Sejak kejadian kemarin, Theo sudah tidak pernah bertemu dengan Ryu lagi. Dia takut sekali. Meski dia tahu dari awal kalau Ryu sudah begitu sejak lahir mungkin, tetapi... ketika kebenaran terkuak di depan matanya langsung, Theo sudah berada di ambang batas keberanian. Dia trauma. Intensitas pertemuannya dengan Ryu tidak sesering dulu. Karena... Ryu juga jarang berkunjung lagi ke tempatnya.
"Kalian kenapa lagi?" Managernya paham kalau keduanya berubah. Alis Theo bertautan.
Akhir-akhir ini Theo kesal sekali dengan managernya. Takazumi senang sekali bertanya soal hubungannya dengan Ryu. Padahal setahu Theo, tidak ada hal yang perlu dibahas soal hubungannya dan Ryu. Dia tidak memiliki hubungan apapun dengan Ryu.
"Kenapa? Ada apa dengan 'kenapa'?" Theo balas bertanya, sok tidak tahu.
Sang manager tersenyum miris, lantas menepuk bahu Theo sekilas. Sejujurnya, manager paruh baya itu tahu kalau kedua lelaki sebaya tersebut pernah mengobrol. Bahkan kalau matanya tidak salah lihat, waktu itu Ryu tersenyum lebar sekali. Juga... tertawa.
Pemandangan yang paling langka menurut si manager, karena selama sekian tahun dia mengenal Ryu... baru kali itulah dia melihat Ryu bisa berekspresi seperti itu. Bahkan meski Takazumi mengeluarkan pegawai terbaiknya untuk melayani Ryu, lelaki pewaris salah satu klan besar dan berpengaru tersebut tidak pernah menampakkan tawa setulus itu. Ryu hanya akan tersenyum sinis dan juga meremehkan biasanya, tetapi bersama Theo... tidak.
Tawa itu begitu tulus dan keluar begitu saja.
Karena itulah Takazumi terkejut ketika mendapati dua lelaki beda karakter dan dunia itu berada di dalam club sedang mengobrol dan tertawa. Sekarang, Ryu kembali jarang mengunjungi clubnya. Ketika Theo ditanyai, lelaki kriwil manis itu selalu mengalihkan pembicaraan.
"Kau tidak bisa berbohong, Theo-chan. Kalian bertengkar?"
Theo menelan ludah gugup.
"Kami tidak bertengkar, Takazumi-san."
"Lalu?"
"Mungkin Ryu-sama sedang sibuk." Theo tidak tahu harus menjawab bagaimana lagi. Matanya mengerjap beberapa kali, hanya untuk meyakinkan managernya kalau tidak ada apa-apa.
"Apa kalian ada masalah? Kenapa kau seperti... menghindarinya?"
Theo menelan ludah gugup. Dia ingin melarikan diri dari pertanyaan dan interogasi managernya, tetapi dia tidak bisa. Managernya masih mengadili Theo hanya dengan tatapan tajam.
"Apa Takazumi-san mengetahui siapa Ryu-sama sebenarnya?" Kali ini Theo mengajukan pertanyaan. Alis managernya terangkat, setelahnya senyum muncul di bibir sang manager.
Theo tahu apa artinya itu.
"Jadi, Theo-chan melihatnya?"
Theo mengangguk cepat.
"Lalu? Apa kamu takut?"
Theo mengangguk lagi.
"Mereka menakutkan, Takazumi-san. Mereka membunuh orang semudah itu. Mereka melakukannya tanpa merasa bersalah. Aku tidak mengenal Ryu-sama yang seperti itu, meski aku sudah mendengar isu tentangnya. Ketika mataku melihatnya langsung, aku terkejut. Juga... takut."
Managernya kembali tersenyum miris, lalu menepuk bahu Theo sebentar. Lelaki kriwil itu sudah melangkah terlalu jauh dan ikut campur dengan urusan para Yakuza. Meski tidak dikategorikan ikut secara langsung, namun... Theo adalah saksi hidup kekejaman Yakuza.
Karena tahu kalau Ryu tidak akan berkunjung, hari Sabtu ini Theo kembali menampakkan diri di bagian pemesanan. Seharusnya begitu. Seharusnya Ryu tidak datang seperti minggu kemarin, jadi Theo cukup diam saja di counter ketika ada yang pesan kopi. Namun, kali ini dia salah. Ryu datang.
"Selamat datang, Ryu-sama..." Managernya menyambut Ryu seperti biasa. Theo panik. Dia menunduk spontan, membungkuk setelah itu. Dia bersembunyi. Melarikan diri setelahnya dengan mengendap dengan badan terbungkuk-bungkuk, lalu merayap cepat ke dapur.
"Ada apa, Theo? Kenapa kamu bersembunyi?" Salah satu rekannya membuyarkan rencananya saat itu. Theo tidak berani mengintip, namun segera melarikan diri ke dapur. Dia berdiam diri di sana, tidak berani keluar hingga club tutup.
***
Lelaki itu masih seperti sebelumnya. Theo mengandaikan lelaki itu dalam sebuah kata sekarang. Kata yang Theo dapat ketika dia sedang terpekur sendirian di sudut dapur. Kata yang mewakili semua tentang Ryu. k*****t.
Kata itu muncul begitu saja dari benak Theo. Theo tidak tahu bagaimana caranya mengungkapkan ketakutan. Ryu masih duduk di sofa club, duduk manis di sana dengan wajah menyebalkan seperti biasa. Menyebalkan karena tampan. Karena auranya menarik wanita. Karena kaya. Karena...
Pokoknya k*****t!
Para wanita masih mengerubunginya, menempel pada Ryu seperti lem super. d**a mereka melekat menjijikkan pada Ryu. Theo enggan untuk pulang. Seharusnya dia bisa lompat lewat jendela toilet. Lewat pintu belakang tidak aman karena terhubung dengan teras depan. Percuma lewat sana.
Suara tawa, bir, rokok, musik erotis, tarian sensual, teriakan menjijikkan, godaan para Yakuza bertatoo... Theo muak sekali melihat mereka. Dia ingin pergi dari tempat itu. Apalagi ketika matanya tak sengaja melihat Ryu yang sedang berciuman dengan wanita seksi di sebelahnya. Lalu ganti mencium wanita lainnya.
Theo ingin muntah.
"Theo-chan, daijoubu?" Ken memergokinya.
Theo tahu artinya itu. Ken sedang menanyakan keadaannya. Lelaki kriwil itu terduduk pucat di sudut dapur sambil menekan perutnya. Dia tidak punya tenaga untuk melangkah ke toilet. Wajahnya sudah berantakan.
"Ken..." bisiknya pelan. Theo sudah tidak kuat lagi menahan sakit. Dia mual, hanya karena membayangkan adegan Ryu bersama para wanita itu. "Aku ingin pulang..."
Lalu air mata menetes dari sudut mata lelaki kriwil manis itu. Theo menutup mulutnya, tergugu dengan badan gemetar hebat. Dia tidak tahu kenapa harus seperti ini. Dia hanya... takut. Ryu menakutkan.
Ini bukan kali pertama Theo melihat Ryu menggandeng wanita. Dia pernah melihat Ryu bersama wanita lain lagi. Theo tidak pernah ingin tahu, tetapi dia paham kalau Ryu lebih dewasa daripada dirinya. Bahkan jemari Ryu sudah berkeliaran ke tubuh para wanita itu. Theo sering melihatnya.
Sekarang, kesabaran Theo sudah benar-benar habis.
Ryu membunuh. Lalu... bermain dengan wanita.
"Aku akan membawanya pulang!" Ken meraih pinggang Theo, lalu membawanya di punggung. Theo tidak peduli. Tubuhnya sudah lemas dan tak sanggup bergerak lagi. Ken membawa Theo, menggendong lelaki kriwil itu lewat pintu dapur.
Managernya tahu, lalu melemparkan kunci motornya pada Ken. Theo dibawa pulang dengan motor si manager.
