"Bu, kopernya?" Wanita itu telah kembali dari kamar dan kini ia meminta koper sambil melirik ke arah dinding karena melihatku mematung dengan wajah yang pasti memerah karena terasa panas.
"Oh … itu, maaf, Bu … sa-saya tidak mendapat perintah dari Bapak untuk menurunkan foto itu," kata wanita itu terlihat merasa serba salah.
Aku masih membeku dan pikiranku langsung melayang ke dalam kamar. Sudah pasti di dalam kamar ada banyak foto-foto kemesraan Mas Daffa dengan wanita itu.
Seketika aku mengayunkan langkah ke arah dalam. "Kamarnya di mana?!" seruku cepat-cepat.
"Pintu kiri, Bu," jawa wanita itu ragu-ragu.
Aku mendahului langkahnya, dan melihat ada pintu terbuka serta tampak tas travel kami di dalamnya. Aku pun segera meghambur dan menunggu di ambang pintu.
"Tolong letakkan saja di sini kopernya," kataku sambil menunjuk lantai yang mengkilap di dalam kamar.
Wanita itu meletakkan koper di tempat yang aku tunjuk. Lalu, aku segera menutup pintu dan menguncinya. Sambil memejamkan kedua mata dan mengelus dadaku yang terus berdebar-debar, aku menenangkan diri atas apa yang mungkin saja aku temukan di kamar itu.
Sambil membuka kelopak mataku, aku melangkah perlahan ke arah dalam kamar. Kamar yang dirancang seperti kamar hotel bintang lima itu menambah suasana hatiku terasa makin kalut.
Aku kembali mematung sambil mengedarkan pandangan. Banyak foto-foto yang tersebar di mana-mana, di meja nakas, di meja rias serta di rak buku, pajangannya hanya bingkai-bingkai foto dan yang paling menyesakkan dadaku adalah foto yang menggantung di dinding.
Mas Daffa tampak telanjang dadanya, begitu pun dengan wanita di sampingnya yang tersenyum lebar, bahu mereka benar-benar terbuka lebar. Yang membuat jantungku hendak berhenti berdetak adalah adanya bayi gemuk yang disangga oleh tangan Mas Daffa dan wanita itu beralas handuk berwarna biru muda. Ketiganya jelas telanjang bulat bagian atas tubuhnya.
Tanpa kusadari, lututku semakin lemas dan aku pun terduduk dengan seluruh tubuh bergetar. Air mataku pun meluncur deras dengan bibirku yang juga gemetar. "Mas Daffa punya anak?"
Satu jam mungkin aku terduduk sambil menangis terisak-isak, sampai tidak sengaja mataku menangkap ada pintu penghubung dari samping lemari pakaian.
Otakku bekerja keras, aku yakin itu adalah kamar anaknya yang sengaja dibuat connecting door dari kamar orang tuanya. Dengan susah payah, aku pun berdiri dan melangkah perlahan meskipun rasanya kaki ini berat untuk diajak mengayun.
Tanganku bergetar saat terulur meraih gagang pintu, aku merasa takut kalau apa yang kupikirkan adalah bagaimana kalau ternyata di balik pintu ini benar-benar kamar anak?
Keinginanku lebih kuat dari rasa takutku. Aku harus tahu semuanya secara pasti, menguak kebohongan Mas Daffa yang mengaku belum memiliki anak. Apakah anaknya cuma satu atau lebih dari satu? Aku harus mengetahuinya.
Brak! Pintu penghubung itu aku buka paksa dan aku pun terbelalak. Tampak ranjang yang berbentuk mobil di tengah ruangan. Jelas itu adalah ranjang seorang anak lelaki. Kamar bernuansa biru dan putih mendominasi setiap warna dari benda-benda anak lelaki di kamar itu.
Kakiku ingin melangkah masuk, tapi nyatanya sama sekali tidak bisa aku gerakkan, malah aku terduduk kembali saking lemasnya tubuhku dan air mataku kembali turun deras.
"Tega kamu, Mas, bohongi aku seperti ini. Lalu, aku harus bagaimana?"
Samar-samar, aku mendengar suara telepon genggamku berdering, entah yang ke berapa puluh kali telepon itu berdering dan aku mengabaikannya. Aku tidak bisa berpikir saat itu, hanya merasa sangat terluka karena telah dibohongi mentah-mentah oleh Mas Daffa.
Dalam hal ini, tidak mungkin juga aku memberitahukan mamaku kalau ternyata Mas Daffa sudah punya anak, apalagi papaku, sungguh, aku tidak tahu harus mengadu pada siapa dan rasa benci pada Mas Daffa pun akibat rasa kecewa yang dalam, mulai merambati hatiku.
Tok tok tok sampai dor dor dor terdengar. Entah siapa yang menggedor pintu kencang-kencang, aku sungguh tidak tertarik untuk menjawab apalagi membuka pintu itu, perasaanku sangat tidak baik dan aku menghabiskan waktuku dengan menangis serta merutuki suamiku sendiri.
Hingga akhirnya aku tidak sadarkan diri karena tidak mampu menanggung rasa sakit yang luar biasa, kecemburuan yang hebat serta kebencian yang cukup besar pada Mas Daffa.
Entah berapa lama aku terkapar di ambang pintu penghubung, yang jelas, saat aku tersadar, hari sudah sangat sore dan aku berada di atas kasur yang empuk juga nyaman.
Apa yang kulihat saat membuka mata adalah langit-langit kamar berukir yang asing, bau yang asing dan semuanya asing. Namun, ada yang aneh dinding kamar itu, semua foto-foto yang membuatku hancur lebut telah tidak ada lagi di sana. Begitu pun diatas meja rias, nakas, bahkan rak buku pun telah menghilang dari pojokan itu.
Sedikit sesal merayapi hatiku, bagaimana mungkin aku bisa terlalu bodoh begitu dikuasai oleh kemarahan serta sakit hatiku sebelum sempat mengeksplor semuanya.
Kenapa rak buku pun sampai hilang dari tempatnya? Buku-buku siapa? Ah, betapa bodohnya aku! Kini Mas Daffa telah mengetahui apa yang kutemukan sampai-sampai ia merapikan semuanya dan aku yakin foto pengantin mereka pun di ruang tamu, kini sudah pasti tidak ada lagi.
"Sial!" teriakku kencang sambil meraung dan menangis lagi.
"Sayang? Kamu sudah bangun?" Akhirnya suara yang tidak ingin aku dengar, berkumandang memenuhi rongga telingaku.
Aku menghentikan tangisku sejenak, lalu berteriak sekuat tenagaku. "PERGI! PERGI KAU LELAKI b*****t!"
Sungguh aku tidak tahu bagaimana reaksi Mas Daffa mendengar perkataan kasarku padanya, aku benar-benar tidak peduli bahkan caci makiku masih terkumpul di dalam hati yang akan aku tumpahkan padanya tapi tidak saat itu.
"Aku lupa kalau masih ada foto-foto itu di rumah ini, lagi pula kita kan pindah mendadak, belum sempat dibersihkan," kata Mas Daffa.
Kalimat apaan itu? Alih-alih menjelaskan tapi sebenarnya tidak menjelaskan apapun.
"HEI KAMPRET! TULI APA GIMANA? JANGAN BERANI KAMU MUNCUL DI DEPANKU! AKU SUMPAH DEMI MAMAKU, AKU BENCI KAMU!"
Teriakanku, kebencianku, sungguh tidak sanggup aku tahan. Saat itu pun aku bangkit dari atas tempat tidur, hendak melompat turun, tapi justru aku malah sempoyongan dan ambruk ke atas karpet bulu.
Tubuhku sangat lemah, kepalaku berputar-putar. Mungkin ini yang dinamakan syok berat dan aku tidak mampu mengatasinya.
Aku pasrah ketika tubuhku diangkat yang pastinya oleh Mas Daffa, ke atas kasur, karena ingin berontak pun, tangan dan kakiku tidak bisa kugerakkan.
Aku menceracau tidak jelas, mengusir, mengumpat dan mencaci suamiku yang saat ini sangat-sangat aku benci.
"Aku minta maaf masalah foto-foto itu! Tapi, anak laki-laki itu bukan anakku! Anak itu anaknya saudaranya dia! Kami memang adopsi anak itu, tapi itu BUKAN ANAKKU! Terserah kalau kamu gak percaya, aku gak peduli! Aku tidak suka caramu seperti ini, paham?!" teriak Mas Daffa di telingaku.