “Siapa?” “Yang barusan,” balas Anin. “Mas Hanif?” Anin langsung mengangguk secepat kilat. “Cakep mana sama Dion?” tanyaku balik sambil terkikik. Dion yang kumaksud adalah kekasih Anin, yang saat ini sedang meratapi nasib malangnya akibat didiamkan oleh sahabatku yang satu ini. Entah masalah apa yang mereka dua tengah alami, aku hanya tinggal menunggu hitungan menit hingga Anin menceritakan semuanya gundah hatinya. “Eh, ya cakep Dion kemana-mana dong?” sahut Anin dengan cepat. “Terus kok berantem?” Aku sempat melihat wajah tercengang Anin begitu aku membuka pintu apartment. Raut wajah yang ditunjukkan Anin persis seperti ekspresiku dan mama begitu menyadari begitu mewahnya unit yang aku tempati ini. “Biasalah, beda pendapat. Gue pengen lamaran dulu, eh Dion pengennya langsung akad nikah aja,” jawab gadis itu masih menoleh ke kanan dan kiri mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Setelah meletakkan ransel berisi laptop dan kawan-kawannya di ruang tengah, Aku berlalu ke arah pantry hendak mengambilkan minuman dingin untuk tamu pertamaku di apartment ini. “Ya bagus dong kalau Dion minta langsung sah, lebih cepat lebih baik, Nin. Sat set gitu,” komentarku begitu duduk tepat di sebelahnya. “Sebenarnya sih iya, tapi gue beneran belum siap kalau langsung ijab kabul, Mel.” Anin melepas sweaternya hingga menyisakan blouse lengan pendek berwarna maroon. “Why?” “Pokoknya gue pengen lamaran dulu, terus kasih jarak minimal setahunan gitu deh sambil mantepin hati ke jenjang pernikahan.” “Jadi selama ini hati lo belum mantep sama Dion?” aku duduk bersila lantas mengambil satu toples berisi brownies kering buatan mama. “Gue sayang banget sama Dion, gue juga yakin Dion sayang setengah hidup ke gue. Tapi … pernikahan itu langkah yang besar, Mel. Gue nggak mau gegabah lalu menyesal di kemudian hari.” Suara Anin berubah sendu, sepertinya hatinya memang sedang galau urusan lamar melamar ini. Tapi sedikit banyak aku setuju juga dengan pemikirannya. Jangan sampai Anin tergesa-gesa mengambil keputusan lalu berakhir penyesalan seperti yang ku alami. “Menurut lo gimana, Mel?” Aku mengangguk pelan saat menelan minuman dinginku. “Gue sih setuju sama elo, Nin. Jangan sampai ambil keputusan terburu-buru karena merasa sudah menjadi b***k cinta sesaat. Eh … ndilalah ujung-ujungnya menyesal karena pernikahannya hancur kayak gue sama Bayu.” Aku tersenyum miring sengaja menertawakan takdirku sendiri. “Gue nggak bermaksud nyindir kisah lo, Mel,” sesal Anin mengusap lengan atasku. “Biasa aja deh, muka lo jangan sok prihatin gitu,” ujarku lantas terbahak. “Tapi menurut gue yang belum begitu kenal Dion, dia kayaknya baik deh. Tulus juga ke elo, kelihatan kok dari tatapannya waktu ngeliatin elo. Setidaknya dia ‘lurus’, nggak kayak—” aku menunduk sesaat sampai sedetik kemudian terhenyak dengan pekikan Anin yang memekakkan telinga. “Tunggu, tunggu … gue gagal paham deh, maksud lo … Bayu si mantan lo itu belok? suka pedang-pedangan gitu?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN