"Hampura Ambu, tadi tangan Ajeng licin kena sabun," sampai kini Ajeng merutuki dirinya sendiri yang sudah emosi sampai tak sadar sedang pegang piring, lalu membantingnya.
Apakah kemarahannya sudah berbuah kecemburuan untuk pria yang tak pantas direbutkan?
Tidak! Ajeng tak boleh begitu. Buat apa cemburu? Dia hanya perlu berlapanh d**a, berpikir jernih, pindah dari rumah itu dan semua rasa sakitnya akan hilang perlahan, kan? Yah, Ajeng tak mau ada bibit kebencian dalam hatinya.
"Ya ampun Jeng, tanganmu gapapa? Udah jangan diambilin belingnya, biar Eti yang bersihin."
"Saya gapapa Bu Ayu, saya-"
"Ish, jangan bilang gapapa, Jeng. Tangan kamu terluka, duh, kamu sekretaris. Jari dan tanganmu penting. Ma, tangannya Ajeng diobatin dulu aja."
"Eh, tangan saya kotor, Bu Evelyn."
"Isk, apa sih, sudah, mana coba liat, lagian mana ada tanganmu kotor sih."
Ajeng malu, tapi Evelyn tetap mendekat dan memperhatikan kondisi tangannya dengan wajah Evelyn terlihat khawatir. Ini membuat Ajeng makin tak enak.
"Ma, beneran nih tangannya Ajeng luka. Sama lututnya. Kayanya tadi dia buru-buru mau bersihin beling, malah kena lutut juga."
"Hm, kamu bener Eve. Sarita, panggil kakakmu Jimmy. Suruh dia obatin tangannya Ajeng."
'Haruskah aku menghancurkan kebahagiaan keluarga yang sudah sangat baik ini?'
Ajeng, awalnya ingin meng-expose semua karena dia merasa ketidakadilan. Tapi sekarang, betapa malu dirinya karena Evelyn sendiri sangat baik. Dia tak malu mengobrol dengan anak pembantu sepertinya padahal Evelyn adalah model papan atas yang terkenal. Siapa yang tak tahu tentangnya? Endorse-nya bejibun, bahkan ada yang bilang termahal ketiga di Indonesia. Belum lagi iklannya di beberapa brand besar, acara tv show yang mengundangnya, pokoknya dirinya tak sebanding dengan Evelyn.
"Jim, gimana Ajeng? Tangannya gapapa?"
"Aman. Nih lagi diobatin. Tenang aja, gak akan ada scar-nya."
"Bagus deh. Nih, minum dulu ya Jeng. Aku udah bawain. Mama Ayu tadi yang buat. Masih hangat, hati-hati."
Ajeng sadar diri, dia tak mau mengusik kebahagiaan keluarga majikan orang tuanya.
"Jadi ngerepotin, makasih Bu Evelyn," ucap Ajeng tulus.
"Isk, gosah formal. Panggil aku Eve aja. Oh ya, aku ke atas dulu ya, Mama panggil aku tadi di suruh ke atas."
"Gih sana, jangan ganggu aku mau dua-duaan ama Ajeng,"
"Ehem, kayanya abis acara ini, keluarga Pradana bakalan bikin resepsi pernikahan kedua buat Jimmy dan kamu deh."
"Siapa bilang dia bisa menikah dengan Jimmy?"
"Eh, Sayang, kok kamu udah pulang sih? Bukannya kamu ada bachelor party sama teman-temanmu?"
Bukan cuma Evelyn yang kaget dengan suara tinggi yang tadi menimpalinya. Ajeng dan Jimmy juga tak menyangka kalau anak sulung keluarga Pradana akan masuk ke rumah itu dengan emosinya yang meletup-letup. Bisa terlihat dari wajahnya kalau dia sedang marah.
Apakah yang terjadi?
"Maksudnya tadi apa tuh, Kak Ji? Aku gak boleh nikah ama Ajeng? Emang siapa yang boleh? Kakak? Kan Kakak udah punya Eve."
'Bodoh!' jauh dalam lubuk hatinya, Panji juga memaki dirinya sendiri yang asal ngomong tadi sehingga membuat pikirannya jadi cenat-cenut.
Sekarang saja adiknya Jimmy sudah mencurigainya. Harus bilang apa dirinya?
"Ah, ehm - setahuku, tidak ada pernikahan dalam satu keluarga kurang dari waktu setahun. Itu katanya pamali. Kan itu tradisi. Yang kedua, Ajeng bekerja di perusahaan. Karyawan di sana punya kontrak kerja tidak boleh menikah selama lima tahun. Itu artinya, Ajeng masih harus bekerja tiga tahun lagi baru boleh menikah."
"Duh, Kak, kalau Ajeng menikah denganku, dia ga perlu kerja lagi lah, cukup diam di rumah, nanti biar su-"
"Tetep gak bisa. Kamu punya Wulan yang sudah jadi kekasihmu. Apa iya kamu rela meninggalkan kekasihmu, seorang dokter kandungan berprestasi dari keluarga terpandang dan terpelajar demi anak pembantu?"
DEG. Nyeri rasa jantung Ajeng mendengar sanggahan Panji. Kejam sekali. Apa karena latar belakang ekonomi keluarganya maka dia harus dihina seperti ini?
"Sayang, kamu kenapa ngomong kayak gitu? Kan kita nggak pernah ngebedain Ajeng anak siapa, dia baik, terus kita melihat orang dari kebaikannya."
Kenapa aku ini? dan jujur saja, jauh dalam lubuk hati Panji setelah mengutarakan itu dia juga merasa bersalah pada Ajeng. Apalagi dia sudah tahu yang sebenarnya terjadi dari Evan.
INGET GAK WAKTU LO MINUM, GUE BILANG SI AJENG TUH SEBENERNYA KALAU DI PERMAK DIKIT CANTIK, BERDARAH LOKAL OTENTIK YANG MANIS DAN LEKUKANNYA ADUHAI. APA LO GAK PERNAH TERTARIK AMA DIA? KATA LO ENGGAK, MESKI DI KAMAR BERDUA AMA DIA, LO GAK NGELIAT DIA SEBAGAI CEWEK DAN LO MALAH NANTANGIN GUE NGGAK BISA BEDAIN BARANG CANTIK BAGUS. JADI YA GUE SENGAJA TELEPON DIA YANG NUNGGU DI LOBI DATENG KE KAMAR BANTUIN HOTEL, NEMENIN LO. JADI BENERAN LO GA NYENTUH DIA? APA JANGAN-JANGAN LO NIDURIN EVE? SOALNYA GUE HUBUNGIN DIA JUGA, SEKEDAR NGASIH TAHU KALAU LO BUTUH DIA ATAU NYARIIN LO ADA DI HOTEL. SI EVE JUGA NGERTI GAK MUNGKIN GUE BAWA LO PULANG KE RUMAH. NYOKAP LO PASTI MARAH BESAR KALAU TAHU LO MINUM KAN?
Kenapa juga dulu mulutnya bisa menuduh sekejam itu ke Ajeng? Padahal sudah jelas semua salahnya yang menantang Evan, sampai Evan mengaku sendiri minuman yang diberikannya cukup keras dan di hotel dia memasangkan afrodisiak. Jadi baik Panji maupun Ajeng, keduanya dalam pengaruh obat. Parahnya, Panji tak bisa menguasai dirinya. Minuman itu membuatnya masih belum mampu mengingat yang terjadi. Semua membuat kepalanya sakit jika mencoba mengingat.
"Iya Kak, kok ngomongnya gitu sih? Gak biasanya loh Kak Panji gini. Minum alkohol ya tadi?"
Dan Panji makin kesal karena dia sempat termangu memikirkan kejadian itu lagi sampai tak konsen dengan obrolan mereka.
"Keluarga memang tak membedakan bibit, bobot, bebet, tapi aku tadi ngomong kasar begitu, buat ingetin kamu kalau Wulan itu udah sangat baik padamu. Apa iya kamu mau meninggalkan wanita sebaik dia demi wanita lain? Padahal kamu udah kenal lama sama dia, berjuang sekolah bareng dengannya, apa kamu-"
"Kak Jimmy selingkuh?"
"Eh, Wulan, enggak. Kamu jangan salah paham. Gak gitu duduk masalahnya."
Tak sengaja, obrolan ini terdengar lagi oleh pacarnya Jimmy yang kini melirik Ajeng dengan tatapan cemburunya. Lagi-lagi kejadian tak terduga. Tapi memang Wulan diundang juga untuk datang malam itu oleh keluarga Pradana. Dia akan menjadi bridesmaid bersama Sarita dan Ajeng seharusnya di acara pernikahan besok.
Makanya ada yang disiapkan untuk mereka juga oleh Ayu, ibunya Panji. Tapi kini suasana agak sedikit kaku.
"Eh, kamu jangan salah paham Wulan. Tadi itu Jimmy joke aja kok, dia lagi disuruh mama ngobatin tangannya Ajeng, terus dia bercanda, cuma pas Panji dateng dia salah sangka. Dia pikir Jimmy serius. Kayaknya, Panji kebanyakan minum di club deh."
"Kak Panji minum? Oh iya, tadi ada bachelor party ya"
"Hm, dikit aja kok."
"Panji, kamu nih. Mama sudah bilang jangan minum, beraninya kamu ya bohongin Mama?"
"Ma, maaf Ma, tadi cuma seteguk, makanya aku langsung pulang biar nggak dicekokin lebih."
Rasain. Mudah-mudahan diomelin sampe pagi, basik hati Ajeng senang melihat raut wajah murkanya Sawitri Ayu.
Panji, jadi kanan kiri, depan belakang serba salah. Mamanya pula pakai harus turun dari kamar dan mendengar obrolan ini. Jadi sulit dirinya. Kini Panji mendekat, memeluk mamanya untuk membujuk.
"Ma, aku gak mabuk kok Ma, yuk, Mama ikut aku dulu." Panji mengajak mamanya ke atas. Dia memang tak minum sama sekali.
"Wulan, jangan cemberut dong. Jimmy gak ngapa-ngapain kok. Yuk kamu ikut dulu ke atas. Aku tunjukin bridesmaid's dress-nya."
"Jimmy?"
"Ini udah beres, yuk ke atas, Cinta." Tadi buru-buru Jimmy mengobati Ajeng karena dia tak ingin pacarnya marah.
"Jeng, kamu juga nyusul ya. Ada baju kamu juga lho yang mesti dicobain sebelum besok."
"Oh, iya Bu Eve."
Ada senyum di wajah Ajeng melepas kepergian mereka semua namun jauh di dalam lubuk hatinya ada perasaan sedih luar biasa dan sesak.
Kalau bisa, dia ingin sekali menolak menjadi bridesmaid untuk Evelyn. Menyelamatkan hatinya harusnya lebih penting bukan? tapi penentuan itu sudah dari setengah tahun yang lalu. Saat kesalahpahaman belum terjadi di antara dirinya dan Panji.
"Ajeng, kamu ngapain ajah di kamar? Itu Ibu Ayu udah panggil-panggil kamu disuruh ke atas cobain bajunya dulu."
Jadi apa daya. Sulit sekali untuk dirinya menghindar.
"Sebentar Ambu, tadi ganti baju dulu, masa pakai baju habis masak dan cuci piring terus cobain baju buat besok? Nanti kalau bajunya kotor kasihan bu Ayu mesti kasih kompensasi ke butiknya," terpaksa, Ajeng harus naik ke atas. Tapi, baru juga dia mau naik tangga, seseorang menarik tangannya dari arah pintu gudang, di dekat tangga.
"Stt, ini saya," ucapnya dengan tangan masih menutup bibir Ajeng supaya tak berteriak. "Kamu jangan berisik. Saya mau bicara dengamu!"