Seharusnya Memang Seperti Itu
Di semester keempatnya, lelaki kriwil itu dihubungi kembali oleh ibunya. Wanita yang melahirkannya dua puluh tahun lalu itu berbisik pelan, separuh memohon padanya. Lelaki kriwil itu berdecak enggan. Dia masih ingin tinggal lebih lama di sini, tetapi dia bisa apa? Neneknya sudah tua. Pamannya dari pihak ayah mengajak sang nenek tinggal bersama. Sementara ia tahu sungkan. Sungkannya terlalu besar. Meski darah ayahnya mengalir dalam tubuh, namun lelaki kriwil itu masih punya ibu.
Neneknya sering sakit, sementara Theo sibuk bekerja. Darimana dia mendapatkan uang? Ibunya menikah lagi, punya keluarga sendiri, dan tentunya pengeluarannya sudah besar. Theo tidak suka membebani ibunya. Lalu ketika sang paman dari pihak Ayah menarik neneknya, Theo makin galau. Theo paham yang terjadi sebenarnya. Sangat. Ia sangat paham. Ketika paman dan bibi dari pihak ayahnya berdiskusi, berbicara soal banyak hal tentangnya.
“Lalu dia mau jadi tanggung jawab siapa? Dia emang keponakan kita, tapi dia masih punya ibu!”
Theo sadar betul dengan apa yang mereka diskusikan. Selama ini dirinya dianggap beban oleh kakak-kakak ayahnya. Andaikan ditawari pun, dirinya juga belum tentu mau menggantungkan hidupnya pada mereka.
“Theo sayang Mama? Nggak kasihan ke Nenek?” Kali ini ibunya juga memberikan pertanyaan. Pertanyaan itu kembali menghujatnya, sementara pikirannya terluka sekali. Theo tidak bisa seperti ini. Kalau ditanya, jelas dia sangat menyayangi mamanya. Namun kalau untuk memilih, jelas ia tidak ingin pergi dari tanah kelahirannya. Ia tahu kalau ibunya sudah berdiskusi dengan kakak-kakak mendiang ayahnya. Jadi semua itu sudah diatur, sementara dirinya tidak berhak mengeluarkan pendapat tentang nasibnya sendiri.
Di semester keempatnya inilah, Theo mulai bosan hidup.
Theo bisa hidup sendiri di sini. Bahkan sejak ayahnya meninggal pun ibunya sudah pergi, bekerja jadi TKW ke Jepang. Hingga akhirnya sang ibu jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah dengan warga sana. Berkali-kali Theo diajaknya turut serta, namun waktu itu sang nenek menolak. Beliau tidak pernah rela kalau cucu tersayangnya pergi. Theo adalah harta dan warisan terakhir yang ditinggalkan oleh anak bungsunya.
Sekarang, permasalahannya berbeda.
Theo tidak bisa bertahan seperti ini. Ia sanggup mengurusi neneknya sampai kapan pun. Namun di sisi lain Theo juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ibunya punya keluarga sendiri, dan tentunya dia tidak ingin jadi beban tambahan. Lagipula ibunya tidak bekerja. Beliau jadi ibu rumah tangga, ikut suaminya. Jelas tidak mungkin Theo menggantungkan hidup pada suami ibunya.
Ketika pamannya menarik sang nenek, saat itulah dunia Theo seperti terombang-ambing. Neneknya menjerit kencang layaknya anak kecil waktu itu. Beliau menangis, memeluk leher Theo erat dan berteriak pada semua orang.
“Jangan ambil cucuku!!”
Padahal saat itu Theo tahu, neneknyalah yang direbut paksa darinya.
Demi menyenangkan sang ibu dan juga karena tidak ada tempat lagi untuknya, Theo memutuskan untuk pergi. Ia sadar, tidak ada siapa-siapa yang akan menemaninya di sini. Dia bisa saja tinggal sendiri, atau tinggal di cafe bersama pegawai yang lain. Mereka juga keluarga Theo, keluarga baru meski tak terikat oleh darah.