Theo izin tidak masuk kerja selama dua hari setelah itu. Dia menenangkan diri, sementara ibunya berkunjung setiap hari. Mengomel seperti biasanya. Theo kembali bekerja setelahnya. Ken dan yang lain sibuk bertanya keadaannya, lalu bertanya alasan kenapa dia sampai sesakit itu.
"Aku salah makan." Theo beralasan.
"Ah, kamu harus makan yang benar, Theo-chan!" Ken menepuk bahu Theo, lalu tersenyum. Theo mengangguk. Dia tidak begitu bersemangat akhir-akhir ini. Theo beranggapan kalau ini masih ada hubungannya dengan trauma dan ketakutan yang ada di hatinya.
Dia bekerja seperti biasa, lalu pulang lebih akhir daripada pegawai yang lain. Namun hari ini hidup Theo tidak semudah itu. Tidak hanya soal trauma yang menyapa Theo sekarang ini, tetapi lelaki kriwil itu kembali berurusan dengan penjahat.
Sekarang, sekelas preman.
Mereka bicara dengan bahasa Jepang yang tidak Theo mengerti. Salah satu dari mereka berteriak kencang di depan wajahnya. Tidak hanya itu, mereka juga mulai menarik-narik tasnya.
"Let me go!" Theo berteriak kencang.
Mereka masih tertawa kencang dan mengobrak-abrik isi tasnya. Mereka mengeluarkan dompet Theo, lalu tersenyum puas. Theo mencoba merampas dompetnya kembali, tetapi mereka mendorong lelaki kriwil itu. Theo kalah kalau harus melawan lima orang preman seperti mereka.
Setelah itu mereka pergi membawa dompet Theo. Theo menjerit kencang, mencoba mengejar. Tetapi, lagi-lagi mereka mendorong Theo. Karena Theo mencoba melawan, mereka gusar. Beberapa dari mereka mulai memukul Theo. Theo mencoba meraih dompetnya lagi, tetapi mereka masih tergelak geli karena ulah Theo.
"Apa yang kalian lakukan?" Tiba-tiba suara itu terdengar.
Theo menoleh, mendapati Ryu berdiri di sana. Anak buah lelaki itu masih setia mengikuti. Para preman yang sedang melayangkan pukulannya ke arah Theo berhenti. Mereka menelan ludah gugup, lalu melarikan diri.
Tetapi, Theo tidak ingin mereka pergi!
Ia menjerit kencang, berteriak kesetanan. Dia ingin mengejar para preman itu dan meminta dompetnya, tetapi kakinya ngilu sekali. Theo tidak peduli dengan uang yang ada di dalam dompetnya. Ada sesuatu yang sangat dia jaga melebihi nyawanya sendiri. Foto satu-satunya yang sangat Theo jaga. Ada empat orang di sana. Ibunya, neneknya, dirinya yang masih SD, lalu... ayahnya.
Mereka berempat tertawa bahagia di sana. Itu foto satu-satunya yang menjadi kekuatan Theo selama ini. Tawa itu begitu tulus, penuh dengan kasih sayang. Ada Theo kecil yang memeluk bolanya, menjulurkan lidah mengejek ke kamera. Lalu ayahnya yang menjitak kepala Theo kecil, menarik pipi kirinya agar tersenyum. Ibunya tertawa geli, sementara itu neneknya bertepuk tangan senang.
"Give it back!" Theo menjerit kencang, frustasi. Dia menangis kencang, tubuhnya berguncang.
Ryu terdiam di belakang Theo, menatap lelaki itu dalam bungkam. Lalu setelahnya dia pergi, melewati tubuh Theo yang sedang terjerembap. Ryu tidak peduli. Lelaki Yakuza k*****t itu mengabaikannya.
Ryu pergi dan tak peduli dengan keadaan Theo yang masih menangis kencang. Sekilas terlihat tidak peduli, namun lelaki Yakuza itu memerintahkan salah satu anak buahnya untuk menjaga di sana diam-diam sampai Theo pulang.
Theo hancur.
Lelaki itu melangkah pulang ke rumah ibunya, lalu menangis kencang di pelukan ibunya. Ibunya terkejut melihat kedatangan anak sulungnya, lalu bertanya. Theo menggeleng cepat dan masih menangis. Theo sudah biasa dihina, dihancurkan, dihujat. Omongan pedas sudah jadi makanan sehari-hari. Paman dan bibinya sangat membencinya. Dia tidak peduli, asalkan ada sang nenek yang masih tetap mencintainya.
