Bab 47

1004 Kata
"Ihh nggak mau di tinggal," pagi ini Adam harus melewati beberapa drama dulu. Ini semua karena Dellia yang tidak mengizinkannya bekerja. "Nggak lama, nanti aku pulang cepat," bujuk Adam sambil mengelus rambut panjang Dellia. "Hiks, tapi aku nggak mau sendiri." "Jangan nangis dong," Adam kembali menatap Dellia dengan raut sedih, melihat Dellia nangis membuat perasaan jadi keikutan sedih. "Nanti kita ke rumah Ibu ya, biar kamu di sana aja dulu," bujuk Adam sambil melirik jam, sebentar lagi rapat akan di mulai. Hal ini membuat Adma harus lebih cepat. "Ihh nggak mau, nggak ada Mas." "Yaudah kita ke Kantor ya," Dellia mengangguk semangat, ia langsung berlari hendak ke atas mengambil hijab. "Jangan lari, biar aku yang ke atas," Dellia mengangguk dan menunggu Adam. Ia tidak perlu menganti pakaian, karena tadi Dellia juga rencana ingin ikut ke Kantor tapi ia tidak berani minta ikut takutnya ganggu suaminya. Hanya saja melihat Adam yang ingin pergi membuat Dellia resah, ia tidak ingin pisah dari Adam. Ini pasti pengaruh dari dari anaknya yang ingin dekat terus dengan Adam. "Ini," Adam menyerahkan jilbab Dellia. "rambutnya nggak dikucir?" tanya Adam, pasalnya rambut Dellia panjang masak mau di masukkan ke dalam baju kan nanti panas. "Nggak, telat." "Jangan gitu," Adam mengambil karet bekas bungkusan nasi gorang tadi malam dan langsung mengikat rambut Dellia. "Wah Mas keren banget," puji Dellia saat rambutnya sudah rapi. "Ya udah ayo," Adam mengenggam tangan Dellia erat berjalan menuju mobil. "Ih tutup mata," Dellia menutup mata Adam erat setiba mereka di Kantor. Dellia kesal dengan mata-mata cewek berpakaian minim yang terus menatap ke arah Adam. "Ya gimana Mas jalan kalau gini," Adam terkekeh. "Pegang Dellia aja." "Nanti Mas jatuh sayang," Adam melepaskan pelan tangan Dellia dari matanya. "tenang aja, buat dapat kamu lagi aja susah nggak mungkin aku buat kamu marah lagi," Adam harap Dellia bisa tenang, karena Adam juga tidak tertarik dengan wanita yang sekarang menatapnya itu. "Pak bisa langsung ke ruang rapat," ucap Sekretari Adam setiba mereka di lobi, tepatnya depan ruangan Adam. "Oke." Adam masuk keruangannya begitu pun dengan Dellia, lalu ia menuntun Dellia untuk duduk di sofa yang berada di ruangannya. "Mas rapat nggak lama, setelah ini Mas ke sini lagi. Kalau ada apa-apa telepon Mas aja ya." "Oke Boss," Adam terkekeh gemas, ia mencubit pelan kedua pipi tembem Dellia. Adam pun beranjak pergi menuju ruang rapat. "Eh tunggu," Adam berbalik dan menatap Dellia yang sekarang berjalan mendekat ke arahnya, lalu memberikan dua kecupan manis di pipi kanan dan kiri. Adam ikut mengecup bibir Dellia sekilas. "Oh iya, di sana ada kamar," Adam menujuk kamar yang berada di ujung ruangan. " di dalam kamar itu ada Tv, kasur dan perlengkapan lainnya. Kalau ada apa-apa langsung telepon aja ya." *** Suara petir yang menyelenggar membuat Adam terkejut dalam tidurnya, ia melihat ke samping ranjangnya dan tidak ada Dellia. Ke mana wanita itu? Adam mendengus kesal, ia berjalan cepat sambil menjambak kepalanya. Sejak Dellia pergi dan sekarang sudah kembali, ia selalu merasa panik yang berlebihan jika tidak tau di mana wanita itu berada. Adam meneliti seluruh ruangan kamar dan ia tidak menemukan Dellia di mana pun. Suara hujan membuat Adam semakin panik, ia takut sungguh takut