Namun, keputusan tetap keputusan. Meski hatinya berat, lelaki kriwil itu pergi juga menemui ibunya. Dia setuju pindah ke Jepang, namun dengan beberapa syarat. Dia tidak akan pernah mau tinggal bersama ibunya. Dia memutuskan untuk tinggal sendiri. Semua berubah. Tidak ada nenek yang selalu menyambutnya suka cita ketika dia pulang kuliah, tidak ada nenek yang membangungkannya untuk berangkat kerja, juga... tidak ada pelukan neneknya.
Lelaki kriwil itu menangis selama di pesawat. Wajahnya tertutupi jaket mulai berangkat hingga sampai di Bandara Haneda, Tokyo, Jepang. Dia tidak bisa bahasa Jepang, dan ini kali pertamanya pergi ke luar negeri.
Tidak ada wajah ibunya di manapun. Atau mungkin dia sudah lupa dengan wajah ibunya sendiri. Sudah tujuh tahun dia tidak bertemu dengan ibunya, jadi wajar saja kalau dia lupa. Theo melangkah gontai ke kursi tunggu, lalu merebahkan diri di sana. Matanya membengkak karena tangis, namun dia tidak peduli.
Seorang petugas bandara tiba-tiba menghampirinya dan bicara dengan bahasa Jepang. Theo tidak tahu apa yang sedang dia bicarakan, lantas diam saja. Matanya menatap kosong. Datar. Barulah setelah itu Theo paham kemana arah pembicaraan petugas bandara itu, meski dengan bahasa Inggris berlogat aneh.
“No sleep here, Sir!”
Theo bangkit, menyeret kopernya pergi setelah itu. Hanya tiga kalimat yang dia tahu maknanya. Arigatou. Sumimasen. Hai. Theo hanya mengerti tiga kalimat itu. Selebihnya dia tidak tahu. Atau mungkin tidak terlalu peduli. Meski dia harus bekerja di tempat ini. Setidaknya mereka paham dengan bahasa Inggris yang sederhana.
“Theo!”
Theo menghentikan langkah. Kepalanya menoleh, mencari sumber suara. Ada seorang wanita yang melambai riang ke arahnya. Wanita yang tampak lebih cantik daripada tujuh tahun lalu. Theo bingung harus bagaimana, namun wanita itu sudah mendekap tubuh Theo erat. Bahkan tidak sungkan untuk mencium kedua pipi lelaki kriwil itu.
“Aku malu, Ma!” Theo protes.
“Mama kangen...”
Theo tidak.
Ibunya tersenyum, lalu mengamit lengan Theo. Sudah lama sekali dia tidak berbicara dengan ibunya secara langsung. Biasanya mereka bicara lewat telepon, tetapi rasanya berbeda sekarang. Theo enggan mengatakannya, namun ibunya berbeda. Ibunya bukan lagi wanita yang dulu mengomelinya ketika dia pulang dengan seragam kotor, bukan lagi wanita yang memasak makanan favoritnya, juga...
“Tunggu jemputan dulu, ya!”
Alis Theo naik. Mereka berdiri di depan pintu masuk, memperhatikan sekeliling. Langit musim panas Jepang menyambut Theo.
“Siapa yang jemput, Ma?”
“Suami Mama.”
Theo mengangguk paham. Dia berdiri bersama ibunya di sana, hingga matanya menatap gerombolan aneh. Berjas rapi sekali. Mereka berdiri berjajar, membentuk sebuah pagar di kanan kiri. Tidak tahu sudah berapa lama mereka berdiri seperti itu. tak lama setelahnya, seseorang dari dalam Bandara keluar dari pintu khusus. Dia dikawal oleh beberapa orang lainnya. Orang-orang yang berbaris rapi itu membungkukkan badan serentak, menghadap ke arah lelaki yang melangkah di tengahnya. Mobil sudah berhenti sejak tadi, lalu pintunya dibuka. Lelaki itu masuk dan mobil melaju.
Orang-orang yang berbaris tadi masih membungkuk hingga mobil itu menghilang.
Theo merasa itu lucu, namun dia tidak bisa tertawa. Dia penasaran dengan mereka. Ia pernah melihat film soal mafia-mafia seperti itu, namun tidak pernah punya ekspektasi untuk melihatnya secara live. Sekarang dia bisa melihatnya, meskipun tidak jelas dan tidak berinteraksi. Analogi yang sederhana, seperti melihat alien di TV dan sekarang melihatnya secara langsung.
***
Membahas soal Yakuza, semua orang mungkin masih asing dengan istilah ini. Beda halnya dengan istilah mafia yang lebih umum di telinga. Yakuza merupakan sindikat sebangsa itu, berbisnis dalam banyak bidang mulai ekonomi hingga industri film porno. Bukan rahasia lagi kalau mereka berkeliaran di sekitar masyarakat dengan tatoo mencolok.
“Bawa kemari!”
Dan penerus klan salah satu Yakuza itu masih berbicara dengan dingin, duduk santai di dalam ruangan utama. Satu orang terlempar masuk dengan tubuh babak belur.
“Tahu apa salahmu?” tanyanya diam. Dua orang wanita duduk di antara lelaki itu. Lelaki yang baru saja datang dari liburannya dan sudah disuguhi pemandangan menjijikkan.
“Aniki...” Lelaki yang dilempar itu bersujud di depan ketua mereka.
Ketua mereka adalah penerus klan Yakuza paling terpandang di Jepang. Lelaki yang masih naif di usia ke dua puluh lima tahunnya. Ryuzaki Shintaro. Saat ini sedang menggantikan posisi ayahnya yang sedang sakit dan terbaring di rumah sakit.
“Lakukan!” Lelaki paling berkuasa di salah satu klan Yakuza itu berbisik, nyaris kehilangan suaranya. Dia tidak bisa memaklumi kesalahan. Sekecil apapun, kesalahan tetaplah kesalahan.
Lalu setelahnya, teriakan terdengar membahana. Satu jari kelingking terjatuh di lantai, masih berlumuran darah segar. Setiap kesalahan harus dipertanggungjawabkan. Potong kelingking hanyalah hukuman kecil bagi mereka.
“Lain kali berhati-hatilah! Aku tidak ingin ada kesalahan lagi!” Lelaki itu berdiri dan meninggalkan ruangan tersebut. Dua wanita yang sejak tadi menggoda itu mengikuti. Ketiganya berakhir di ruangan lain, mengalunkan desah napas di sana.
***
“Oni-chaaaan....” Seorang bocah berlari ke arah Theo dan memeluknya.
“Ma, aku nggak bisa bahasa Jepang.” Theo menoleh ke arah ibunya untuk konfirmasi. Ibunya tersenyum, tergelak setelah itu.
“Dia bisa bahasa Indonesia, kok Theo.”
“Oh, ya?” Theo mengulurkan tangan, mengajak anak ibunya bersalaman. Anak itu mengerjap sesaat, lalu memeluk Theo. “Nama kamu siapa?”
“Theo.”
Theo melongo, lalu menoleh ke arah ibunya.
“Mama nggak punya referensi nama lain?” tanyanya kesal. Ibunya tergelak geli, lalu menggeleng pelan. Ibunya punya obsesi aneh dengan nama itu.
Theo sudah menyiapkan banyak rencana di otaknya. Bekerja di Jepang terutama. Pekerjaan yang tidak mengharuskannya berkomunikasi dengan bahasa Jepang. Ibunya tahu apa yang sedang Theo pikirkan saat ini.
“Mama udah siapkan pekerjaan buat kamu, Theo.”
Theo menoleh spontan. Pekerjaan apa? Theo masih tidak tahu apa-apa di sini. Lagipula bagaimana dia tahu kalau ibunya sudah menyiapkan semua ini?
“Jadi apa, Ma?”
“Kamu jelas nggak bakalan mau kalau Mama serahin satu cafe buat kamu, jadi Mama sepakat sama suami kalau kamu harus kerja dari bawah dulu. Jadi pelayan di salah satu club malam.”
Club. Malam.
Lelaki kriwil itu mengerjap beberapa kali. Apa ibunya serius? Ibunya tahu bagaimana berbahayanya club malam itu, bukan? Lalu Theo ingat kalau dia lelaki. Meski barista adalah pekerjaan yang paling menyenangkan menurutnya, namun sekarang ini dia tidak punya pilihan lain. Ia putus kuliah, jadi tidak pernah mengharapkan pekerjaan setara lulusan strata.