Lalu untuk yang ke sekian kalinya sang nenek dirampas darinya. Theo masih mencoba sabar, diam saja. Ia memutuskan untuk pergi dan kembali pada tempat yang seharusnya. Kali ini... kesabarannya sudah menghilang. Terakhir kalinya, dia menangis karena berpisah dengan sang nenek. Theo lelaki, tetapi dia juga punya hati.
Dia juga punya air mata.
"Ada apa, Theo?" Ibunya masih memeluk Theo erat. Theo kecil menghampiri mereka, mengerjap lucu ke arah Theo.
"Oni-chan, doushita no?" tanyanya.
Theo masih menangis dalam pelukan ibunya. Theo mencoba menceritakan semua kejadian yang menimpanya. Seluruhnya. Termasuk soal Ryu. Ibunya hanya mendengarkan cerita Theo sambil membisu. Sesekali wanita itu mengelus rambut Theo pelan. Theo kecil juga ikut memeluknya erat.
"Sayangnya Mama nggak punya foto itu, Sayang..."
Theo tahu, karena itu dia menangis. Itu foto satu-satunya! Sudah dia bilang, kan kalau itu foto paling indah yang pernah Theo punya?
"Oni-chan, jangan menangis! Daikirai!" Theo kecil merengut, lalu menepuk-nepuk pipi Theo. Menghapus air mata kakaknya sesaat.
"Nggak usah masuk kerja dulu, biar Mama telepon manager kamu."
Theo pasrah. Saat ini dia tidak ingin bertemu dengan siapapun. Dia hanya ingin menyendiri, sehingga dia pulang lebih ke apartemennya. Ibunya sempat melarang, tetapi Theo akan makin tertekan kalau suami ibunya pulang nanti. Dia tidak ingin bertemu dengan orang baru.
Hari ini Theo tertidur. Lama sekali hingga keesokan harinya. Dia kembali bekerja, meski masih enggan berangkat. Ketika sampai di club, managernya menyambut. Tersenyum ke arahnya, lalu menepuk bahunya pelan.
"Ibumu sudah cerita, Theo-chan."
Theo tidak suka dengan itu. Ibunya cukup memberitahu kalau Theo tidak masuk kerja karena sakit, bukan karena alasan lain. Ibunya terlalu jujur.
"Jadi, apa saja yang sudah Anda dengar, Takazuma?"
"Kau kehilangan foto keluarga..."
Theo makin muak. Terkadang hal privasi tidak perlu diumbar. Theo merengut, namun sesaat setelahnya sang manager menyerahkan sesuatu. Sesuatu yang membuat mata Theo melotot terkejut.
Ia tidak mungkin lupa dengan bentuk dompetnya sendiri.
"Darimana Takazuma-san mendapatkannya?" Theo terlonjak terkejut. Managernya tersenyum penuh misteri.
"Seseorang menitipkannya padaku."
"Siapa?"
"Orang yang akhir-akhir ini kau hindari."
Satu orang, dan Theo tahu siapa orang itu. Theo bungkam. Ryu adalah orang berkuasa yang mampu melakukan apapun. Ini bukan masalah besar untuk Ryu. Tetapi, kenapa? Kenapa Ryu harus melakukan ini? Apa pedulinya?
"Takazumi-san, apa dia akan datang hari ini?"
Theo akan menghadapi Ryu dan mengucapkan terima kasih. Kali ini lebih berani!
***
Ryu datang.
Theo sudah menyiapkan mentalnya sekarang. Dia harus berterima kasih pada Ryu untuk dompetnya. Bahkan uangnya masih ada, tidak tersentuh sama sekali. Theo menelan ludahnya gugup. Dia sudah menyiapkan segala skenario di otaknya. Dia harus tahu diri. Dia tidak akan pernah bisa membalas jasa Ryu, karena itulah setidaknya dia harus berterima kasih pada Ryu.
Theo sudah menyiapkan kopi terbaiknya, lalu melangkah pelan ke arah gerombolan itu. Dia tidak peduli kalau nanti Ryu mengabaikan kopi buatannya, yang paling penting dia sudah berterima kasih.
Itu saja sudah cukup.
"Ryu-sama..."
Ryu mendongak menatap Theo. Di sisi kanan kiri lelaki k*****t itu masih ada wanita-wanita seksi berbaju mini. Kali ini berganti lagi, bukan wanita yang kemarin.
"Ya?"
"Terima kasih..." Theo menunduk, lalu meletakkan kopi itu di atas meja. Jemarinya gemetar ketika melakukannya.
"Untuk apa?"
"Dompet saya..."
Ryu bungkam, tidak menanggapi apapun. Matanya masih mengawasi lelaki kriwil yang sedang berdiri di depannya. Ryu tersenyum geli setelahnya. Theo berdiri, menggigit bibirnya sendiri dengan ekspresi takut.
"Lain kali berhati-hatilah!"
Theo mendongak. Kali ini dia berani menatap wajah Ryu. Senyuman terima kasih kembali muncul di bibirnya. Ryu juga ikut tersenyum spontan melihat senyuman Theo. Lelaki Yakuza itu meraih cangkir di meja, lalu menyesap kopi buatan Theo. Mata itu masih menampakkan binar. Ryu masih jatuh cinta dengan kopi buatan Theo.
Theo kembali ke dapur setelah itu. Matanya mengawasi Ryu lagi. Ryu kembali berbeda di matanya. Ryu bukan lelaki yang buruk. Setidaknya lelaki itu masih punya hati dan nurani. Nah! Theo kembali luluh hanya karena foto keluarganya.
Sekarang ada satu rasa yang muncul dari dalam hati Theo.
Jadi teman Ryu. Dia ingin mengenal lelaki itu. Pemikiran berbahaya itu muncul tiba-tiba. Theo tidak mengerti apa yang menghinggapinya hari ini. Dia ingin berteman dengan Ryu. Setidaknya, dia ingin tahu bagaimana cara Ryu menghadapi masalah. Dia ingin belajar bagaimana cara hidup di dunia yang keras ini.
Theo memberanikan diri tanpa alasan.
Dia plin-plan!
***
Ryu membuka matanya. Seorang dokter kembali memeriksa keadaannya. Seseorang berniat membunuhnya. Lagi. Sebuah peluru berhasil menyapa lengannya. Dia baik-baik saja meski lengannya tergores lumayan parah. Seharusnya tidak perlu sampai rawat inap, tetapi Ryu sengaja melakukannya. Lelaki itu selalu punya rencana berbahaya.
"Buat berita kalau aku tertembak dan terluka parah hingga tidak mampu bangun! Lalu kita bisa lihat siapa yang akan bergerak menyerang kita. Bentuk pertahanan di tempat yang sudah kuperintahkan kemarin!" Ryu tersenyum licik.
"Baik, Aniki!"
Anak buah Ryu bergerak cepat, melaksanakan perintah Ryu dengan cepat. Beberapa orang sudah datang ke club untuk mengawasi dan memata-matai tempat itu. Bisa saja musuh mengintai tempat yang Ryu jadikan destinasi istirahat itu. Tentu saja... Theo mengetahui kabar itu dari managernya.
Ryu terluka parah karena ditembak. Sekarang keadaannya sedang kritis di rumah sakit. Theo menegang di tempatnya. Dia cemas tiba-tiba. Rasa cemas itu muncul dan makin memuncak ketika dia membayangkan keadaan Ryu. Bagaimana kalau Ryu terluka dan lebih parahnya lagi bisa...
Theo menggeleng kencang.
Tidak!
Theo memutuskan kalau dia harus pergi mengunjungi Ryu di rumah sakit. Theo menelan ludahnya sekali lagi. Dia tidak ingin kehilangan seseorang lagi. Tidak boleh! Tidak ingin! Theo sudah sering ditinggalkan oleh orang di sekitarnya. Kali ini dia tidak mau merasakannya untuk yang ke sekian kali.
