Harus Begini dan Begitu

3101 Kata
            Nyatanya, Ryu masih sialan hingga saat ini. Dari awal dia sudah seperti itu, jadi sekarang pun sama saja. Ryu masih tetap bermain dengan wanita dan berakhir di ranjang. Banyak wanita yang jatuh ke pelukannya, namun Ryu punya aturan di atas ranjangnya. Tidak ada cinta, juga... tidak ada dua kali. Sampai kapan pun, dia tidak akan pernah berhubungan dua kali atau lebih dengan seorang wanita. Alasannya? Karena bosan. Untuknya, wanita ibarat benda yang hanya bisa digunakan untuk bermain di ranjang sekali. Sensasinya akan sama untuk yang kedua dan seterusnya. Ryu sialan, namun tidak ada wanita yang berani menentangnya. Ryu selalu punya aura mutlak di sekitarnya. Bahkan hingga saat ini tidak pernah ada wanita yang bisa merebut hatinya, secantik dan sehebat apapun dia di ranjang. Kepuasan Ryu hanya sesaat, bahkan terasa hambar. Ketika wanita-wanita itu mencium bibirnya, Ryu tidak merasakan apapun. Dia pernah melihat film dan mereka mengatakan kalau ciuman itu indah. Namun hingga sekarang Ryu tidak merasakan itu. Rasa ciuman sama saja menurutnya. Lembut. Tidak begitu spesial. Ciuman itu akan berakhir dengan desahan setelahnya. Berakhir dengan klimaks, lalu hilang tak berbekas. Ryu masih seperti itu. Dalam hatinya, dia hanya percaya pada dirinya sendiri. Tidak pada orang lain, bahkan pada ayahnya pun tidak. Lelaki tua itu masih menutup mata di salah satu kamar VIP rumah sakit, yang dijaga ketat oleh anak buahnya yang lain. Ryu menatap layar laptopnya lagi. Theo di sana, bercerita sambil tertawa dengan dengan Taiga. Bahkan sesekali lelaki kriwil manis itu melambai riang di kamera. Awalnya dia malu-malu, lalu jadi narsis? Ryu mengernyit kesal. "Theo-chan, coba nyanyikan sebuah lagu!" Taiga tertawa riang. Theo melotot, menggeleng kencang setelahnya. "Semua orang akan melarikan diri kalau aku bernyanyi, Taiga-san." "Tetapi, kami ingin mendengarnya." "Tidak." "Ayolah..." Taiga menoel-noel pipi Theo. Ryu menggebrak meja spontan. Tangannya terkepal kesal. Theo masih bercanda bersama Taiga di sana. "Theo-chan, kalau begitu coba kirim pesan dengan wajah manis, menggoda dan imut!" Taiga masih merangkul Theo dan memaksa lelaki kriwil itu untuk menuruti permintaannya. Theo menggeleng kencang, meronta. Ryu menggeram marah. Pasalnya, Ryu tahu pasti bagaimana suara Theo ketika bernyanyi. Napasnya pendek-pendek dan itu membuat suaranya terdengar seperti desahan. Ryu pernah mendengarnya ketika si kriwil mabuk waktu itu. "Taiga sialan!!" Ryu menjerit gusar. Dia melupakan satu fakta saat ini. Rekaman itu sudah diupload sejak sejam yang lalu. Artinya Taiga dan Theo berada di tempat itu, sementara dirinya masih di club. Ryu berdiri. Kakinya melangkah cepat ke arah meja kerjanya untuk mengambil HP. Jemarinya sudah terlatih akurat untuk menghubungi Taiga. Orang yang sekarang harus menjelaskan banyak hal padanya. Tentang video itu terutama. Tentang banyak hal. Pada sambungan yang ketiga, Taiga mengangkat teleponnya. Suaranya terdengar malas dan ogah. Suara berisik terdengar di sana. Ryu tahu kalau akhir-akhir ini Taiga sedang menghindarinya. Mungkin karena rayuan dan bujukan Ryu agar Taiga bergabung dengan klannya. Tetapi, Taiga bukan lelaki yang bisa diikat seperti itu meski dia sahabatnya. "Mungkin kau bisa mengajak semua orang mengikutimu, kecuali aku." Saat itu Taiga berkata tajam. Mereka saling pukul hanya untuk membuktikan kalau mereka punya harga diri. "Ada apa?" Suara Taiga terdengar di sana. Malas. "Kalau untuk omong kosongmu soal merekrutku, setinggi apapun jabatan yang kau tawarkan... aku menolak." Ryu berdecak kesal. "Bukan itu yang ingin kubicarakan," ucapnya ketus. Taiga menunggu lanjutan ucapannya. Berkali-kali Ryu mencoba menyusun kata agar Taiga tidak bertanya macam-macam. Mulut Taiga itu agak sialan. Oke, sangat sialan! "Lalu?" "Sejak kapan kau dan dia dekat?" Ryu bertanya pelan, merutuk sebal. Taiga di seberang sana menaikkan alisnya. "Dia? Dia siapa? Yang mana?" Taiga benar-benar tidak paham siapa 'dia' yang Ryu maksud. Setahunya ia dekat dengan siapapun. "Si kriwil dari tempat Takazumi!!" Ryu berteriak kencang, mengumpat kesal. "Hah?" Kali ini Taiga melongo, menggaruk ujung hidungnya lagi dengan wajah kesal. Dia tidak mengerti bagaimana cara Ryu bisa tahu. Ah, video youtube-nya! Dalam tiga detik, tawa Taiga menyembur kencang. Taiga berdehem, lalu beralih bahasa. Dia tidak lagi menggunakan bahasa Jepang, namun bahasa Inggris. "Kau! Sejak kapan kau punya acara menonton channel-ku?" tanya Taiga geli. Ryu mengernyit setelahnya. Kenapa Taiga jadi bicara bahasa Inggris? Mereka selalu menggunakan bahasa Jepang ketika mengobrol berdua. "Aku menonton banyak hal. Aku tidak sekaku itu." Ryu ikut menggunakan bahasa Inggris pada akhirnya. "Kau juga menonton videoku yang lain?" Taiga masih senang menggoda Ryu. Dia tidak pernah tahu kalau Ryu juga sering menonton videonya. "Ya, kalau judulnya menarik aku lihat! Kau puas?!" Ryu menggeram di sana. Taiga masih terkekeh geli sesekali. Biasanya Ryu tidak pernah seserius ini untuk membahas soal video yang dia upload. Taiga tersenyum puas sekarang. "Kebetulan sekali! Kau ingin dengar cerita?" Taiga bertanya cepat. "Soal apa?" 'Theo-chan." "Kenapa dia?" Ryu melupakan gengsi dan harga dirinya, lantas bertanya pada Taiga ada apa dengan lelaki kriwil itu. "Aku bertemu dengannya di jalan. Dia sempat menolak ikut, tetapi aku memaksanya. Aku baru saja membuat video di diskotik sebelah. Lalu aku mengajaknya mengobrol sebentar. Dia lucu sekali, tahu! Ternyata dia bisa lebih banyak bicara daripada yang kuduga." Ryu... cemburu. "Sejak kapan kau dekat dengannya?" "Sejak tadi. Atau mungkin sejak saat ini. Apa kau lupa sesuatu, Ryu?" Taiga tersenyum penuh rahasia. Ryu curiga tiba-tiba. "Apa?" "Aku masih ada di sini bersama dengan Theo-chan. Karena itulah aku menggunakan bahasa Inggris, dan juga... meloud speaker teleponmu." Ucapan Taiga sukses membuat Ryu melotot. "Theo-chan, katakan sesuatu!" "Sialan!!" Theo di sana menggeleng kencang. Dia masih shock dan terkejut dengan percakapan Taiga dan Ryu. Ryu kesal dengan kelakuan kurang ajar Taiga. Ia