“Kok Mama bisa dapat kerja itu?”
“Dari suami, Theo...”
Theo mengangguk, lalu menyeret kopernya masuk. Untuk malam ini dia tidur di rumah ibunya. Besok pagi dia harus mencari tempat tinggal baru. Sewa apartemen murah atau sebangsa kos begitu!
Theo sungkan sekali.
Ketika suami ibunya datang, dia merasa canggung. Apalagi ketika dia harus bicara dengan menggunakan bahasa Inggris untuk memperkenalkan diri. Bukannya dia benci, tetapi bicara dengan bahasa asing sama sekali bukan dunianya. Meskipun suami ibunya itu menyambut Theo dengan baik, namun Theo tidak bisa bertingkah biasa.
Dia harus segera mencari kos!
***
Ryu menatap wajah ayahnya yang sedang terbaring di salah satu kamar rumah sakit. Matanya memindai wajah tua itu, berharap orang yang sedang tidur itu segera bangun. Dia rindu sekali dengan teriakan ayahnya. Meski mereka tidak penah akur, namun semua orang tahu betapa mereka saling menyayangi.
“Hei, Pak Tua! Mau sampai kapan kau tertidur seperti itu?” Ryu bertanya pelan. Lelaki yang tidak bergerak namun bernapas itu tidak peduli. Dia masih enggan bicara.
“Aku belum siap menjadi penerusmu, Pak Tua! Kau juga belum menyambut kedatanganku. Lihat, bahkan aku masih suka bersenang-senang dan bermain-main dengan wanita. Apa kau tidak cemas keluargamu kesulitan karenaku?” Ryu masih mengajak bicara ayahnya.
Beberapa orang di belakangnya berdiri tegak, namun mereka juga menahan tangis. Badan mereka besar, namun jiwa mereka sangat setia pada junjungannya.
“Apa kau ingin menyusul Ibu?” Akhirnya Ryu sampai pada ujung kesabarannya. Jemarinya menggenggam jemari lelaki itu. Ia tidak punya siapa-siapa untuk diandalkan. Tetapi, tanggungjawab seolah dilimpahkan seluruhnya pada Ryu. Ryu lelah seperti ini.
Dia masih ingin bertengkar dengan ayahnya, memutuskan siapa yang menang di pertandingan sepak bola nanti. Atau berdebat siapa yang lebih seksi di antara jajaran artis porno Jepang.
“Jangan pergi dulu, Pak Tua! Aku membutuhkanmu. Aku tidak punya siapa-siapa lagi yang jadi alasanku hidup.”
Ryu menangis. Lelaki itu tidak mampu menahan tangisnya. Semuanya tumpah begitu saja, menguar tanpa pamrih. Tangis seorang anak yang terluka karena rasa sakit yang diderita ayahnya.
“Kalian sudah menemukannya?” Ryu bertanya pelan di antara tangis.
Orang-orang suruhan di belakangnya mengangguk. Mereka semua paham kenapa ketua mereka terbaring tak berdaya seperti ini. Setelah luka tembak di perut yang hampir mengenai organ vital, seharusnya semua orang bersyukur ketua mereka masih hidup meski dalam keadaan koma.
“Mereka yang melakukannya, Aniki...”
Ryu berdiri, lalu mengusap air matanya. Ia mengisyaratkan beberapa orang untuk ikut dengannya. Saat ini dia harus melakukan sesuatu. Balas dendam namanya.
***
Theo mendapatkannya. Dia harus menghafalkan makanan dan minuman yang ada di buku menu. Untung saja buku menu itu juga menampilkan tulisan romanji dan tidak hanya kanji saja. Manager club tempatnya bekerja juga fasih berbahasa Inggris, jadi Theo tidak ada masalah ketika bertanya.
“Pasang ini!” Manager menyerahkan sebuah name tag pada Theo. Name tag itu bertulisan “trainee”, sehingga pengunjung akan tahu kalau dia masih belum jadi pegawai tetap.
Aroma bir menusuk hidungnya. Sejujurnya, Theo benci dengan aroma ini. Ia sudah jatuh cinta dengan aroma pahit kopi, rasa hangat yang menyapa telapaknya ketika bersinggungan dengan cangkirnya, dan posisinya sebagai barista. Sekarang dirinya hanyalah pelayan. Wanita berbaju mini sudah tampil sambil membawakan lagu-lagu yang tidak Theo mengerti. Ia tidak tahu kenapa ibunya menitipkannya di sini. Usut punya usut, suami ibunya itu punya banyak kenalan di sini. Jadi ibunya masih bisa terus memantau Theo melalui mereka.
Theo termasuk tipe yang cepat belajar. Lelaki kriwil itu sudah menghafal dan mencatat kosakata yang sering diucapkan oleh pengunjung. Ketika tidak mengerti, Theo cukup mengulurkan buku menu agar pengunjung menunjuk barang yang dimaksud. Hingga saat ini dia tidak memiliki kesulitan yang berarti.
“Akan ada tamu penting.” Managernya berbisik pelan. “Just stay, leave everything to them.” Lagi-lagi lelaki usia tiga puluhan itu menunjuk pegawai yang lain.
Theo mengangguk paham. Dia bisa jadi tidak berguna kalau memang harus berurusan dengan orang penting yang mereka maksud. Dia tidak bisa bertanya dengan bahasa isyarat seperti pada pengunjung lain.
Tak lama setelah itu, orang-orang berpenampilan aneh mulai berdatangan. Badan mereka penuh dengan tatoo. Theo berada di balik counter gelas untuk sementara sambil mengelapi gelas-gelas itu. Ketika melihat gerombolan mereka, Theo teringat sesuatu.
Meskipun penampilan mereka berbeda dari sebelumnya, namun Theo ingat beberapa dari mereka. Terutama lelaki itu. Yang duduk paling tengah, dilayani oleh para penyanyi club, dan disuguhi botol-botol bir mahal.
“Siapa mereka?” Di tempat ini Theo juga bisa menggunakan bahasa Inggris pada semua pegawai. Mereka semua sudah mendapatkan pelatihan bahasa Inggris, sesuai dengan kebijakan pemilik club. Meski logat Jepang mereka terkadang juga ikut terbawa dalam bahasa Inggrisnya.
“Yakuza desu.”
Kalau saja Theo lupa, mungkin dia akan mengartikan desu sebagai istilah gabungan. Theo tahu mereka Yakuza, tetapi untuk apa mereka ke sini? Hanya minum-minum bersama?
“Kenapa mereka kemari? Kenapa memilih tempat ini?” tanya Theo lagi. Terkadang sifat kepo lelaki kriwil itu muncul sewaktu-waktu. Tanyakan saja pada Yogi yang selalu menularkan sifat biang gosipnya sehingga Theo juga ikut jadi ingin tahu seperti ini.
“Karena mereka suka.”
Theo mengembuskan napas gusar. Ia tahu itu. Kalau jawabannya hanya seperti itu, lebih baik dia tidak bertanya tadi. Dia masih sibuk mengelap gelas-gelas, sementara pengunjung lain sudah banyak yang pergi karena merasa takut dan terintimidasi. Sang manager peka, lalu membalik tulisan “OPEN” JADI “CLOSED”. Jadi Theo dapat menyimpulkan sendiri seberapa penting mereka di sini.
Pertanyaannya, kenapa harus datang ke club yang tampak sederhana dan tidak terlalu besar ini? Ketika pertanyaan itu berkecamuk di otaknya, beberapa wanita mulai masuk dari ruangan sebelah. Penampilan mereka berbeda dari sebelumnya. Bajunya lebih seksi daripada sebelumnya.
Lalu musik dimainkan.
Musik erotis terdengar.
Meski Theo tidak begitu paham makna lagu berbahasa Jepang itu, tetapi dari musiknya saja Theo sudah merinding. Theo tidak terkejut dengan kehidupan malam karena sudah pernah melihatnya. Tetapi... dalam level yang seperti ini baru saja dia alami.
Wanita-wanita berbaju seksi itu mulai menunjukkan lenggak-lenggoknya. Theo merinding di tempat. Dia tidak bisa diam saja. Dia belum biasa melihat seperti itu, jadi dia pamit untuk mencari angin. Lagipula dia tidak diperlukan di sana. Pekerjaannya mencuci gelas dan mengelapnya sudah selesai.
“Tolong bawa gelas yang ada di meja kosong itu kemari, Theo!” Salah satu pegawai meminta bantuan.
Ada satu meja yang masih belum dibereskan, jadi itu tugas sederhana yang bisa Theo lakukan. Tidak perlu berkomunikasi dengan para Yakuza yang sedang bersorak-sorak norak itu. Theo melangkah cepat dan mengangkuti gelas-gelas di sana di atas nampan. Otak kecilnya berkata kalau Theo harus menyelesaikan itu dalam sekali angkut.
Dia menumpuk gelas dan bekas botol bir itu di nampan yang dibawanya. Meja di sebelahnya sedang berisik. Theo mengendap-endap, takut menjadi pusat perhatian. Wajah dan juga warna kulitnya berbeda. Dia Indonesia sekali, dengan rambut kriwil, mata bulat, kulit sawo matang, dan tinggi yang tidak seberapa.
Sayangnya, kesialan di hari pertama sedang menyapa Theo. Kita sepakat menyebutnya kecelakaan. Theo tepat sasaran untuk mencari mangsa. Ketika berbalik dengan nampan di tangannya, dia kurang hati-hati. Bir bekas di tangannya tumpah. Lebih menakutkannya, bir itu tumpah mengenai baju ketua mereka. Kebetulan ketua mereka sedang berdiri dan Theo tidak sengaja menabraknya.
“Gomen!” Itu kosakata yang Theo hafalkan dari buku panduannya. Namun beberapa saat kemudian dia teringat ada kalimat lain, semacam Sumimasen dan sejenisnya. Sekarang, dia galau harus menggunakan kalimat yang mana untuk minta maaf. Tunggu, bukankah gomen adalah permintaan maaf bukan dalam ragam sopan?
Theo menelan ludah gugup. Beberapa orang sudah berteriak-teriak di depan Theo dengan bahasa yang tidak dia mengerti. Mata mereka memelototi Theo. Beberapa dari mereka mengambil tissue dan mengelap bekas tumpahan bir di baju ketua mereka.
“I’m sorry, Sir. Actually, I didn’t do it on purpose. I just...” Theo menggigiti bibirnya takut. Managernya datang tergopoh-gopoh, lalu datang sembari membungkukkan badan.
“Apa yang harus saya lakukan?” Theo bertanya pelan pada managernya.
“Pergi saja! Aku yang urus di sini.” Managernya menatap Theo. Theo tahu, ini salahnya. Kalau orang lain yang harus menerima hukuman karena kesalahannya, maka Theo akan menyesal seumur hidupnya.
“Ini salah saya.” Theo berbisik sungkan.
“Pergilah, Theo! Aku yang urus di sini.” Managernya masih berteriak kencang ke arah Theo. “Ryu-sama...” Lalu lelaki itu kembali menatap si lelaki yang ditabrak Theo.
Lelaki yang disapa Ryu-sama oleh managernya itu menatap Theo tajam. Theo yang sadar sedang diperhatikan balas menatapnya. Dia bukannya tidak takut, hanya saja dia ingin bertanggungjawab atas apa yang sudah dia lakukan.
“Leave it to him!” Lelaki bernama Ryu yang Theo duga berusia lebih muda daripada managernya itu mengibaskan tangan. Sang manager melongo, lalu menggeleng. Ia kembali meminta maaf dengan bahasa Jepang atas kelakuan pegawainya.
“Dia pegawai baru, Ryu-sama. Tolong maafkan dia! Dia tidak bisa bahasa Jepang.”
Ryu menatap Theo sambil tersenyum. Yang sedang diperhatikan hanya bingung. Dia menatap managernya yang kini dipelototi oleh lelaki-lelaki sangar di belakang Ryu. Sedangkan Ryu masih menatap wajah Theo, mengabaikan permintaan maaf dari sang manager.
“Your name?” Ryu sudah pernah tinggal di luar negeri, jadi dia bisa berbahasa Inggris. Logatnya pun bisa Theo mengerti. Kalau saja ayahnya tidak terluka, mungkin Ryu masih bersenang-senang di luar negeri.
“Theo, Sir.”
“Apa kau tahu apa yang sudah kau lakukan?”
Theo menunduk, mengangguk paham. Dia berbisik pelan setelah itu, berharap lelaki berkuasa ini melepaskannya.
“Maafkan saya, Sir. Saya tidak sengaja. Saya ceroboh, jadi saya menumpahkan bir ini ke baju anda.”
“Aku tidak peduli dengan bajuku, Boy.” Lelaki bernama Ryu itu tergelak geli. Jemarinya menarik dagu Theo, menatap wajah lelaki kriwil itu dalam jarak yang cukup dekat.
“Apa yang bisa saya lakukan untuk mengganti baju Anda, Sir?”
“Lepas bajumu!” Ryu tersenyum licik.
Theo tidak terkejut. Ada istilah mata dibalas mata, gigi dibalas gigi. Jadi baju juga dibalas dengan baju. Theo melepaskan bajunya tanpa membantah. Semua orang terkejut dengan tingkah lelaki itu. Bahkan dia tidak takut ataupun canggung ketika melepaskan name tag, trainee tag, dan juga apron pegawai yang dia kenakan. Theo belum dapat baju kerja di hari pertama ini.
Dengan cepat dia melepas bajunya sendiri, lalu melipatnya. Tubuh kurus yang penuh bekas lebam itu terekspos sempurna di depan mereka. Bekas lebam itu Theo dapat ketika dia merasa kelelahan. Ada beberapa orang yang mengalaminya ketika merasa kelelahan. Biasanya di kaki, di punggung, di lengan, bahkan di leher. Tetapi Theo mendapatkannya di perut dan sekitar dadanya.
Dunia kedokteran menyebutnya dengan nama Petekie atau Hematom. Memar atau pendarahan di bawah kulit itu terjadi karena efek stress atau terlalu lelah. Bercak itu akan menghilang sendiri.
“Ada apa dengan badanmu?” Sang manager terkejut, lalu memeriksa tubuh Theo. Theo sudah sering mendapatkan pertanyaan serupa. Dulu neneknya sering sekali mengomelinya kalau bercak itu mulai muncul.
Itu artinya Theo sudah merasa lelah.
“Ini? Hanya efek lelah.” Theo tersenyum, lalu menyerahkan bajunya yang sudah terlipat dengan kedua tangan. “Meski baju ini baru saja kupakai, namun aku jamin kalau aku tidak terkena penyakit kulit yang menular. Juga tidak bau keringat karena baru aku pakai malam ini. Silakan...” Theo masih mengulurkan bajunya dengan kedua tangan.
Ryu menatap Theo sekali lagi. Setelah itu, sebuah senyum muncul dari bibirnya.
“Aku tidak tertarik dengan bajumu.” Lalu setelahnya dia pergi. Salah seorang anak buahnya membayar biaya minum mereka lalu mengikuti langkah sang ketua.
Sepeninggal Ryu, Theo dihampiri oleh semua pegawai. Mereka mengatakan Theo hebat dan sejenisnya. Theo tidak tahu apa yang mereka maksud, namun setelah itu sang manager berkata dengan nada bingung padanya.
“Ini pertama kalinya kami melihat Ryu-sama tersenyum...”
Theo makin bingung sekarang. Apa yang salah dengan sikapnya? Dia tidak sengaja, lalu dia bertanggungjawab. Tetapi, lelaki bos Yakuza bernama Ryu itu malah pergi sambil tersenyum. Pegawai lain juga memujinya. Memangnya hal besar apa yang sudah Theo lakukan?
Ketika otaknya sedang memproses semua kebingungannya, pegawai yang lain sudah mengajaknya merayakan hari ini. Theo tidak bisa minum. Baru segelas saja dia pasti sudah mabuk dan mulai bertingkah gila. Ia pernah tidak sengaja salah minum. Awalnya dia kehausan dan asal mengambil air di gelas. Ternyata itu bir milik pengunjung yang belum diantarkan. Setelah itu Theo berakhir dengan menggila. Dia tahu karena salah satu dari mereka merekam aksi gilanya.
“Maaf, aku tidak minum.” Theo menolak sopan.
TBC