Deringan pertama, teleponku padanya langsung bersambut. "Halo, Sayang? Ada apa? Kamu sudah makan?" Pertanyaan Mas Daffa membuatku kesal.
"Aku butuh uang banyak! Aku harus mengganti seluruh barang-barang yang ada di rumah ini, atau aku akan pulang ke rumah mama papaku!" teriakku tertahan, karena merasakan kecemburuan yang luar biasa.
Tidak ada jawaban dari ujung telepon. Mas Daffa mungkin sedang mencerna ucapanku yang pastinya di luar dugaan.
"Aku baru saja memesan furniture untuk rumah baru kita. Enam bulan lagi, kita bisa pindah ke rumah baru, apa gak sebaiknya biarkan saja barang-barang itu? Kalau kita beli baru, lalu nanti mau taruh di mana kalau pindahan?" jawab Mas Daffa, jawaban yang sangat mengecewakanku.
Aku pun segera memutuskan sambungan telepon sambil meradang. Bukankah jelas kalau Mas Daffa keberatan menyingkirkan barang-barang kenangannya? Apa ruginya mengisi rumah ini dengan barang-barang baru dan tidak perlu dipindah-pindahkan kemana pun?
Sejurus kemudian, sebuah ide melintas dibenakku. Aku segera browsing di ponselku dengan kata kunci menjual barang-barang bekas.
Setelah scroll ke sana sini, akhirnya aku menemukan sebuah website yang menerima barang-barang rumah tangga dengan catatan; Kami beli barang Anda dengan harga yang layak.
Tanpa menunda waktu, aku segera menghubungi nomor telepon yang tertera pada website tersebut dan kami terlibat obrolan serius, aku hendak menjual semua barang-barang di rumah ini, apapun yang terjadi nantinya, aku sungguh tidak peduli.
Janji temu pun dibuat setelah aku kirimkan poto-poto seluruh perabotan, sampai piring gelas dan senduk. Pukul dua siang, dua orang dari website itu pun datang dan ternyata, mereka tidak sanggup membeli semuanya.
Akhirnya, aku memutuskan agar mereka mengambil seluruh perabotan di dalam kamar utama serta perabotan termasuk televisi dari ruang keluarga. Harga pun telah diputuskan, pukul empat sore, orang-orang itu pun mulai mengangkut barang-barang setelah mentransfer sejumlah uang pada rekeningku.
Aku segera membeli springbed dan lemari secara online juga televisi baru serta satu set sofa, sesaat setelah uang penjualan perabotan masuk. Pukul enam sore, kamar utama telah kosong melompong dan aku pun segera menyapu dan mengepel kamar, saat itulah Mas Daffa pulang.
"Apa-apaan ini? Kenapa ruang keluarga kosong dan kamar ini …," ucap Mas Daffa dengan wajah linglung.
"Aku sudah telepon ya tadi, karena Mas tidak setuju, aku memutuskan untuk menjual semua barang yang membuat hatiku terbakar. Bagaimana caranya aku bisa hidup tenang kalau harus tidur di ranjang bekas Mas bercinta dengan wanita lain?" Aku menjawabnya dengan berapi-api.
"Ah, itu … maaf, aku tidak terpikir sampai ke sana, tapi, bagaimana kita akan tidur tanpa ranjang?" Mas Daffa benar-benar terlihat semakin linglung saat itu.
"Aku beli springbed yang akan datang nanti jam tujuh. Juga sprei baru, hanya saja, terpaksa harus dipakai sprei barunya tanpa sempat dicuci dulu. Terserah, Mas mau tidur di atas sprei baru atau tidak," kataku tak acuh sambil meneruskan kegiatanku.
"Baiklah, Sayang. Biar mas bantu kamu ya," kata Mas Daffa seraya mengambil tongkat pel dari tanganku.
Aku menyerahkan pel itu pada Mas Daffa. "Kamu gak marah, Mas?" tanyaku merasa heran, sebab aku mengira kami akan ribut besar.
"Marah kenapa? Karena kamu jual barang gak bilang mas dulu? Kamu punya hak untuk melakukan itu, Sayang, apalagi karena kamu merasa gak nyaman tidur di ranjang bekas. Mas gak apa-apa kok," jawab Mas Daffa, sungguh jawaban yang diluar dugaanku.
Perasaan tenang mulai merambati hatiku, rupanya bukan karena barang-barang itu memiliki kenangan khusus bagi Mas Daffa tapi mungkin lebih ke pertimbangan pemborosan kenapa Mas Daffa menolak mengganti barang-barang baru.
"Syukurlah kalau Mas gak marah," gumamku mulai merasakan hatiku luluh.
"Kamu pesan makan gih, apa saja sesukamu, Mas ikut," kata Mas Daffa.
Rupanya sudah mendekati jam makan malam, mendadak aku merasakan lapar, ingat kalau seharian ini perutku belum kemasukan makanan apapun.
Aku segera membuka ponselku dan memesan makanan, lalu segera mandi sambil menunggu kurir yang akan datang membawa barang-barang pesananku.
Mas Daffa tidak menganggap apa yang aku lakukan adalah kesalahan, karena itulah aku pun memaafkannya atas permasalahan kebohongan anak adopsi. Malam itu, hubungan kami telah kembali normal seperti sebelumnya, tidak lupa, kami pun bercinta di ranjang baru, menikmati kebersamaan kami dalam rona-rona kebahagiaan.
Malamnya, aku bermimpi aneh, yaitu kejatuhan bulan dan mendarat di atas pangkuanku. Namun, bulan itu tidak tampak lembut dan bercahaya, sebaliknya, tampak kotor, berkeriput dan membuatku merasa jijik hingga aku hempaskan dari pangkuanku.
Aku terbangun dengan seluruh tubuh berkeringat. Saat itu, aku merasakan hatiku seolah turun naik dan rasanya sangat tidak enak. Apakah ini tanda dari firasat buruk?
***
Hari-hariku penuh warna sejak peristiwa keributan di hari pertama menginjakkan kaki di rumah ini. Mas Daffa bersikap lebih lembut dan sangat romantis, apakah ini caranya dia meminta maaf padaku atau semakin ke sini, semakin nampak sifat aslinya yang sangat penuh perhatian? Entahlah.
Yang jelas, aku menjalani kehidupan yang bahagia bersamanya, aku pun diberi kebebasan untuk ke luar rumah, bertemu dan berkumpul dengan teman-temanku atau berkunjung ke rumah mamaku dengan bekal uang tunai yang tidak sedikit.
Ya, mas Daffa sangatlah murah hati, selain memberiku uang bulanan rumah tangga yang berlebih, hampir tiap hari ia masih saja memberiku sejumlah uang.
Aku tidak merasakan kekurangan apa-apa selama tiga bulan mengarungi bahtera rumah tangga, bahkan bisa dikatakan aku menerima uang berlebih dari mas Daffa.
Dengan bebas aku bisa belanja ke luar masuk mal, bahkan memberi mamaku sejumlah uang, tanpa pernah ditanyakan oleh mas Daffa.
Dia berprinsip bahwa uang yang telah diserahkan padaku, menjadi hak aku sepenuhnya untuk mengelola uang tersebut. Pesan mas Daffa cuma satu kalimat saja. "Kalau habis, cepat bilang ya, aku tidak suka istriku kekurangan uang."
Nikmat mana lagi yang harus kudustakan? Aku bahkan merasakan kalau kehidupanku sangatlah sempurna.
Hanya saja, sudah tiga bulan berlalu dan aku belum ada tanda-tanda hamil. Hal itu cukup melegakan karena aku tetap berniat melanjutkan sekolah sesuai janji mas Daffa sebelum kami menikah.
Aku mulai disibukkan dengan persiapan-persiapan tes masuk perguruan tinggi, selain bolak balik ke toko buku, aku pun menggali informasi dari teman-temanku yang telah masuk ke perguruan tinggi lebih dulu.
Situasi di rumah pun tidaklah sesibuk seperti saat minggu pertama masuk rumah ini sebab, ada asisten rumah tangga yang mengurus rumah bahkan memasak makanan untuk kami.
Satu hal yang belum kesampaian yaitu rencana bulan madu ke luar negeri. Mas Daffa terlalu disibukkan dengan pekerjaannya dan hanya bisa berjanji bahwa dia akan membawaku jalan-jalan ke luar negeri sebelum aku memulai tes masuk perguruan tinggi, yang artinya, dalam lima bulan ke depan kami masih memiliki waktu.