tersenyum aneh, lalu bicara dengan nada tajam. "Katakan padaku, dimana kalian sebenarnya?!" Ryu bertanya, namun teriakan kencang yang terdengar setelah itu. "Aw! Jangan berteriak, Ryu-sama! Aku dan Theo-chan harus pulang. Sekarang sudah hampir pagi." Taiga terkikik, lalu mematikan sambungan teleponnya. Ryu mengacak gusar rambutnya. Lelaki kriwil itu dekat dengan Taiga, setelah kemarin mendekati Ryu. Jelas saja Ryu emosi. Jadi tekadnya untuk berteman hanya serendah itu! Kemarin Theo mendekatinya hanya karena penasaran, bukan karena ingin berteman. Theo sudah mundur hanya karena ia menolaknya. Padahal, waktu itu Ryu mencoba untuk jadi lelaki paling sialan yang pernah dia lakukan selama ini. Ryu tidak pernah bertingkah k*****t hanya untuk membuat orang lain kesal, namun kemarin-kemarin Ryu sengaja melakukannya. Dia berciuman di depan Theo, lalu memaksa lelaki kriwil naif itu minum bir, dan juga menyuruhnya bernyanyi. Ryu tidak ingin Theo mendekatinya karena alasan berbahaya, namun Ryu bisa melindungi "teman"nya itu. Ryu hanya sedang mencoba menggoda Theo sebentar. Dia ingin tahu keseriusan Theo sebenarnya. Ryu sudah mulai goyah waktu itu dan hampir saja mengatakan "Ya" untuk permintaan Theo. Namun sekarang... tidak lagi. Ryu semakin yakin untuk membuat Theo menjauh darinya. Taiga dan Theo sudah pulang ke rumah masing-masing. Berkali-kali Theo mengucapkan terima kasih karena video tadi. Delta, mantan bosnya itu meninggalkan komentar di video Taiga, mengatakan kalau dia akan menunjukkan video itu ke nenek Theo. Theo menangis haru ketika melihatnya. Dia sangat berterima kasih untuk semua kebaikan mereka. "Oyasumi, Theo-chan..." Taiga melambai ketika Theo sudah melangkah masuk ke apartemen kecilnya. Theo mengerjap beberapa kali dan bersiap menutup mata, namun hal itu urung dilakukannya. HPnya bergetar. Telepon masuk dari nomor yang tidak dikenal. Theo terpaksa mengangkatnya karena telepon itu menghubunginya lagi. Bagaimana kalau orang Jepang yang salah nomor? Theo tidak bisa bahasa Jepang, meski dia baru belajar. Itu juga hanya dalam percakapan yang sederhana. "Moshi-moshi?" "Kau! Sejak kapan kau dan Taiga dekat?" Suara itu langsung menyapa gendang telinga Theo. Theo menelan ludah gugup. Dia hafal suara siapa ini. Theo tidak tahu bagaimana cara Ryu mengetahui nomornya. "Kami tidak sengaja bertemu dan..." "Lupakan!" Ryu mematikan teleponnya. Theo melongo, mengerjap beberapa kali karena tidak paham. Dia tidak mengerti kenapa Ryu menghubunginya hanya untuk bicara itu padanya. Theo tidak paham. Ryu selalu saja mengusirnya tiap kali dia mendekat. Kemarin puncak kekesalan Theo terhadapnya. Selama ini Theo mencoba bersabar karena ingin berteman dengan Ryu. Dia ingin mengatakan pada lelaki Yakuza itu kalau berteman dengan orang lain tidak seburuk itu. Tetapi Ryu masih mengusirnya. Sekarang dia bisa apa? Theo menelan ludahnya. Dia mengingat kembali berapa banyak tingkah bodoh yang dia lakukan hanya untuk menarik simpati Ryu. Dia malu tiba-tiba. Bagaimana bisa dia merendahkan diri hanya untuk mengajak Ryu berteman? Jauh