bayangan Dellia yang sudah muak dengannya dan meninggalkannya membuat Adam tidak bisa tenang. Tangannya sudah berkeringat. Tidak biasanya wanita itu pergi tanpa pamit terlebih dahulu pada Adam. Terlebih Dellia sedang hamil besar. Setelah mencari di lantai dua, ternyata Dellia tidak ada. Adam menuju lantau satu. "s**t," Adam mengumpat kesal, sangking paniknya Adam bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Adam juga tidak menemukan Dellia di lantai satu. Ia melirik ke arah jam, sekarang sudah jam 02.30 WIB. Adam sudah tidak tau apa yang harus ia lakukan sekarang karena Dellia juga tidak membawa ikut ponselnya. Ponsel wanita itu masih berada di kamar mereka. Adam memukul kepalanya berulang kali mencoba kesalahan apa yang ia perbuat hingga membuat Dellia marah dan kembali meninggalkannya. Rasa sesak menghimpitnya, untuk bernafas saja Adam susah. Ia terduduk di samping tangan, kakinya ia tekuk Adam memegang dadanya erat. Adam melempar vas bunga di sampingnya dengan kasar, karena kesal sesak ini membuat Adam sulit bergerak padahal Adam berniat mencari Dellia di luar menggunakan mobilnya. "Astagfirullah, Mas kenapa?" Dellia yang berada di luar terkejut mendengar suara pecahan kaca, sebab itu Dellia langsung berlari terburu-buru masuk ke dalam rumahnya. Setiba di dalam Dellia terkejut saat melihat Adam yang tampak kesakitan. Dellia berjalan cepat menuju samping tangga, di sana sudah terbaring menyedihkan. "De," ucap Adam terbata-bata. "Kenapa, Mas sesak? Tunggu!" Dellia berjalan dengan cepat menuju dapur, ia mengambil gelas dan mengisinya dengan air putih. Setelahnya Dellia kembali menuju ke tempat Adam. Ia mengangkat kepala Adam dan menyederkannya di dadanya setelahnya Dellia langsung menyodorkan air putih di depan bibir suaminya. "Ya Allah, kok bisa gini Mas," Dellia mengusap d**a Adam yang sekarang naik turun. Selama ia hidup dengan Adam tidak pernah sekali pun Dellia melihat Adam sesak nafas seperti ini. "Mau ke rumah sakit?" tanya Dellia panik saat nafas Adam tidak kunjung normal. Adam menggelang pelan, ia paksakan tersenyum pelan agar menenangkan Dellia. Adam seperti ini panic attacknya kambuh. "Mas hiks jangan pingsan," Dellia menepuk pipi Adam dengan keras. Ia terkejut saat melihat mata Adam yang tertutup. "Nggak pingsan," Adam hanya menutup matanya, ia ingin menenangkan diri dengan menyakinkan bahwa Dellia tidak pergi. Setelah rasa sesak berkurang Adam memeluk Dellia erat. Dellia mengusap punggung Adam pelan. "Mas sakit apa?" tanya Dellia. "Panic attack." Dellia baru tau jika Adam menginap penyakit itu. Rupanya masih sangat banyak hal yang tidak Dellia ketahui tentang Adam. "Nggak papa, kalau dekat kamu langsung enakkan," Adam mencoba menenangkan istrinya yang masih tampak panik itu. "Mas kok nggak pernah bilang?" Adam hanya diam karena dia bingung ingin menjawab apa, Adam pikir hal ini tidak perlu disampaikan. "Mas panik kenapa?" "Itu karena." "Karena apa?" geram Dellia saat Adam malah memotong omongannya sendiri, hal itu membuat Dellia penasaran. Dellia menatap wajah Adam insten. Ia mengusap wajah yang berkeringat itu, wajah tampan suaminya juga memerah. "Ditinggal." "Ditinggal gimana?" "Takut ditinggal." "Iya Mas, maksud Dellia itu ditinggal sama siapa?" "Kamu," jawab Adam sambil menatap mata Dellia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN