Selamat membaca
3 hari kemudian.
Hari ini adalah hari terakhir Sultan di rawat di rumah sakit. Perlu waktu beberapa hari baginya untuk memulihkan tubuhnya yang terluka. Dan selama itu pun tidak ada yang menjenguknya.
Sultan memahami jika keluarganya tidak menjenguknya karena memang mereka tidak tau jika sekarang ia sedang berada di Yogyakarta.
Tapi istrinya?
Kenapa Ajeng tidak menjenguknya?
Padahal dia tau jika ia seperti ini karena dirinya.
"Arrggghh!!"
Sultan menjambak rambutnya frustasi. Ia benar-benar tidak mengerti dengan sikap Ajeng yang sekarang.
Tapi ia tidak akan menyerah, bagaimanapun caranya ia harus membawa Ajeng pulang. Karena itu, Sultan memutuskan untuk tetap tinggal di Yogyakarta sementara dan menginap di rumah kakeknya.
Untung saja, ia sudah menyerahkan pekerjaannya kepada orang yang bisa di percaya, jadi ia bisa tenang dan tidak perlu lagi pusing memikirkan pekerjaannya.
Sultan melirik ke arah jam dinding.
Jam menunjukkan pukul 10.20.
Sudah 20 menit ia menunggu, tapi kakak laki-lakinya belum juga datang untuk menjemputnya. Ia tidak henti-hentinya mengutuk kakaknya dalam hati karena sudah membuat seorang Sultan menunggu.
Ceklek
Terdengar suara pintu terbuka.
"Gimana bisa kamu masuk rumah sakit?!" Daru bertanya dengan nada sedikit tinggi.
Sultan hanya menatap Daru dengan tatapan malas.
"Panjang ceritanya, Mas nggak bilang kakek kan kalau aku masuk rumah sakit?" Sultan menyipitkan matanya.
Daru mengembuskan napas kasar.
"Tenang aja, aku nggak bilang."
Sultan hanya manggut-manggut.
"Ajeng ada di rumah," ungkap Daru dengan nada yang sulit di artikan.
"O, Ajeng," ucap Sultan acuh tak acuh.
Sedetik kemudian matanya langsung melebar.
"Apa! Ajeng?!" Sultan terkejut.
Sultan mulai merasa gelisah. Ia mulai berpikir jangan-jangan Ajeng sedang mengadu dan menjelek-jelekkannya.
"Ajeng nggak ngomong yang aneh-aneh. Dia cuma ngobrol biasa sama kakek," ungkap Daru seakan mengerti dengan apa yang sedang di pikirkan Sultan.
Sultan mengembuskan napas lega.
Kalau begitu, ini adalah kesempatan baginya untuk membawa Ajeng pulang.
"Sampai kapan kamu akan terus mempermainkan Ajeng?" Daru bertanya dingin.
Sultan menaikkan alisnya sebelah.
"Apa maksud, Mas?" Sultan bertanya balik dengan nada tidak suka.
"Jangan pikir aku nggak tau kalau kamu sebenarnya nggak pernah mencintai Ajeng."
"Kita bicarakan ini di rumah," tukasnya datar dan melewati Daru begitu saja.
Daru menghela napas panjang. Ia hanya tidak ingin adiknya menyesal suatu saat nanti karena sudah mempermainkan perasaan seseorang.
*****
"Kek! Ajeng di mana?" Sultan tidak sabar saat masuk ke dalam rumah.
Brama berdecak.
Cucunya ini seperti tidak pernah di ajari sopan santun saja. Masuk ke dalam rumah bukannya mengucap salam, tapi justru menanyakan hal lain.
"Sini kamu!" tukas Brama dingin.
Sultan dengan santainya menghampiri Brama yang sedang membaca koran di ruang tamu.
Takk
"Aduhh!" pekik Sultan kesakitan saat Brama memukulnya dengan remote tv.
"Sudah berkali-kali Kakek bilang! Kalau masuk rumah harus mengucap salam!"
Sultan memutar bola matanya malas sambil mengusap-usap kepalanya yang terkena pukulan Brama.
"Iya, iya, Ajeng di mana, Kek?" Tanyanya lagi.
Brama menghela napas panjang. Bicara dengan Sultan hanya akan membuang-buang tenaganya saja. Tidak pernah sekalipun di dengarkan.
"Ajeng di kamar, dia____"
"Sultan ke kamar dulu," potongnya cepat dan bergegas ke kamar yang dulu ia tempati.
"Heh! Kakek belum selesai bicara!" suara Brama menghentikan langkah Sultan.
"Apa lagi sih, Kek?" tukas Sultan kesal sembari membalik tubuhnya malas.
"Jangan ganggu Ajeng. Dia lagi sakit."
"Iya."
"Dasar cerewet!" gumamnya sebal.
Sultan kembali melanjutkan langkahnya dan berjalan dengan sangat cepat.
Setelah tiba di depan pintu kamarnya, ia membuka pintu perlahan.
Tatapannya terpaku ke arah Ajeng yang sedang tertidur dengan gaun tidur tipis.
Sultan menaikkan alisnya sebelah.
Tidak biasanya Ajeng memakai gaun tidur seperti itu.
Oh s**t!
Tiba-tiba saja kejantanannya langsung mengeras saat melihat tubuh Ajeng yang terlihat sangat menggoda.
Sultan menjilat bibirnya seakan sudah tidak sabar untuk melahap Ajeng habis-habisan. Sekarang ia sangat b*******h.
Sudah lama ia tidak pernah melakukannya dan sekarang ia benar-benar sudah tidak tahan lagi untuk menahannya lebih lama. Memangnya gara-gara siapa ia jadi seperti ini? Semuanya kan karena dia yang tidak melayani suaminya dengan benar. Jadi Ajeng harus menerima akibatnya. Beruntung Ajeng sedang sakit, jadi dia tidak akan bisa melawan.
Atau jangan-jangan Ajeng memakai gaun tidur seperti itu untuk menyambutnya dan dia sebenarnya tidak sakit, tapi hanya pura-pura lemah saja.
Sultan tersenyum dalam hati. Ia baru saja menyadari, ternyata Ajeng adalah wanita yang penuh tipu daya seperti itu.
Sultan menyimpulkan semuanya sendiri sesuai dengan apa yang ada di pikirannya, padahal sebenarnya tidak seperti itu.
Ajeng memakai gaun tipis itu karena dipinjami oleh istrinya Daru. Sebenarnya dia ke sini hanya untuk mengunjungi Brama, tapi saat dia ingin pulang tiba-tiba kepalanya terasa pusing dan tubuhnya sangat berat, bahkan Ajeng sampai muntah-muntah. Karena baju yang dia pakai terkena muntahan, jadi dia harus meminjam baju istrinya Daru yang semua bajunya kurang bahan.
Dan kenapa Ajeng tidur di kamar itu? Karena Brama yang menyuruhnya untuk tidur dan beristirahat, jadi bukan karena keinginannya sendiri.
Ajeng pikir Sultan tidak akan datang, jadi dia tidak keberatan tidur di situ, tapi ternyata takdir berkata lain.
Sultan berjalan perlahan menghampiri Ajeng, tapi tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya.
"Mau ngapain?" tanya Daru tersenyum miring seakan sudah mengerti dengan apa yang akan segera Sultan lakukan.
"Kamu masih berhutang penjelasan dengan aku. Ayo jelaskan semuanya," pungkasnya dingin sembari menyeret kemeja Sultan.
"Hey! Nanti aja, aku ada urusan!" pekik Sultan mulai emosi.
"Urus juniormu nanti aja," ledek Daru.
"Sialan!" umpat Sultan kasar.
Daru hanya terkekeh.
Ia membawa Sultan ke ruang kerja pribadinya.
"Sekarang jelaskan!" tukasnya tegas.
"Apanya?" tanya Sultan pura-pura tidak tau.
"Ya udah, aku mau menemui kakek."
"Tunggu!" cegah Sultan sambil menahan tangan Daru yang sudah bersiap untuk pergi.
Kakeknya tidak boleh tau tentang hal ini. Ia pasti akan di hajar habis-habisan oleh kakeknya jika Daru mengatakan yang sebenarnya.
Daru tersenyum lebar karena kali ini ia menang.
Sultan menyenderkan tubuhnya lemas di sofa.
Ia menghela napas panjang.
"Aku memang nggak mencintai Ajeng."
Sultan terdiam sejenak.
Daru masih menunggu ucapan yang akan dikatakan oleh Sultan selanjutnya.
"Aku menikahi dia cuma untuk dimanfaatkan."
Daru mengepalkan tangannya erat.
Ia tidak habis pikir dengan sikap adiknya itu. Bagaimana mungkin dia bisa tega melakukan hal itu kepada seorang wanita?
"Aku terpaksa melakukan ini karena kakek terus memaksa aku menikah. Padahal aku masih ingin memperbesar kekuasaan perusahaan dan belum siap berumah tangga, karena pasti waktuku akan terbagi. Sedangkan kakek nggak ada henti-hentinya mendesak dan menjodohkan aku dengan wanita yang nggak aku suka."
"Wanita pilihan kakek semuanya wanita yang berasal dari kalangan keluarga kaya, aku nggak suka. Hanya melihat sekilas aja, aku udah tau kalau mereka manja, sombong, dan egois. Aku nggak mau waktu kerjaku terganggu cuma karena sifat mereka yang selalu ingin diperhatikan dan disayang."
"Kamu bisa menolaknya kalau nggak mau dijodohkan!" pungkas Daru mulai emosi.
"Mudah aja bagi Mas bicara seperti itu. Mas kan nggak tau kalau kakek terus mengancam ingin bunuh diri kalau aku nggak mau menikah."
"Tapi kenapa harus Ajeng? Dia wanita yang baik!" Daru menahan emosi.
"Karena dia nggak terlihat seperti mereka."
Daru menaikkan alisnya sebelah.
Sultan tersenyum kecil.
"Dia berbeda."
"Saat pertama kali bertemu dengan aku. Ajeng sama sekali nggak mencoba menarik perhatian atau pun tebar pesona seperti wanita kebanyakan. Dia hanya diam dengan wajah datarnya," ungkapnya sembari menerawang ke depan.
"Dan dia juga nggak seperti wanita-wanita itu yang haus akan kasih sayang dan perhatian. Jadi aku rasa, aku bisa memanfaatkannya. Karena itu, aku memilih dia sebagai tameng agar kakek berhenti mendesak menjodohkan aku dengan para wanita menyebalkan itu lagi."
Daru mengusap wajahnya kasar.
"Terserah kamu aja. Aku nggak ngerti sama jalan pikiran kamu yang rumit itu," cetus Daru kesal dan pergi meninggalkan Sultan.
Mereka berdua sama sekali tidak menyadari jika sejak tadi ada seseorang yang mendengarkan pembicaraan mereka dari awal sampai akhir.
TBC.