di lubuk hatinya, Theo sudah mulai lelah. Dan... muak. Begitu banyak orang yang bisa jadi temannya, lalu kenapa dia harus fokus dengan Ryu yang jauh itu? Theo mengangguk paham. Dia memang plin-plan. Mulai sekarang, dia tidak akan mendekati Ryu lagi. Hari-hari Theo berlalu seperti biasa. Dia bekerja lagi. Beberapa orang sudah mulai datang hanya untuk memesan kopi buatan Theo. Meski tempatnya bekerja adalah club malam, namun ada beberapa pekerja kantoran yang sengaja datang hanya untuk minum kopi buatan Theo. Ia terharu karena dihargai seperti itu. "Ryu-sama memesan kopi, Theo-chan!" Ken melongokkan kepala ke dalam dapur. Theo mengangguk cuek, lalu melangkah ke counter. Tidak seperti biasanya, dia sengaja meminta bantuan Ken untuk mengantarkan kopi itu pada Ryu. "Kenapa tidak kau antar sendiri?" Ken penasaran. Theo menggeleng cepat. "Aku sudah tidak memiliki keinginan untuk berteman dengannya." Dia mengedikkan bahu sekejap. Ken melongo. "Bagaimana kalau dia bertanya padaku kenapa bukan kau yang mengantarnya sendiri?" "Jawab saja begitu!" Theo melangkah cuek. "Kau gila? Bagaimana kalau dia... marah?" "Katakan padanya untuk marah padaku!" Theo masih melenggang dengan wajah cuek. Dia kembali ke dapur untuk membantu para koki di sana. Ken melongo. Dia tidak berani untuk mengatakannya. Theo pun sama. Dia tidak seberani itu sebenarnya, tetapi dia tidak ingin beramah-tamah dengan Ryu lagi. Sebenarnya... Theo sudah pasrah. Seandainya nanti dia dibunuh. Tidak, Ryu tidak sekejam itu untuk melakukannya. Tetapi, siapa tahu saja Ryu memiliki keberanian untuk itu! Theo merinding. Dalam sekejap dia berjingkat hanya untuk mengintip lelaki yang sedang bersama wanita seksi itu. Sialan seperti biasanya! Ken berlari kencang ke arahnya setelah meletakkan kopi itu di meja Ryu. Wajah rekannya itu terlihat ketakutan sekali. "Theo-chan, dia menyuruhku membawamu." "Aku tidak mau!" "Dia mengatakan padaku kalau aku harus membawamu padanya, bahkan kalau perlu aku boleh mematahkan kakimu." Theo melotot. Apa lagi sekarang? Dia sudah tidak ada minat mendekati Ryu karena sudah lelah dan muak, tetapi Ryu kembali menariknya? Punya hak apa dia untuk mengaturnya? Dulu saja dia selalu mengabaikan Theo, bahkan mengusirnya! Karena tidak ingin Ken mendapatkan resiko, Theo melangkah menghampiri Ryu. Langkahnya malas, sementara rambutnya sudah terikat imut seperti sebelumnya. Ryu mengernyit, menatap Theo yang juga sedang menatapnya malas. Tanpa hormat dan kekaguman seperti biasa. Sementara itu Ryu masih sama. Masih sialan seperti sebelumnya. Masih dikelilingi oleh wanita. Theo muak sekali! "Kenapa bukan kau yang mengantarkan kopi ini padaku?" Theo menunduk, namun sesaat setelahnya dia menghela napas. Ia berani untuk mendongak, menatap Ryu. Ryu sedikit terkejut dengan respon Theo. Lelaki kriwil itu berani sekali sekarang. Bahkan semalam Theo juga mengabaikan telepon Ryu. "Karena saya sibuk." Theo menjawab dingin. Ryu kembali memelototkan mata mendengar jawaban dingin Theo. "Kau! Kemarin kau mengejarku dan mengatakan untuk jadi temanku. Sekarang kenapa kau menghindar? Apa kau sudah bosan?" Ryu tidak suka bertele-tele dan langsung mengucapkan maksudnya. "Terima kasih karena Anda sudah memahami saya." Ryu menggebrak meja di depannya, menyingkirkan gelas-gelas di depannya hingga hancur berantakan. Botol birnya bahkan sudah pecah dan berserakan di lantai. "Tolong maafkan saya." Lelaki kriwil itu kembali berucap. Takut mengerayap di hatinya, namun dia bisa apa? Dia tidak ingin bersama Ryu untuk saat ini. "Untuk apa kau meminta maaf?" "Untuk sikap saya kemarin. Karena telah memaksa Anda menerima saya jadi teman. Saya tak tahu diri waktu itu, mengajak seseorang yang terhormat seperti Anda berteman." Ryu murka. Tangannya menarik krah seraham Theo kencang. Matanya menatap tajam mata Theo yang sedang memalingkan wajah. Bau bir, wanita, rokok menyapa indera penciuman Theo. Theo takut. Theo muak. Dia benci. "Apa yang kau lakukan, Theo?!" Ryu membentak. "Saya melakukan apa yang Anda perintahkan. Menjauh." Theo menatap wajah Ryu berani kali ini. Ada rasa sakit yang muncul ketika lelaki itu menatap Ryu. Theo benci diperlakukan seperti ini. Dia tidak terbiasa. Meski saudara ayahnya selalu menyinggung perasaannya dengan kata-kata, namun Theo sudah kebal dengan itu. Namun sekarang semuanya berbeda. Theo melangkah pada konflik fisik. Konflik menyakitkan. "Jadi sekarang kau balas dendam? Kau membuangku?" Ryu bertanya sadis. Wajahnya masih dekat dengan wajah Theo. Theo tidak suka bau ini. Rokok. Bir. Wanita. Theo memang sudah terbiasa ketika bekerja. Akan tetapi ketika bau itu tercium dekat dengan wajahnya, dia ingin muntah. Mual. Juga... muak. "Anda yang membuang saya, Ryu-sama. Mungkin benar yang Taiga-san katakan waktu itu. Saya dan Taiga-san tidak pantas untuk bersama Anda. Anda terlalu jauh. Anda terlalu tinggi. Lengan kami tidak mampu menarik Anda, sementara kaki kami juga terlalu pendek dan lelah untuk menyusul." Ryu mengeratkan cengkeramannya. Rahangnya mengeras. Apalagi ketika melihat mata lelaki kriwil itu mengerjap ke arahnya, seolah sedang menahan tangis. "Jangan dekat-dekat dengan Taiga!!" "Anda bisa memerintah anak buah Anda semaunya, kecuali saya." Ryu tercekat. Kalimat itu mirip sekali dengan yang Taiga katakan terhadapnya. Ryu mengeratkan rahang, melepaskan cengkeramannya dengan kasar. Kini dia melepaskan satu orang lagi. Kenapa susah sekali mengikat orang-orang yang dia inginkan? Oh, itu juga salahmu, Ryu! Kau mendorongnya ketika dia mendekat, jadi ketika dia menjauh... kau tidak punya hak untuk menariknya kembali. Theo membungkuk, lalu pergi ke dapur. Lelaki itu kembali dengan sapu dan sekop di tangannya. Theo membersihkan pecahan gelas di lantai tanpa kata. Ryu masih di sana, duduk dengan para wanita. Namun kali ini auranya sudah kelam. Matanya nyalang menguliti Theo, dari kepala hingga ujung kaki. Mengawasi lelaki kriwil itu dengan amarah. "Kalian awasi dia! Jangan biarkan dia dekat dengan Taiga. Atau... kalian akan kehilangan satu jari kalian!" *** Theo melangkah cepat. Beberapa orang juga melangkah di belakangnya. Mengikuti pergerakan Theo kemana saja dia pergi. Theo menelan ludah. Dia tahu siapa mereka. Mereka sering sekali berkunjung ke club malam tempatnya bekerja. Bersama dengan bos mereka tentunya. Ryu. "Kenapa kalian mengikutiku?" Theo menjerit gusar ke arah mereka. Mereka saling pandang, tidak mengerti ucapan Theo. Salah satu dari mereka bicara dengan bahasa Jepang. Hanya satu kata yang Theo tahu maknanya. Aniki. Mereka memanggil Ryu dengan sebutan itu. Theo merengut kesal. Ketika kakinya melangkah, Taiga muncul dari seberang jalan. Berlari ke arahnya riang dan bermaksud memeluknya. Hanya saja tiba-tiba para anak buah itu menghalangi Taiga. "Kenapa?" Taiga bicara dengan bahasa Jepang. Theo melongo karena tak paham dengan tingkah para anak buah Ryu. "Aniki melarang Theo-san untuk dekat dengan Anda, Taiga-san." Taiga merengut. Dia melotot tak suka. Setelah itu dia berteriak pada anak buah Ryu, dengan bahasa Jepang seperti biasa. Theo yang tidak mengerti mereka bicara apa sejak awal akhirnya hanya mampu menduga dan menyimpulkan. "Taiga-san, kenapa?" Theo mencoba bertanya untuk mengonfirmasi dugaannya. "Mereka melarang kita berdekatan, Theo-chan." Theo mengacak rambutnya gusar. Ada hal yang harus dia lakukan sekarang, sebelum Ryu bermain-main dengan hidupnya. Matanya menatap Taiga lurus. "Taiga-san, tolong katakan pada mereka kalau aku ingin bicara dengan Ryu-sama." Taiga melotot tak percaya. "Kau serius?" "Ya, sangat serius!" Taiga menurut. Setelah mengatakan sesuatu dengan bahasa Jepang, para anak buah itu menoleh ke arah Theo. Mereka mengangguk, lalu kembali mengawal Theo pergi. Tentu saja untuk menemui bos mereka. Ketua sekaligus pemilik mereka. *** Ketika Theo masuk ke kediaman Ryu untuk yang kedua kalinya, langkah kaki lelaki kriwil itu lebih berani. Saat ini dia sedang emosi, jadi dia mengabaikan tatapan seram dari para anak buah Ryu. Untungnya dia sempat melewati lorong ini, yang Theo tahu pernah dia lalui ketika melarikan diri. Waktu itu Ryu masuk dalam ruangan berpintu unik, dengan ukiran naga emas di depannya. "Apa di sini tempatnya?" Theo menunjuk pintu itu. Anak buah yang lain menggeleng, lalu menghalangi pintu. Ternyata memang benar! Ryu ada di dalam sana. Mungkin kaki tangan Ryu sengaja menghalangi Theo masuk karena Theo adalah orang asing. Tenang saja, Theo tidak tertarik dengan urusan para Yakuza. Dia hanya harus bertemu ketua mereka. Mereka mengajak Theo pergi ke sebuah ruangan lain. Theo menurut. Salah satu pelayan bicara dengan bahasa Jepang dan membungkuk ke arahnya. Theo menduga-duga sendiri apa itu artinya. Apa mungkin semacam, "Tunggu, ya Dek! Gue panggilin bos gue dulu. Lo santai-santai aja dulu di sini, deh!" Theo terkikik diam-diam. Dia tidak ingin menunggu. Semakin lama dia di sini, maka semuanya akan makin runyam. Theo melangkah, membuka pintu perlahan. Kepalanya melongok ke kanan kiri. Sepi. Tidak ada anak buah Ryu yang berkeliaran seperti isi cendol. Theo berjingkat pelan, melangkah ke arah ruangan berukir naga emas tadi. Tidak ada penjaga di sana. Theo melangkah, mengetuk pintu itu sebentar. Ada suara Ryu yang perlahan terdengar di sana, dengan bahasa Jepang. Ryu belum tahu kalau itu dirinya. Theo mengangguk yakin. Dia tidak mengerti apa yang sedang Ryu katakan, namun dia nekad untuk masuk. Jemarinya mendorong pintu itu perlahan. Dan Theo tercekat kaget. Tubuhnya mematung di ambang pintu. Hatinya sakit tiba-tiba. Ryu di dalam sana bergerak di atas tubuh seorang wanita. Tanpa busana. Dengan p***s berkondomnya yang menancap di v****a wanita itu. Theo menegang di tempatnya. Rasa jijik dan mual merayap dalam hati, namun dia mencoba untuk kuat saat ini. Dia ingin mengatakan banyak hal. Ryu menoleh spontan ke arah pintu dan terkejut tatkala mendapati lelaki kriwil itu berdiri di sana. Dengan mata terpaku. Rohnya seakan sudah tercabut dari jasadnya. Theo sakit hati. Pernah tahu bagaimana reaksi lelaki itu ketika sakit hati parah? Theo melangkah masuk tanpa malu, lalu menendang perut Ryu kencang. p***s Ryu tercabut paksa dari v****a perempuan itu. "Kau!! k*****t!! Kau mengaturku, tetapi kau bertingkah sesuai keinginanmu?! Aku bukan bonekamu, b******n!!" Ryu tergagap. Dia berdiri, dengan tubuh telanjang, dengan p***s yang perlahan melayu tanpa sebab. Theo ingin memukul lelaki ini, namun tenaganya sudah habis untuk berteriak. Emosi sedang menyusup dalam hatinya. Dia tidak ingin mencari masalah, namun nyatanya... Ryu yang memulainya lebih dulu. "Kenapa kau bisa... di sini?" Ryu menarik piyama yang ada di sofanya, lantas mengenakan piyama itu asal. "Jangan pernah mengaturku lagi! Atau dekat denganku! Aku tidak ingin mengenalmu lagi!" Theo bicara tajam. Matanya nyalang, melotot ganas. "Kau..." "Ah, terserah! Aku akan segera pindah dari tempat itu! Aku tidak akan mengganggumu, jadi jangan menggangguku!" Theo memutuskan itu spontan. Ryu melotot. "Tidak! Kau tidak boleh pergi dari tempat itu!" "Kalau begitu menjauhlah! Kau... menjijikkan!" Mengatakan "menjijikkan" pada satu-satunya penerus klan Yakuza merupakan jalan pintas menuju kematian, tetapi Theo tidak peduli itu. Lelaki kriwil itu melangkah pergi setelahnya, dengan sakit hati yang masih membekas dan tidak akan pernah hilang selamanya. Setelah kepergian Theo, Ryu kembali sadar dengan perbuatannya. Dia mabuk. Wanita yang sedang bersamanya ini tiba-tiba muncul dan mengajaknya. Namun karena Ryu tahu sedang punya janji, akhirnya dia pulang dan wanita itu mengikuti. Ryu tidak sadar dengan perbuatannya karena sudah terlanjur emosi dengan tingkah Theo tadi. Sekarang... Theo mengatakan kalimat yang membuat Ryu makin murka. "Kalian! Potong jari kalian sekarang juga!!" Ia menjerit kencang. Semua anak buahnya menelan ludah. Ryu sedang menggila karena lelaki kriwil itu. Lagi. Theo melangkah pergi meninggalkan kediaman Ryu. Tak ada yang mengawalnya seperti sebelumnya. Jemarinya terulur ke d**a. Dia mencengkeram bagian itu, menangis kencang setelahnya. Tubuhnya berguncang. Theo hancur dari dalam. Lalu satu pelukan menyambut erat tubuhnya. Seperti biasa, Taiga-san selalu ada ketika Theo jatuh dan terluka. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN