Theo masih bekerja seperti biasa. Tetapi sekarang ada yang berbeda. Theo merangkap pekerjaan sebagai barista juga. Meski tidak ada hubungannya dengan bir, namun pelanggan yang tidak ingin minum bir bisa memesan minuman lain. Sekarang kopi masuk dalam menu mereka. Managernya juga jatuh cinta sekali dengan kopi buatan Theo. Kalau tidak ada yang memesan kopi, Theo akan melayani pelanggan agar kemampuan bahasa Jepangnya meningkat. Dia sudah hafal huruf Hiragana dan Katakana. Namun akhir-akhir ini Theo kesal sekali. Semua orang memanggilnya dengan nama itu.
Theo-chan.
Theo benci panggilan itu, tetapi dia tidak bisa protes lebih jauh lagi. Ia hanya perlu mendengarkan saja, tidak perlu marah. Biarkan mereka berekspresi sesukanya. Lagipula Theo sendiri sudah nyaman di tempat kerjanya kali ini.
Pagi dia gunakan untuk tidur. Sarapan dia lakukan siang hari. Sore les bahasa Jepang, lalu malam bekerja. Selalu seperti itu. Setidaknya dia bersyukur. Dulu ada teman kerjanya yang kuliah dan berjualan kosmetik, lalu bekerja jadi waiter ketika malam. Temannya itu masih betah dan bertahan hidup. Jadi, tidak ada alasan untuk mengeluh bagi Theo. Dia juga tidak mau merepotkan ibunya.
"Theo-chan, kopi!" Tiap kali ada yang berbicara seperti itu padanya, Theo selalu tersenyum. Wajahnya tampak lebih hidup dibanding sebelumnya. Theo akan melangkah ke counter, lalu mulai mengerjakan pesanan.
Banyak pelanggan yang datang ke club malam hanya untuk memesan kopi buatan Theo. Awalnya Theo tidak tahu kalau kopinya seterkenal itu, tetapi akhirnya dia tahu dari siapa isu itu berasal. Taiga merupakan tokoh yang lumayan terkenal di youtube. Dia pernah merekomendasikan kopi buatan Theo di videonya. Theo tahu itu dari salah satu rekannya.
"Taiga-san itu terkenal sekali, Theo. Kamu beruntung..."
Tetapi Theo tidak merasa seperti itu. Meski dia mencoba berpikir positif. Ingat, tidak... semakin banyak pelanggan, maka semakin untung. Lelaki kriwil itu juga jadi pusat perhatian sekarang. Logat jepangnya tidak terlalu bagus, jadi dia menjawab seadanya. Orang-orang senang sekali mengajari Theo bicara dengan bahasa Jepang.
"Theo-chan, katakan 'Kimi ga suki de' lalu gunakan tanda cinta-cinta di kepala!" Lihat, para wanita itu kembali memerintahkannya. Meskipun terkadang Theo tidak mengerti logat mereka ketika menggunakan bahasa Inggris, namun managernya tetap tidak ingin membantu.
Theo menyerah dan menuruti saja apa yang diinginkan oleh para wanita itu. Mereka menyebalkan terkadang. Mereka bicara dengan bahasa Jepang, lalu mulai bergosip tentangnya di depan lelaki kriwil itu. Jelas saja Theo kesal. Dia dijadikan topik pembicaraan, tetapi dia tidak mengerti sama sekali.
Hanya satu kata yang Theo mengerti.
Kawaii.
Kosakata paling menyebalkan kalau disematkan untuknya. Kenapa mereka tidak mengatakan tampan dan sejenisnya? Theo lelaki, pasti bangga sekali ketika dipuji tampan. Bukannya imut, manis dan sejenisnya.
Hari ini ada yang aneh. Seharusnya Ryu dan gerombolan Yakuzanya datang. Hari ini Rabu. Mereka sudah biasa datang ketika jam segini. Minggu kemarin mereka tidak datang. Theo curiga. Mereka jarang berkunjung ke club lagi. Itu artinya, pemasukannya juga berkurang sejak minggu kemarin.
Theo tidak terlalu fokus dengan uang, tetapi... dia penasaran juga pada akhirnya. Dia melangkah menghampiri managernya untuk bertanya soal ini. Sebenarnya dia biasa saja. Tidak merasa terbebani dan sejenisnya. Juga tidak merindukan lelaki pemimpin Yakuza itu. Meski Theo pernah googling tentang Yakuza dan sejenisnya dan mengetahui fakta kalau Yakuza identik dengan tatoo, dia tidak pernah melihat tatoo di tubuh Ryu. Theo menyimpulkan kalau tatoo lelaki itu pasti ada di punggung dan tersembunyi.
"Takazumi-san, hari ini mereka tidak datang?" Theo bertanya pelan. Managernya menaikkan alis, paham siapa yang Theo maksud.
"Ryu-sama?"
Theo mengangguk pelan. Managernya tersenyum, lalu menepuk bahu Theo. Theo bingung dengan kelakuan managernya, namun dia masih menunggu jawaban. Manager yang biasa disapa Takazumi-san itu menggeleng pelan setelahnya.
"Mereka juga sibuk, Theo-chan. Why? Missing them already?" Managernya terkikik geli. Theo menggeleng cepat. Dia tidak merasa rindu ataupun kehilangan, tetapi sekarang terasa ada yang kurang. Biasa saja sebenarnya, hanya... Theo tidak ingin pemasukan club berkurang.
Iya, dia biasa saja. Tidak ada yang berubah. Sialan! Oke, Theo merasa ada yang kurang kalau gerombolan itu tidak ada. Dia merasa sepi. Ah, Theo sudah mulai gila! Bukankah seharusnya dia bersyukur sekali kalau para Yakuza itu tidak ada? Dia bisa bekerja tanpa beban dan merasa terancam. Aura para Yakuza itu saja sudah mengancam, jadi dia tidak mungkin bisa melepaskan diri lagi.
"Apa yang mereka lakukan, Takazumi-san? Maksudku, apa mereka juga memiliki pekerjaan lain selain..." Theo menelan ludah gugup.
Membunuh.
"Mungkin sudah bukan rahasia lagi, Theo-chan. Kau tahu, mereka juga punya usaha di bidang perdagangan, lalu penanaman saham pada perusahaan besar, hingga bidang kedokteran juga mereka miliki. Mereka bukan pelaksana, tetapi mereka adalah pemilik sekaligus pengawas."
Theo menelan ludahnya gugup. Mereka... kaya dan berkuasa.
"Ah, begitu..." Theo menggaruk tengkuknya gugup.
"Kenapa? Karena itulah kamu takut pada mereka? Bukankah Ryu-sama sudah memuji kopi buatanmu?"
Theo makin gugup. Seandainya Ryu sudah meletakkan kopinya sebagai minuman favorit, maka Theo harus hati-hati. Kalau dia berbuat sedikit saja kesalahan, maka Ryu akan segera menghabisinya. Theo merinding lagi.
"Buka bajumu!" Managernya berkata pelan. Theo melotot.
"Eh?" Teriakannya terdengar. Apa yang akan managernya lakukan? Pemikiran buruk berkeliaran di otaknya, namun setelah itu Takazumi menepuk kepalanya sekilas.
"Oleskan ini!" Managernya itu tertawa geli, lalu mengulurkan salep peredam sakit. Theo tersenyum geli karena sudah berburuk sangka. Memar di tubuhnya bukan karena terluka, namun karena lelah. Lagipula kulitnya tidak terlalu putih, jadi memar dan lebam itu tidak terlalu terlihat.
"Arigatou gozaimasu, Takazumi-san."
"Besok bersih-bersih, ya!"
Kali ini Theo tahu kenapa managernya perhatian seperti itu terhadapnya. Theo terkikik geli, lalu mengangguk paham. Besok gilirannya membersihkan tempat ini. Kalau dulu dia sering kebagian jatah membersihkan counter cafe, sekarang dia sudah biasa dengan tugas itu. Besok pagi dia harus datang dan membersihkan tempat ini.
Keesokan harinya, Theo benar-benar tinggal. Beberapa pegawai juga tinggal untuk membantunya, namun mereka pulang lebih dulu setelah itu karena ada kesibukan sendiri. Theo terpekur sendiri di sana, duduk di salah satu kursi. Kepalanya terasa berat karena kantuk. Mungkin setelah ini dia bisa pulang dan tidur.
Tuk... tuk...
Ketukan pelan terdengar dari pintu kaca di depan. Theo mengerjap pelan, memandangi orang yang sedang berdiri di sana. Matanya terpaku, melotot setelah itu. Mulutnya ternganga karena terkejut.
Lelaki itu berdiri di sana. Sendirian. Tanpa anak buah yang setia mengekorinya. Sudut bibirnya berdarah. Theo melangkah cepat ke arah pintu dan membuka kuncinya. Setelah itu lelaki itu masuk.
"Ada apa, Ryu-sama?" Theo tidak mengatakan Sir seperti sebelumnya kali ini. Dia hanya terpaku ketika melihat lelaki itu masuk dan duduk di salah satu kursi.
"Sedikit masalah."
Theo tahu kalau ini bukan urusannya, jadi dia tidak boleh ikut campur. Lelaki kriwil itu melangkah ke arah counter, lalu mulai menyeduh kopi sederhana untuk Ryu. Secangkir kopi di pagi hari mungkin akan lebih baik.
Theo masih terkejut dengan kedatangan lelaki ini. Setelah beberapa hari menghilang dan tidak berkunjung ke tempat ini, dia kembali datang dengan sudut bibir berdarah dan tanpa anak buahnya yang lain.
"Silakan..." Theo meletakkan cangkir itu di depan Ryu. Lelaki Yakuza itu mendongak, menatap Theo sekali lagi.
"Kau..."
Theo balas mendongak menatap Ryu. Sesaat mereka bertatapan. Theo merinding. Saat ini hanya ada dirinya dan Ryu. Kalau Ryu marah, lelaki itu bisa saja membunuhnya lalu menghilangkan jejak. CCTV sedang mati sekarang. Ryu bisa saja membayar polisi untuk menghilangkan bukti.
"Apa yang kau pikirkan?" Suara Ryu terdengar lagi.
Theo menelan ludahnya gugup. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Kalau jujur, Ryu pasti akan marah. Kalau dia berbohong, Ryu pasti akan tahu.
"Tidak ada, Ryu-sama..." Akhirnya Theo memutuskan untuk bungkam saja.
"Ada apa sebenarnya?"
"Saya tidak..."
"Theo, katakan..." Aura Ryu cukup ampuh untuk membuat Theo menurut saat ini. Theo pasrah kalau dia harus mati sekarang. Ryu pasti akan marah ketika mendengar alasannya.
"Saya... takut."
"Kenapa? Takut padaku?"
Theo mengangguk pelan. Jemarinya bertautan, sementara jempolnya menguliti kuku lainnya. Ryu masih menatapnya tajam, menunggu jawaban.
"Saya tidak biasa..." Theo mencoba bicara dengan bahasa yang sederhana. Dia pernah berurusan dengan preman, tetapi hanya preman pasar yang meminta uang keamanan. Hanya sesederhana itu, bukan geng sekelas mafia ini.
"Kau tidak perlu takut, Theo! Aku tidak pernah tertarik untuk menyeretmu dalam masalah kami."
"Benar! Lagipula saya tidak berguna untuk Anda, Ryu-sama." Theo tersentak, bersorak dalam hati. Akhirnya Ryu menganggapnya bukan musuh. Theo tidak ada hubungannya dengan semua permasalahan Ryu, jadi dia tidak perlu cemas ataupun khawatir. Ryu menatap wajah Theo yang sedang menunduk, lalu menepuk tempat di sebelahnya. Ryu pindah ke sofa club karena ingin mendinginkan diri di dekat AC.
"Duduklah!"
Theo menurut tanpa protes lagi. Lelaki kriwil manis itu duduk di sebelah Ryu, sementara Ryu hanya mengembuskan napasnya beberapa kali.
"Maukah kau mendengarkan ceritaku?"
Theo mengangguk pelan. Dia tidak punya alasan lain untuk menolak. Ryu sudah berkuasa dengan suaranya. Suara itu begitu menusuk dalam hati Ryu, membuat lelaki itu menurut spontan.
"Aku bertengkar dengan Taiga." Ryu mengatakan prolognya dengan suara pelan dan kembali meneruskan, "tetapi pertengkaran ini tidak sesederhana biasanya. Taiga tidak bisa lagi berdiri di sampingku sebagai sahabat. Jalan kami berbeda. Dia tidak tertarik dengan dunia kelam yang kupikul sejak awal. Dia adalah lelaki bebas. Meski dia sahabatku, namun dia tidak bisa berdiri untuk mendukungku kali ini."
Theo hanya mampu bungkam. Dia tidak tahu harus merespon seperti apa. Dia hanya ingin mendengarkan Ryu daripada salah bicara. Dia tidak akan bicara kalau tidak ditanya.
"Aku egois, ya kan?" Kali ini nada Ryu terdengar seperti pertanyaan. Theo terlonjak kaget mendengarnya. Pertanyaan itu seperti sebuah jebakan. Seperti pertanyaan yang kerapkali diajukan oleh para wanita macam, "Aku dan dia cantikan mana?"
"Mungkin..." Dan Theo menjawabnya spontan. Setelah itu Theo sadar kalau dia sudah salah bicara. "Maaf, Sir..."
Ryu menaikkan alisnya, lalu tergelak kencang. Theo mendongak, tidak menyangka kalau Ryu akan tertawa dengan ucapannya.
"Ini pertama kalinya aku mendengar sebuah kejujuran dari seseorang." Lelaki pemimpin Yakuza itu tersenyum, lalu kembali menatap Theo masih dengan senyuman di bibirnya. "Theo, menurutmu... apa yang harus kulakukan?"
Theo tidak pernah dimintai pendapat seperti ini. Ah, pernah! Sekali. Itu juga Aizan yang memintanya karena galau ingin ambil jam tambahan atau tidak. Ryu tersenyum, lantas menepuk pundak Theo sekilas. Theo tersadar dan berdehem.
"Taiga-san pasti memiliki mimpi. Ryu-sama juga memiliki mimpi itu."
Saya juga...
"Tetapi, perbedaan mimpi itu tidak harus menjadi penghalang persahabatan kalian. Taiga-san mungkin tidak bisa bergabung dengan kelompok Ryu-sama, tetapi... dia pasti bisa jadi sahabat yang akan mendukung Anda."
Kali ini Theo sadar sudah banyak bicara. Atau mungkin salah bicara.
"Sayangnya, aku tidak bisa meraih mimpiku, Theo!" Suara Ryu berubah. Theo gelagapan di tempatnya. Dia sudah terlalu banyak bicara. Lihat sendiri, kan? Salah akhirnya!
"Maaf, Ryu-sama..."
"Kenapa kau meminta maaf, Theo? Kau tidak bersalah. Hanya saja kau berhasil menyindirku."
Theo menelan ludahnya.
"Saya tidak bermaksud seperti itu, Ryu-sama."
"Sudah kubilang, kan? Kau tidak bersalah, Theo. Aku hanya iri dengan Taiga. Dia bebas jadi apapun yang dia inginkan, meraih mimpinya sendiri dengan bahagia. Aku tidak bisa seperti itu. Aku adalah pewaris satu-satunya ayahku."
Theo tidak pernah mengerti, namun dia mencoba memahami bagaimana rasanya. Mereka membisu setelahnya. Hingga akhirnya suara Theo spontan terdengar. Dia terlalu banyak berpikir, hingga tidak sadar kalau keceplosan.
"Apa Ryu-sama merasa kesepian?"
"Sangat..."
"Apa mimpi Anda?"
"Aku ingin menjadi mangaka."
Theo melongo. Matanya mengerjap beberapa kali, lalu dia bertepuk tangan kagum. Tingkah spontan ketika dia merasa seperti itu. Theo melangkah ke arah counter, mengambil selembar kertas dan sebuah pensil di lacinya. Dia meletakkan kertas itu di depan Ryu dan menyerahkan pensilnya.
"Seandainya Ryu-sama memiliki kesempatan untuk meraih mimpi itu dalam beberapa jam, kenapa Anda tidak mencobanya?" Theo tersenyum tulus. Rasa takut yang awalnya dia rasakan kini lenyap tak berbekas.
Ryu sama seperti dirinya. Kesepian. Punya mimpi, namun tidak bisa tercapai karena mereka harus menuruti kemauan orang tua.
Ryu menggoreskan pensil itu di kertas yang diberikan Theo. Beberapa saat kemudian wajahnya jadi jauh lebih hidup. Senyumnya muncul. Ryu menggambar di sana, menuangkan apapun yang dia inginkan. Theo terpukau. Selama berada di Jepang, hanya dua benda yang sangat ingin dia beli. Manga dan pohon sakura kecil. Dia tidak bisa membeli manga karena tidak mengerti bahasanya, meski dia bisa saja membeli yang versi bahasa Inggris. Lalu pohon sakura. Karena dirinya tinggal di apartemen bertingkat dan tidak memiliki halaman, maka dia tidak jadi membelinya. Tempatnya tidak cukup kalau harus membeli sakura dalam pot.
"Ini keren sekali!!" Theo berdecak kagum melihat gambaran Ryu. "Sensei, jadikan aku penggemar pertamamu! Aku adalah penggemar nomor satu! Kau adalah mangaka favoritku!"
"Benarkah?" Ryu tersenyum geli melihat ekspresi Theo. Lelaki kriwil itu menatap hasil gambar Ryu dengan mata berbinar, mulut melongo takjub, dan juga hidung kembang kempis.
"Ini keren!!" pujinya sekali lagi.
"Hei, Theo!" Ryu berbisik pelan. Theo mendongak menatap Ryu yang sedang tersenyum. "Aku suka sekali dengan tatapan matamu ketika meracik kopi dan melihat kertas itu."
Keduanya bungkam. Theo tidak pernah melihat bayangannya sendiri ketika membuat kopi, tetapi jujur dia menikmati masa itu. Sekarang dia mengalami lagi rasanya menikmati sesuatu.
"Ryu-sama, setidaknya kau masih bisa meraih mimpimu meski kau harus mengikuti peraturan." Theo berbisik pelan.
"Terima kasih, Theo. Ini pertama kalinya seseorang mengatakan hal yang baik soal mimpiku. Terima kasih, Theo-chan."
Theo benci panggilan itu. Lagi.
Suara motor terdengar setelah itu. Theo menoleh dan mendapati managernya baru datang. Dia terkejut melihat Theo bersama dengan seseorang di sana.
"Ryu-sama...? Kenapa Anda bisa ada di sini?"
Ryu mengedikkan bahu.
"Karena aku ingin minum kopi."
"Dan Theo-chan, kenapa kamu bisa akrab dengan Ryu-sama? Bukankah..." Managernya tergagap bingung. Theo berdiri, mengangguk setelah itu. Ia melangkah ke arah counter, lalu mengambil tasnya.
"Saya harus pulang, Ryu-sama." Lalu lelaki kriwil itu pulang. Sudah ada manager yang menemani Ryu, jadi dia tidak perlu menemani Ryu lagi. Meski ia ingin sekali mengobrol banyak hal dengan Ryu.
Sekarang dia ingin pulang dan tidur.
***
Sore harinya Theo kembali les bahasa Jepang. Kali ini materinya sudah sampai di huruf kanji. Theo menghafalkan huruf-huruf itu karena tahu kalau satu kata akan memiliki makna yang berbeda, tergantung bentuk kanjinya. Dia kembali bekerja setelah pulang dari les itu.
"Theo-chan, bagaimana kau bisa akrab dengan Ryu-sama?" Mangernya masih saja membahas itu. Theo menggaruk tengkuknya gugup. Dia harus bisa jaga rahasia.
"Kebetulan saja, Takazumi-san."
"Bukankah kau takut sekali padanya?"
Theo mengangguk. Sekarang tidak lagi. Dia tidak akan dibunuh kalau memang tidak mencari gara-gara. Theo tahu itu, lantas dia diam saja karena tidak ingin mencari alasan yang lebih menakutkan. Theo takut pada Ryu, tetapi dia tidak akan mencari gara-gara dengannya.
"Tetapi dia tidak akan membunuhku kalau aku tidak macam-macam."
Senyuman di bibir managernya muncul. Setelah itu lelaki paruh baya tersebut berbisik pelan, "Tetapi dia bisa memotong jarimu, atau memotong penismu ketika kesal dan kau mencari gara-gara dengannya. Atau bahkan hanya karena kau salah bicara."
Kali ini Theo dirudung trauma berkepanjangan. Managernya terkikik diam-diam setelah itu, membiarkan Theo yang duduk diam di pojok ruangan sambil menyesali nasib.
Theo pulang menjelang dini hari. Club tutup lebih awal kali ini. Managernya harus menyerahkan laporan keuangan pada pemilik club sehingga para pegawai diizinkan pulang lebih dulu. Theo melangkah pulang seorang diri. Jalanan sudah mulai sepi. Seharusnya memang sepi.
Namun de javu kembali menyapa Theo. Lelaki itu terpaku di tempat. Matanya melotot terkejut. Kejadian itu terulang kembali. Tetapi kali ini sudut pandang Theo sudah berbeda ketika menatap lelaki itu. Ryu masih berada di sana seperti waktu itu. Ia berdiri, sementara anak buah lainnya mengelilingi. Lelaki Yakuza tersebut melangkah pelan ke arah lelaki lain yang sedang terjerembap di depannya.
"Siapa yang menyuruhmu?" Lamat-lamat Theo mendengar Ryu bertanya dengan bahasa Inggris. Lelaki berwajah bule itu tergagap ketakutan. Theo menegang di tempatnya. Jadi tidak masalah dengan kewarganegaraan. Ryu bisa membunuhnya, meski dia berasal dari negara berbeda.
"Maafkan saya, Tuan!"
"Kau sudah melanggar perjanjian!"
"Saya hanya disuruh!"
"Lalu? Katakan siapa yang menyuruhmu!"
Setelah lelaki bule itu mengatakan sebuah nama, kepalanya tertembak. Lelaki bule itu terkapar tak bergerak. Theo melotot kaget. Bibirnya gemetar. Dia tidak bisa lagi melarikan diri seperti waktu itu. Lidahnya kelu, napasnya mulai sesak. Semua makin berantakan ketika seseorang memergokinya.
"Ryu-sama, ada yang memergoki kita! Apa perlu kita bunuh saja?" teriaknya.
Theo tidak tahu apa yang dia bicarakan, tetapi dia yakin kalau orang itu mengatakan hal yang kurang baik.
"Bawa kemari!" Ryu memerintahkan. Lelaki yang memergoki Theo itu menarik lengan Theo, lalu mendorongnya hingga terjerembap. Ketika Theo mendongak, Ryu masih belum menatapnya.
"Ryu-sama..." Theo berbisik dengan susah payah. Ryu terdiam seketika. Kepalanya menunduk melihat Theo yang sedang terjerembap menyedihkan.
"Kau..." Ryu tak kalah terkejutnya dengan Theo ketika pertama kali melihatnya membunuh. "Kenapa kau di sini?"
Theo ingin mengatakan banyak hal. Seperti tidak sengaja, lalu dia ingin pulang, lalu dia bertemu dengan Ryu yang sedang membunuh orang, lalu...
"Ryu-sama..." Dan lelaki kriwil itu hanya mampu mengatakan kalimat tersebut. Memanggil Ryu dengan gemetar dan ketakutan. Ryu bergerak mendekat ke arah Theo, lalu berjongkok di depannya.
Lelaki di depan Theo ini bukanlah lelaki yang menggambar manga dengan ceria seperti tadi. Bukan lelaki yang bercerita kalau dia kesepian. Ryu terlihat berbeda saat ini. Theo tahu sisi ini dari seorang Ryu, tetapi dia tidak siap ketika harus berhadapan langsung dengannya.
"Sekarang kau sudah mengetahuinya. Tutup mulutmu kalau memang ingin selamat!" Ryu mengancamnya. Theo masih gemetar, menatap wajah Ryu sekali lagi. Wajah itu masih tampan seperti sebelumnya, tetapi sikapnya bukan Ryu yang kesepian lagi. Dia menjelma jadi monster menyeramkan yang mengambil nyawa orang lain semudah membalikkan telapak tangan.
"Ryu-sama..." Theo ingin mengatakan banyak hal sekarang, namun hanya nama itu yang mampu dia ucapkan saat ini.
"Kau tahu, kan? Aku tidak sebaik yang kauduga, Theo! Aku bisa membunuh orang dengan mudah dan dapat lolos dari jerat hukum. Aku punya uang, Theo!" Senyum Ryu juga berbeda! Sangat berbeda!
Theo tidak mengenali lelaki ini lagi! Ia pernah melihat Ryu dalam mode seperti ini, namun ketika melihatnya dari dekat... aura itu masih saja mampu melukainya. Theo menggeleng kencang, tergagap.
"Lepaskan dia!" Ryu berkata tajam ke arah anak buahnya.
Lelaki yang mencengkeram lengan Theo tersebut melepaskan cengkeramannya. Ryu berdiri, lalu melangkah pergi meninggalkan Theo di sana. Seorang diri, dengan tubuh gemetar hebat.
Kali ini Theo mencoba berdiri dengan susah payah. Lukanya tidak seberapa, namun mentalnya sudah jatuh sejatuh-jatuhnya. Kakinya tertatih meski hanya untuk melangkah. Air mata sudah menetes dari pelupuk matanya. Theo harus bersembunyi dari lelaki itu! Harus! Padahal dia baru saja menganggap Ryu tidak berbahaya kalau dia tidak mencari gara-gara, namun nyatanya... Bagaimana pun, Ryu adalah Yakuza! Sindikat yang sangat berbahaya. Seharusnya Theo tidak tersentuh semudah itu!
TBC