Ketika Theo sampai di rumah sakit tempat Ryu dirawat, lelaki kriwil itu melangkah ragu. Theo sampai di rumah sakit ini dengan penuh perjuangan. Salah naik kereta, lalu terpaksa turun di stasiun selanjutnya. Dia naik bis setelah itu untuk kembali. Makin jauh lagi. Akhirnya berkat bantuan Ken lewat telepon, Theo bisa sampai di rumah sakit tempat Ryu dirawat ini.
Namun ketika Theo sampai, kakinya terhenti. Bunga yang dia beli tadi sudah layu. Sebagian malah sudah remuk. Lelaki kriwil itu memutuskan untuk membeli bunga Orange Gerbera untuk menjenguk Ryu. Talk with the flower. Orange Gerbera juga mengekspresikan ungkapan 'cepat sembuh'. Theo bertanya di toko bunga soal ini, dengan bahasa Jepang versinya.
"Boku no tomodachi wa ittai desu. Dakara... boku wa... etto..."
Untungnya penjualnya paham kemana arah pembicaraan sok bulenya itu. Sekarang Theo sudah sampai di dekat kamar Ryu. Meskipun dia tidak mampu masuk ke dalam sana. Beberapa anak buah Ryu berjaga di depan. Theo sengaja bersembunyi, mengintip mereka.
Dia makin ragu untuk masuk.
Ketika ada seorang perawat yang lewat di sebelahnya, Theo meminta bantuan. Dia menitipkan bunga itu agar disampaikan ke Ryu. Theo sadar, dia terlalu pengecut untuk memulai sebuah pertemanan dengan lelaki berbahaya itu.
Theo pulang tanpa bertemu Ryu. Ketika dalam perjalanan pulang itulah penyesalan muncul dalam hatinya. Kenapa dia terlalu pengecut? Kenapa tidak berani menghampiri Ryu di sana? Seharunya Theo tahu terima kasih. Juga... kenapa Theo memberikan Ryu bunga? Mereka lelaki!
Theo kembali bekerja seperti biasa keesokan harinya. Ken masih penasaran dengan telepon Theo yang bertanya soal bunga kemarin.
"Ne, Theo-chan... Kenapa kemarin kamu bertanya soal bunga? Bunga yang mengartikan cepat sembuh?"
Theo menelan ludah gugup.
"Ah, hanya bertanya..." Theo beralasan. Dia tidak ingin Ken berpikiran macam-macam tentangnya. Managernya juga bercerita kalau kemarin dia menjenguk Ryu. Keadaan Ryu ternyata lebih parah daripada yang anak buahnya katakan.
Theo sukses dilanda cemas.
"Apa saya boleh tahu dimana Ryu-sama tinggal?" Theo memberanikan diri. Takazumi mengedipkan matanya, lalu tersenyum.
"Tentu saja boleh kalau itu Theo-chan!"
Theo tidak mengerti alasan managernya, tetapi dia bersyukur sang manager memberinya alamat Ryu. Begitu jam kerjanya selesai, lagi-lagi lelaki kriwil itu bergerak penasaran. Setidaknya dia bisa mengunjungi rumah Ryu meski tidak sempat menjenguknya di rumah sakit.
Alamatnya tidak terlalu jauh dari club malam tempatnya bekerja. Hanya saja... langkah Theo terhenti seketika. Rumah di depannya kembali membuat Theo bungkam dan melongo. Rumah Ryu tidak mewah seperti rumah keren di televisi. Rumahnya masih berbentuk tradisional, namun Theo yakin luasnya pasti mirip lapangan golf. Bunga sakura yang belum bersemi menghiasi halamannya. Beberapa orang terlihat mondar-mandir di sekitar rumah itu, seolah mengawasi sekitar.
Theo makin ragu untuk mengunjungi Ryu!
***
Selang seminggu sejak Ryu masuk rumah sakit. Theo masih senang menguping pembicaraan Takazumi dan pegawai lainnya soal Ryu. Tidak sopan, tetapi Theo bisa apa? Dia tidak bisa bertanya pada mangernya. Takut dicurigai. Apalagi Ken juga selalu mengajaknya bercerita soal Ryu. Theo beranggapan kalau Ken sedang memberikan informasih yang didapatnya dari Takazumi.
"Ryu-sama pulang besok pagi, Theo." Ken berbisik pelan. Theo menegang di tempatnya. Mungkin ini kesempatannya untuk bicara dengan Ryu. Sekedar bertanya apa kabar, lalu apa Ryu baik-baik saja, dan sejenisnya.
Theo bergerak.
Dia membuntuti Ryu dari rumah sakit hingga menuju ke rumahnya. Theo pinjam motor Ken, separuh memaksa sebenarnya. Ken tahu Theo belum punya SIM untuk negara Jepang, jadi Ken menolak. Tetapi karena Theo merayu hingga Ken lelah mendengarnya, dia merelakan motornya dipinjam. Meskipun dia masih memberikan banyak nasihat pada Theo soal rambu-rambu lalu lintas dan sejenisnya.
Theo berhasil membuntuti Ryu. Tiga mobil sedan hitam metalik mengawal mobil utama yang Ryu naiki. Theo di belakang mereka, menjaga jarak. Ketika Ryu sudah sampai dan salah satu anak buahnya membukakan pintu, anak buah yang lain sudah berbaris rapi di belakang gerbang yang terbuka. Mereka membungkuk serentak, mengatakan selamat datang.
Theo tersenyum lega.
Ryu baik-baik saja. Lelaki itu tidak diperban seperti dugaannya. Theo berbalik, mengembuskan napas setelahnya. Motor Ken sudah terparkir agak jauh. Dia kembali melangkah, menghampiri motornya. Ketika pantatnya sudah duduk manis di atas motor, seseorang berbisik tepat di belakang telinganya.
"Aku sudah berurusan dengan mata-mata selama sekian tahun. Kalau hanya mata-mata amatir seperti ini, aku bisa tahu bahkan hanya dengan mendengar napasnya saja!"
Suara itu mencekam, tetapi dari sudut hati Theo yang paling dalam... dia sangat lega dan bersyukur. Ryu sudah kembali!
Theo meletakkan helmnya lagi dan menoleh. Wajah Ryu berada beberapa centi dari wajahnya. Mereka bertatapan sekilas, namun akhirnya Theo menundukkan wajahnya malu.
"Maafkan saya, Ryu-sama..."
"Kenapa harus minta maaf?"
"Saya..."
"Theo... berbahaya sekali kalau kau masih di sini. Pergilah!"
Theo menggeleng kencang. Dia harus mengatakan banyak hal sekarang. Kalau bukan sekarang, dia tidak sanggup mengatakannya lagi.
"Ryu-sama, saya tidak pernah takut berteman atau dekat-dekat dengan Anda. Saya berterima kasih dan kagum dengan apa yang sudah Ryu-sama lakukan. Saya tahu sisi kelam itu dari diri Ryu-sama, tetapi... saya yakin kalau mangaka favorit saya masih tinggal di dalam sana." Theo menunduk.
Ryu bungkam. Bengong. Melongo. Hatinya menghangat hanya karena mendengar ucapan tulus dari lelaki manis kriwil di depannya ini.
"Karena kau sangat berharga itulah, aku takut saat kau berada di dekatku. Kau adalah orang pertama yang memuji mimpiku, Theo. Kami sudah biasa bermain dengan nyawa seseorang. Karena itulah aku tidak ingin kau terluka."
Theo tersentuh, tetapi... dia tidak rela!
"Apa berteman juga tidak boleh?" Theo kembali bertanya. Hidungnya kembang kempis menahan emosi aneh yang ingin menguar dari hatinya.
Ryu terkejut melihat ekspresi Theo, namun lebih terkejutnya lagi... lelaki penerus klan Yakuza itu mengelus rambut Theo spontan. Ryu terkejut dengan kelakuannya sendiri, tetapi rasa nyaman menyapa jemarinya. Ryu ingin memeluk lelaki kriwil manis ini. Terlalu ingin, hingga membuatnya meredam sakit menyayat dari dalam hati.
"Tidak."
Dan itu artinya memang tidak!
TBC