SAKIT SENDIRI

1478 Kata
"Kak Panji, duh, kenapa jadi mabuk gini sih Kak? Kalau ketahuan bu Ayu gimana nih?" "Air- air." Ajeng baru saja membuka pintu kamar, di hotel tempat Panji berbaring malam itu. Dia sebenarnya cemas karena tahu, Swastika Ayu Astuti, ibunya Panji sangat tegas pada anak-anaknya. Jangankan minum alkohol, menghisap tembakau saja tak boleh. Makanya Ajeng panik melihat Panji yang kehilangan kesadaran. "Ini minumnya Kak, bangun dulu, Kak." Cuma sekarang Panji merasa panas setelah minum. Dipikir Ajeng percuma mengomentari Panji. Dia dipengaruhi alkohol. Ajeng berbaik hati megambilkan air mineral di botol, membukanya dan dia berusaha mendudukkan Panji supaya bisa minum. "Kak, minum dulhh-hmmm." Cuma sayang, bukannya minum, Panji justru menyandera bibir ranumnya sampai botol minum itu terlepas dari tangan Ajeng. "Kak, jang-mhhh." Panji, tak membiarkan Ajeng berisik. Dia kembali menyesap bibir pink itu meski Ajeng memberontak. Panji juga dengan kekuatannya, mendorong tubuh Ajeng, membuatnya berbaring di ranjang sebelum tubuh kekarnya menindih Ajeng hingga membuat wanita mungil itu sulit bergerak dalam cangkumannya. Masih bisa bernapas juga itu sudah bagus untuk Ajeng. Wanita itu memukul-mukul punggung dan bahu Panji, tapi tak ada respon. Pria itu masih melumat bibirnya, menyentuh setiap inchi tubuhnya bagai srigala kelaparan yang tak peduli apapun. Panji hanya ingin menikmati mangsanya tanpa menghiraukan air mata Ajeng mulai mengalir. Tangannya juga melukai kepala Ajeng, cengkraman jari-jarinya membuat lebam biru di beberapa titik di bagian atas lutut Ajeng dan bagian perutnya. Belum lagi, banyaknya tanda-tanda lebam merah yang dibuat bibir Panji di sekitaran atas tubuh Ajeng. Semua menyiksa, cuma entah kenapa sakit itu bukan membuat energi Ajeng keluar untuk mengusir Panji justru tenaganya semakin habis hingga gelenyar rasa aneh menyeruak di sekujur titik saraf dan menyiksanya dengan kenikmatan. Ajeng tak pernah merasakan sensasi ini sebelumnya. Dia dalam kondisi gamang, tak tahu harus menangis, marah, atau harus menjauh dan menolak semua sentuhan Panji. Rasanya sulit dimengerti apa mau tubuh dan pikirannya yang bertolak belakang. Ajeng tersiksa di saat Panji, dalam kondisi tak sadarnya menikmati itu. "I love You, I'll marry You, Love. I promise." Hingga setelah puas, Panji berbisik itu di telinga Ajeng. "Kak Panji, Kakak tahu gak, aku ini-" "I know. I love you to be honest, just you. I'll always adore you, Sweetheart. Hold me tight and stay beside me." Sebetulnya Panji ini sadar gak sih siapa yang bersamanya? Ajeng dalam dilema lagi saat ingin meninggalkan tempat tidur itu. Tapi bukannya dia harus menunggu Panji bangun dan meminta pria itu bertanggungjawab atas perbuatannya? Ajeng memang mengakui ketampanan Panji. Pria itu menarik, fisiknya sempurna, sikapnya manis, dia bertanggungjawab, tipe pekerja keras dan memiliki kepribadian yang membuat banyak wanita terpesona. Tapi Ajeng tak menginginkan jadi istri Panji hingga di kondisi tubuhnya sudah ternoda seperti ini. Bukankah Ajeng memang harus meminta pertanggungjawaban? Apalagi pelukan Panji saat itu cukup kuat. Dia mengekang tubuh Ajeng dan menjadikan gadis itu guling hidup. Makin terseok perasaan Ajeng apalagi kini dia menghidu aroma maskulin tubuh Panji. Pikirannya makin sulit untuk tetap waras. Sama seperti tubuhnya, Ajeng mau lepaskan, juga sulit. Hanya air mata di sudut matanya yang mengalir menunjukkan kegamangannya. Mungkinkah selama ini Panji memang mencintainya? Atau dia salah mengira orang? Tapi setahu Ajeng, keluarga Panji taat dengan agama dan norma jadi tak mungkin kalau Panji kumpul kebo. Ajeng mencoba bersabar sampai Panji bangun. Meski malam itu, berkali-kali tangan kekar Panji menyentuh bagian sensitif dadanya dan membuat dirinya terbangun karena geli dan enak yang bercampur. Panji masih oleng. Ajeng belum bisa mengajaknya bicara sampai pria itu betulan bangun, disitulah hati Ajeng merasa kecewa. Ternyata seruan hati kecilnya benar. Panji tak memikirkan tentangnya. Panji bicara semalam tentang cinta sudah pasti itu membayangkan sosok lain. "Bhajinghan!" "Hoh? Siapa tuh Jeng yang lo maki?" Ajeng membencinya. Pria yang sudah merenggut keperawanannya tapi dia tak menyadarinya. Melupakan begitu saja. Padahal itu mahkota wanita yang menunjukkan dirinya suci pada suaminya kelak. Ajeng marah. Dan dia sering sekali timbul kesalnya kalau sudah melihat bosnya. Meski pria itu mungkin tak sadar dengan keberadaannya, tapi Ajeng yang kini ada di pantry dan melihatnya lewat menuju ruangannya terbayang lagi kelakuan anak majikannya yang membuat Ajeng ingin mencabik-cabiknya. "Gak ada. Gu-gue semalem abis nonton seri short drama pendek, keinget pengen nonton adegan lanjutannya aja, tapi belum kesampean, koin dah habis, sekarang tanggung bulan," seru Ajeng yang harus menelan semua keinginannya di lubuk hatinya. Tak mungkin dia memaki bosnya, apalagi dia berhutang banyak pada keluarga majikannya itu. Biaya operasi ayahnya, ini mahal. Sebelumnya mereka juga men-support biaya pengobatannya dan memberikan pekerjaan lebih mudah untuk berkebun, juga tambahan gaji padahal saat ini ayahnya belum bisa bekerja dan masih dirawat. Belum lagi biaya sekolahnya dulu yang ditanggung keluarga Pradana. Bahkan Ajeng disekolahkan di sekolah yang sama dengan anak-anak majikannya. ibunya Ajeng juga sudah dianggap keluarga sendiri oleh orang tua Panji, menjadi penanggungjawab pembantu yang lain. Ini membuat Ajeng serba sulit. Semua harus dilunasinya kalau dia memang ingin terlepas dari keluarga bosnya. Utang yang terlalu banyak ini, apakah bisa dibayar? "Be-te-we, ada gak sih part time job yang gajinya sejuta sampe sepuluh juta per jam?" Makanya dia bertanya begitu ke karyawati lain yang bersamanya di pantry. "Ada Jeng, ngasuh anaknya Mark Zuckerberg kali ya?" "Ato jadi nanny-nya Warren Buffett?" "Isk, gue serius." "Kalo ada, tuh kerjaan buat gue duluan Jeng. Gak bakal gue kasih ke elo, hehe." Ajeng manyun. Sudahlah. Percuma dia mengobrol dengan mereka. Tak ada yang tahu apa perasaan dan inginnya. Mereka juga sepertinya tak tahu apakah pekerjaan yang Ajeng inginkan ada atau tidak. "Emang lo mo apa sih Jeng, sampe kepengen cari part time? Gaji dari pak Bos, emang kurang? Gede kali gaji sekretaris merangkap asistennya. Apalagi dia sendiri anggep lo kayak adiknya kan? Dulu dia bilang gitu." "Dah lah, gue mo siapin dulu kopi si Bos. Leni, lo anterin nih ke ruangannya." Ajeng malas bercerita. Lagian, mereka tak ada yang tahu perasaan dan apa yang terjdi padanya dan bosnya yang tak mungkin dilakukan oleh adik kakak. Dia juga tak mungkin membongkar aibnya ke rekan kerjanya. Ajeng ingin melupakan semua yang terjadi. Tapi sudah enam hari ini, tetap sulit. Tiap kali melihat bayangan bosnya, yang ada kejadian itu terngiang lagi. Sulit sudah. Ajeng sebal pada dirinya. Dia sudah mencoba mencari pekerjaan juga selama beberapa hari ini, belum ada penampakannya. Ajeng belum menemukan pengganti yang pas hingga dia mesti bersabar dengan pekerjaannya sekarang dan menghindar sesuai inginnya Panji. Ajeng tak boleh muncul di hadapannya. "Kenapa gak elo aja yang nganter sih Jeng?" "Gue masih ada kerjaan lain. Lagian, bukannya elo pengen ngeliatin muka ganteng si Bos? Tambahan lima ratus ribu loh sebulan, cuma nganterin dokumen, kopi, ama printilan lainnya." "Iya bener. Bentar lagi pak Bos nikah, gue gak bisa bebas lagi liat-liat. Sini deh gue anter. Kali aja dia kesengsem ama gue terus jadi nikahin gue." Resiko bos ganteng, karyawan sedikit banyak suka berkhayal absurd jadinya. Meski cuma bercanda, tapi tetap saja tak tahan melihat paras tampan itu. Ajeng sih sudah kebal dengan mereka yang punya fantasi ke bosnya itu. Cuma sekedar fantasi, tak merugikan kedua belah pihak. Tak seperti dirinya yang kehilangan kesucian tapi dilupakan begitu saja. "Hah." Ajeng sudah duduk di kursi kerjanya, kini dia menghela napas. Mencoba menepis semua keruwetan di benaknya dan fokus. Dia masih butuh uang gajinya. Ajeng berusaha profesional. "Hai Ajeng, Panji di dalam?" "Iya Bu Evelyn." "Oke, deh, aku masuk dulu ya." Seperti sekarang, Ajeng mesti bersabar melihat kekasih Panji yang sudah dikenalnya juga masuk ke ruangan itu. [Saya mau antar calon istri saya ke lift. Kamu menyingkir dari mejamu.] Ajeng juga mesti bersabar bersembunyi di pantry saat bosnya keluar berjalan merangkul kekasihnya dan terlihat mesra. Padahal di ranjang panas itu, dirinya dibelai, dinikmati, disiksa dengan cengkraman yang membuatnya sulit bernapas. Sekarang saja noda birunya belum sepenuhnya hilang sampai hari ini. Ajeng mesti menelan semua pil pahit itu. Dia tak ada pilihan lain kecuali menelan semua kepedihannya dan mencoba melupakan yang terjadi malam itu. "Eve, ini, Mama punya hadiah untukmu." "Wah, makasih ya Ma. Bagus banget berliannya. Aduuh, pink rose, sweet banget Ma." "Hm, untuk besok resepsi, kamu pakai ya, Sayang." “Ini juga, hadiah dari Papa. Semoga kehidupan rumah tangga kalian dipenuhi cinta dan kebahagiaan." "Makasih Papa, duh, kunci nih hadiahnya. Aku ga sabar pengen masuk ke rumahnya." Dan Ajeng juga mesti bersabar melihat Evelyn yang dimanjakan oleh calon mertuanya. Petang itu, Evelyn memenuhi undangan ibu mertuanya datang ke rumah keluarga Pradana dan dia diberikan set perhiasan untuk aksesoris pelengkap outfit-nya esok juga rumah sekaligus sertifikatnya atas nama Evelyn. Mertuanya memang sangat menyayangi calon menantunya itu. Ajeng bukan wanita yang punya sikap suka iri. Tapi kali ini dia tak bisa menahannya. Entah kenapa rasanya pedih dalam hatinya mendengar tuan dan nyonya rumah memanjakan calon menantunya sedang anak mereka si calon pengantin sudah merenggut mahkota kesuciannya. Cuma yang dapat apresiasi malah wanita lain. Siapa yang tak sakit hati? 'Haruskah aku memberitahu keluarga ini tentang perbuatan anak kebanggaan mereka padaku? Yah, bagus begitu. Aku tidak tersiksa sendiri.' PRAANG. "Aih, Ajeng, kumaha sih, cuci piring kenapah gak hati-hati sih?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN