Dalam keadaan lemas, aku masih bisa sangat terkejut atas teriakan Mas Daffa yang bagiku sangat kasar itu. Serta merta aku pun tersinggung berat.
Logikanya sederhana saja, kalau memang itu bukan anak kandungnya, kenapa harus menjelaskan dengan amarah? Lagi pula, seharusnya dia bisa menjelaskan bahwa dia bersama istrinya dulu pernah mengadopsi seorang anak, waktu kami berbincang-bincang sebelum akad nikah.
Pernyataan kemarahan Mas Daffa sungguh melukai perasaanku. Justru aku semakin bertanya-tanya atas sikapnya padaku, apakah yang sedang coba disembunyikan oleh Mas Daffa kepadaku?
Aku memang syok berat, lemas dan sangat terluka, tapi bukan berarti aku tidak bisa bicara. Aku tetap ingin meminta penjelasan kepadanya. Aku tidak mau diam terus. Meskipun rasanya sakit sekali.
"Sebenarnya, kenapa Mas harus marah dan bentak aku seperti itu? Siapa yang salah di sini? Bukankah Mas bisa katakan sebelumnya padaku kalau Mas dan mantan istri telah mengadopsi seorang anak? Bukankah anak adopsi tetap anak Mas? Karena tanggung jawab orang tua adopsi tidak beda dengan tanggung jawab orang tua kandung. Seperti ini, Mas justru telah menyakitiku berulang kali," ucapku sambil memalingkan wajah, rasanya aku benar-benar tidak ingin melihat wajah Mas Daffa.
Untuk beberapa saat, keheningan merajai kami, sebelum akhirnya Mas Daffa unjuk suara. "Maafkan mas, Nazwa. Mas sangat takut. Takut kehilangan kamu. Bukan maksudku ingin berbohong sama kamu, aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya."
Penjelasan Mas Daffa dan permohonan maafnya, sungguh sangat basi bagiku. Semua tidak bisa aku benarkan. "Pergilah. Aku butuh waktu sendiri," kataku dengan nada suara yang malas. Malas ada Mas Daffa di sampingku.
"Ini sudah menjelang malam, kalau mas harus pergi, mas harus tidur di mana?" tanya Mas Daffa. Sungguh lelaki itu tidak ingin mengerti keadaan hatiku.
"Terserah! Yang penting tidak terlihat olehku," jawabku dengan keyakinan penuh.
"Apa seperti ini sikap istri yang baik kepada suaminya?" Lagi-lagi Mas Daffa hanya meningkatkan tensi amarahku.
"Apa seperti itu sikap lelaki yang baik saat memutuskan untuk menikahiku?" tandasku tidak mau kalah.
"Aku kan sudah minta maaf, masa kamu gak maafin aku?" Mas Daffa sungguh-sungguh menguji kesabaranku.
"Baik, Mas di sini saja, biar aku yang pergi," tegasku seraya mengangkat tubuhku dari atas kasur.
Aku memang berupaya keras dan tidak ingin menyerah pada rasa lemasku. Sebab rasa lemas itu akibat dari pikira8nku yang syok, dengan mencoba menenangkan diri, maka aku akan baik-baik saja.
Terbukti aku pun bisa bangkit dan akhirnya turun dari atas kasur, lalu melangkah ke luar dari kamar dan masuk ke dalam kamar anak lelaki Mas Daffa lalu mengunci pintu dari dalam.
Aku merebahkan diri di atas ranjang berbentuk mobil dan berusaha memejamkan kedua mataku meskipun air mata terus mengalir membasahi pipiku.
Satu hal yang aku baru kenali dari Mas Daffa adalah sifat egoisnya dan tidak mau disalahkan lalu ia menjual kata maaf agar aku meredakan setiap amarah dan rasa sakit serta kecewaku, tanpa mencari solusi dari permasalahan yang ada.
Aku berusaha untuk bisa tidur karena tidak ada yang bisa aku lakukan saat itu. Tidak juga bisa bercerita pada siapapun, aku harus menghadapi semuanya sendiri.
Saat aku terbangun keesokan harinya, matahari telah naik, kuperkirakan saat itu telah lewat jam sepuluh pagi dan rumah terasa hening sekali.
Aku butuh ke kamar mandi, lalu bangkit dari atas kasur kecil itu menuju kamar utama. Perlahan aku putar kunci pintu dan membukanya. Tidak ada siapa-siapa di dalam kamar. Mas Daffa pasti telah berangkat kerja.
Entah apa dia sempat mengetuk pintu untuk membangunkanku atau tidak, tapi seingatku, tadi malam, Mas Daffa tidak berusaha untuk mencegahku pergi dari kamar ini dan sampai aku tertidur, tidak juga dia mencariku.
Setelah membasuh diri dan terasa segar, aku mengenakan baju rumah lalu ke luar dari dalam kamar. Namun, alangkah terkejutnya aku karena di depan pintu ada buket bunga besar berisi kuntum mawar merah yang padat.
Kartu lipat berwarna putih yang terselip di antara kuntum mawar itu, cukup mencolok dan membuatku ingin tahu. Aku meraih kartu lipat kotak segi empat itu lalu membukanya.
Maafkan aku yang tidak tahu caranya berbicara padamu. Maafkan aku yang bodoh dan tidak mampu meredakan emosimu. M8aafkan aku yang tidak bisa bicara langsung karena takut semakin salah di matamu. Maafkan aku atas semuanya.
Yang mencintaimu setulus hati,
Daffa.
Aku membaca ulang tulisan tangan pada kartu itu. Hatiku berdesir karena ungkapan manis Mas Daffa, terlebih atas kiriman bunga mawar merah yang melambangkan pernyataan cinta sejati, tapi … jelas terlihat kalau dia menghindari pembahasan permasalahannya, selain hanya permintaan maaf.
Aku tidak mampu mengerti apa yang tersirat pada benak suamiku. Apakah dengan cara bersikap manis seperti ini, permasalahan di antara kami akan selesai atau harus selesai? Bagiku, tidak sesederhana itu.
Kartu itu kuselipkan kembali dalam sela-sela kuntum mawar merah, lalu beranjak menuju ruang makan. Di atas meja masih ada makanan yang belum diangkat atau mungkin sengaja dibiarkan di sana.
Saat aku buka tudung saji, aku menemukan kartu lipat lagi tergeletak di atas piring kosong. Segera aku meraihnya dan membukanya.
"Pagi, Cantik. Sarapan pagi ini, aku yang buat khusus untuk kamu loh, aku bangun pukul empat pagi dan berkutat dengan resep dari mbah google. Semoga enak ya, selamat makan."
Tidak ada namanya sebagai penutup dari tulisan tersebut. Aku mendengus saat membuka tutup mangkuk dan ada sup sayuran dengan sosis dan bakso di dalamnya.
Antara lapar tapi gengsi menyantap makanan itu, aku mematung beberapa saat karena sedang berpikir. Mungkin aku harus tidak memakan makanan itu dan akan memesan makanan online saja sekalian untuk makan siang.
Aku letakkan kembali kartu itu di atas piring lalu menutupnya dengan tudung saji dan melangkah ke arah ruang tamu.
Pada dinding yang kemarin ada poto pengantin Mas Daffa dengan mantan istrinya, kini telah terisi oleh sebuah lukisan. Cukup mengecewakan bagiku karena Mas Daffa tidak mengisi dinding itu dengan poto pernikahan kami.
Aku duduk di kursi kayu jati yang berbantalan empuk lalu menyadari bahwa di sinilah, di rumah ini Mas Daffa tinggal dengan istrinya dulu dan mengadopsi seorang anak.
Hati kecilku sungguh tidak menerima kalau keberadaanku di rumah ini, bukanlah wanita pertama, tapi aku memakai barang-barang bekas mereka. Tempat tidur yang pernah dipakai bermesraan oleh mereka, seluruh penjuru rumah yang telah menyaksikan keintiman mereka.
8
Kembali hatiku terasa terbakar, aku tidak sudi diperlakukan seperti ini. Aku segera berlari ke dalam kamar untuk mengambil telepon genggamku dan cepat-cepat menghubungi Mas Daffa.