Bab 48

1008 Kata
"Dellia nggak kemana-mana," sambung Dellia lagi. "Tapi, tadi kamu nggak ada. Tadi kemana?" Adam memperbaiki duduknya yang tadi terlalu menyorong. "Maaf Mas," Dellia tidak tau kepergiaanya ini berdampak seperti ini. Ia keluar ke taman rumahnya untuk mengambil mangga yang sekarang sudah berbuah. Mangganya tidak tinggi karena pohonnya tidak memanjang tapi menyamping. Makanya Dellia bisa memetik sendiri tanpa bantuan dari Adam. Dellia bangun karena lapar, awalnya ingin membangunkan Adam tapi pria itu tidur terlalu telat semalam karena Dellia yang susah tidur karena kehamilannya yang semakin membesar. Sudah capak karena bekerja dan menemani Dellia yang susah tidur, masa harus kembali bertambah lelah karena menuruti keinginannya. "Tadi ngambil mangga di depan. Pengen banget ni Babynya," sambung Dellia. "Dellia janji setelah ini bakalan selalu izin walaupun cuman keluarga ke taman rumah," Dellia tersenyum lembut sambil mengusap rambut belakang Adam. "Kenapa nggak bangunin?" "Dellia bangun karena lapar, awalnya ingin membangunkan Mas Adam tapi lagi tidur. Mas juga tidurnya telat semalam apalagi juga karena aku yang minta dipijiin. Masa aku bangunin Mas lagi." "Tapi jangan gitu lagi ya, aku nggak masalah buat nggak tidur semalaman. Aku kira kamu bakalan ninggalin aku." "Mas jangan takut ya, Dellia nggak bakalan ninggalin Mas lagi. Aku udah terlalu cinta. Aku sayang banget sama Mas, jadi nggak mungkin aku ninggalin suamiku ini," Dellia mencium pipi Adam pelan. Ia harap Adam tenang dan tidak berpikir bahwa ia akan meninggalkannya lagi. Sudah cukup semua permasalahan di rumah tangga mereka. Sebisa mungkin Dellia harus bisa berpikir dewasa dan mencoba mengalahkan ego demi keharmonisan penikahannya. Ia tidak akan bersikap bodoh dengan pergi tanpa ada alasan yang jelas. "Aku lebih cinta sama sayang sama kamu," Adam terharu mendengar penjelasan Dellia. Ia akan menjadi pria paling bodoh jika masih membuat wanita sebaik ini sedih. "Jangan keluar sendiri lagi, ini juga lagi hujan," Adam meneliti wajah dan badan wanitanya, ternyata Dellia yang sudah hamil delapan bulan setenggah ini tidak basah sama sekali. "Tapi Dellia pakai jas hujan sama payung jadi nggak basah." "Jangan ya, bahaya kalau kepeleset gimana?" "Nggak Mas." "Jangan ngebantah De!" peringat Adam yang sedikit kesal dengan bantahan Dellia. "nggak ada yang tau kalau kamu kepeleset, orang udah pada tidur. Kamu mau ngebahayain diri kamu sendiri sama anak kita?" Dellia terpaku, ini bentakan pertama setelah lima bulan Dellia kembali pada Adam. Apalagi dengan tatapan Adam yang menatapnya tajam. "Maaf Mas," Dellia menunduk dalam dengan tangannya yang mengenggam tangan Adam erat. "Mas yang minta maaf karena udah ngebentak kamu, jangan lagi keluar gitu ya. Kalau lapar bilang sama aku, jangan sungkan. Mas nggak bakalan keberatan atau capek buat nurutin kemauan kamu, karena aku tau perjuangan kamu lebih besar dari pada aku." "Iya Mas." "De aku bisa mati kalau kamu pergi kayak gitu." "Ha?" Dellia menatap Adam dengan matanya yang sudah membola terkejut. "Nggak, Mas bercanda. Sekarang tidur ya," Adam membantu Dellia berdiri, ia menuntun Dellia dengan memegang pinggang Dellia. "Mulai besok kita nggak usah tidur di lantai dua lagi, kasian kamu capak naik ke lantai atas. Hm, apa aku buat lift aja?" "Ih jangan kan mahal, kita tidur di lantai bawah aja." "Capek?" tanya Adam. "Sedikit," mereka baru menaiki lima gundukan tangga yang tentu ini belum terlalu melelahkan. "Biar aku gendong ya," Adam langsung mengangkat Dellia menuju lantai atas. *** "Makan De, buka mulutnya," Adam menyodorkan nasi beserta lauk ke depan mulut istrinya, tapi Dellia malah menggeleng. "Nggak mau, sakit ini nggak enak," Dellia mengusap d**a beserta tenggorokannya. Wanita kesayangan Adam ini emang sedang sakit. Usia kehamilan Dellia sudah memasuk usia sembilan bulan, pada usia kehamilan ini Dellia juga jadi lebih sering sakit. Adam ingin menangis aja rasanya melihat Dellia yang sejak tadi tampak sedih terus. Bagaimana tidak, kehamilan Dellia sudah semakin membesar dan tidak lama lagi melahirkan. Dan dalam masa yang menegangkan menuju kelahiran Dellia harus merasakan asam lambungnya yang naik. "Kasian anak kita kalau kamu nggak makan," lanjut Adam lagi sambil mengusap rambut Dellia pelan. Dellia membuka mulutnya pelan. Benar ia tidak boleh egois, ada anak yang harus ia pikir kesehatannya. Adam meletakkan kembali piring nasi di atas meja setelah Dellia tidak mau makan lagi setelah lima suap nasi sudah wanita itu makan. "Mas Dellia nyesal," Dellia mengusap air mata yang tiba-tiba menetes dari matanya. "Nyesal kenapa?" "Coba aja dulu aku nggak suka telat sama nggak suka makan pedas. Pasti sekarang aku nggak sakit lambung. Rasanya nggak enak banget." Adam tidak tau harus memberi saran apa, karena semua sudah terjadi dan tidak bisa diubah lagi. "Ini jadi pelajaran aja jangan lagi menyepelekan penyakit." Adam mengehampus air mata yang berada dipipi Dellia, "Sabar ya," Adam mengusap perut Dellia pelan. "Wah bayinya gerak," Adam meletakkan telinganya lebih dekat ke arah perut Dellia. Tadi saat mengusap perut istrinya ia merasakan gerakan anaknya didalam perut. "Alhamdulillah, sehat-sehat ya," lanjut Adam lagi. Getaran itu semakin terasa saat posisi Adam sedekat ini dengan anaknya. Dellia tersenyum haru melihat interaksi Adam dengan anak mereka. Ini bukan pertama kalinya Adam mengajak anak mereka berkomunikasi. Bahkan Adam mau mengaji untuk anak mereka. Rupanya masih banyak hal yang tidak Dellia ketahui tentang sang suami. Tenyata Adam bisa mengaji bahkan fasih. Dellia awalnya tidak menyangka jika Adam sangat pandai mengaji karena pria itu tampak seperti orang yang tidak perduli dengan agama. Kata Adam, pria itu bisa mengaji karena ia sekolah agama. "Anak Ayah lagi ngapain?" Adam terkekeh saat anak mereka membalas pertanyaan Adam dengan sedikit tendangan. "semoga kamu sehat terus ya begitu pun dengan Mama kamu. Ayah bakalan terus berdoa sama Allah untuk kebaikan kamu sama Mama." "Aamiin." "Kapan ya Baby keluar, Ayah udah nggak sabar." "Sabar Ayah Adam seminggu lagi," Dokter sudah memprediksikan jika kelahiran Dellia tidak akan lama lagi. "Iya Mama Dellia," Adam tersenyum cerah, ia senang di panggil Ayah Adam oleh istrinya. "Mau tidur?" tawar Adam saat melihat sudah waktunya tidur siang. "Hari ini nggak Mas, nggak ngatuk." "Mau jeruk?" Dellia mengangguk. Adam beranjak dari perut sang istri dan mengambil jeruk, lalu mengupaskannya dan memberikan jeruk kupasannya ke tangan istrinya. "Mas kok perut aku sakit banget ya?" Dellia meletakkan jeruknya kembali ke atas piring. Sekarang perutnya seperti dicengkram erat, rasa sakitnya tidak bisa Dellia jabarkan dengan rinci karena ini benar-benar sakit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN