Part 9 - Selamat Datang Luka

1160 Kata
Part 9 POV Sara Selamat Datang Luka Saat aku tengah terpuruk dalam keputus-asaan. Pilunya tangisanku terdengar hingga luar ruangan. Beberapa perawat muncul untuk menenangkanku. “Ibu kenapa? Sakit?” Oh betapa pedulinya mereka terhadapku. Sayangnya kepedulian mereka tak berpengaruh untukku. Tangisanku terdengar semakin keras membahana. Mereka tampak kesulitan menenangkanku. “Ibu, minum dulu ya?” Salah satu dari mereka memberiku segelas air. Aku menurutinya, meminum seteguk dan perlahan isakanku mereda walau belum hilang sepenuhnya. “Tarik napas dalam-dalam, buang perlahan.” Mereka lantas memberiku instruksi. Dengan patuh aku mengikuti arahan dari mereka. Dan berhasil. Tangisanku menghilang dengan cepat. “Ada apa, Bu?” tanya mereka sembari mengusap lembut punggungku. Sungguh hatiku merasa hangat mendapati perlakuan lembut mereka terhadapku. “Aku nggak pa-pa kok Sus. Cuma nggak tahu kenapa tiba-tiba aku jadi mellow begini,” sergahku menyembunyikan kepiluan hatiku. “Oh, begitu.” Mereka seakan mengerti perasaan yang kini kurasakan. Seperti yang sudah kuduga mereka menyalahkan hormon paska persalinan yang kerap melanda para ibu yang baru melahirkan. “Itu nama sindrom baby blues, Bu.” Bisa dikatakan aku orang tua baru dalam hal ini, tapi aku sedikit tahu banyak mengenai ilmu parenting, cara mengasuh bayi, serta beberapa informasi seputar kehamilan dan persalinan. Meski begitu aku pura-pura tak paham soal baby blues ini. Takut jika aku menyinggung mereka, karena sejujurnya bukan hormon yang patut kusalahkan, melainkan suamiku dan sahabatku sendiri yang menjadi penyebab semua luka laraku. “Ada apa?” Aldo mendadak muncul di hadapan kami. Ia terlihat bingung melihatku bersama dua orang perawat di dekatku. “Ah, Bapak sudah datang rupanya. Istri bapak tadi histeris tiba-tiba. Jadi kami ke sini untuk menenangkannya. Tapi nggak usah cemas, karena biasanya para ibu yang baru melahirkan mengalami kondisi seperti ini,” jelas sang perawat yang langsung diiyakan oleh suamiku. “Kalau begitu, kami pergi dulu ya pak? Jika Bapak butuh apa-apa tinggal ke tempat kerja kami di dekat lift,” ucap mereka berlalu pergi. Aldo melirik ke arahku dengan tatapan tak terbaca. Ia seakan tahu kegundahan hatiku. Biasanya dia akan mendekat padaku dan bertanya seolah tak terjadi apa-apa. Tapi kali ini dia menjaga jarak yang cukup dariku, membuatku semakin heran dengan tingkahnya. Firasatku mengatakan kalau Widya sudah menceritakan padanya apa yang terjadi. Tapi anehnya? Mengapa suamiku sama sekali tidak bersalah karena telah menikah lagi. Seakan-akan masalah tersebut bukanlah hal yang penting untuk dibahas. “Aldo ... “ Suaraku terdengar serak, memanggil namanya. Akhirnya aku memberanikan diri mengonfirmasi sendiri padanya. Berharap Widya hanya menggertak. Suamiku hanya merunduk, tak berani menatapku. Terlihat seolah ia sedang menyembunyikan sesuatu dari binar di matanya yang menyimpan banyak rahasia. “Al?” Aku memanggilnya lagi. Kupastikan suaraku kali ini terdengar keras di telinganya. Ia menoleh menatapku, penuh rasa khawatir. “Apa, Sar?” “Coba mendekatlah dan lihat aku,” pintaku memohon padanya. Sejenak kulihat ada keraguan di netra matanya yang coklat bening memesona, kemudian keteguhan hatiku meyakinkannya. Ia beranjak dari posisinya berdiri semula. Langkahnya yang gontai mengikis jarak di antara kami. Hingga ia berada tidak jauh dari ranjang tempatku berbaring. “Apa benar yang dikatakan Widya padaku? Bahwa kalian sudah menikah?” Kucoba memberanikan diri untuk bertanya padanya hal-hal yang selama ini terus menggangguku bagai mimpi buruk tak berkesudahan. Seperti buruknya wajah yang kumiliki. Aku seakan terjebak dalam paras ini, membuatku merasa rendah diri dalam segala hal. Tak percaya pada kemampuanku. “A-Al ... “ Baru pertama kalinya kulihat suamiku gugup saat berbicara denganku. Setahun menikah dengannya, bertahun-tahun mengenalnya, sosok Aldo bukanlah sosok laki-laki yang mudah gugup. Dia dilahirkan dengan wajah tampan rupawan dan kepercayaan diri yang amat tinggi. Bagaimana bisa dia bahkan tak berani menatapku, walau sejenak. Ia juga kerap membentakku dengan kasar, memarahi aku setiap kali aku melakukan kesalahan kecil. Tapi sekarang, ia terlihat seperti bocah kecil yang ketahuan berbohong pada ibunya yang takut jika ia mendapat hukuman atas perbuatannya. Firasatku mulai tak enak. Aku menelan salivaku berkali-kali, membasahi kerongkonganku yang mengering. Takut jika kenyataan pahit menamparku dengan keras. “Aldo ... apa kau mendengarku?“ teriakku memanggil namanya lagi, kali ini suaraku terdengar sangat jelas dan kuat. Tak tahu harus berkata apa. Aku kehilangan kepercayaan diriku lagi. “Katakan sejujurnya padaku, apa benar kau sudah menikah dengan Widya?” Akhirnya pertanyaan yang bergelayut dalam pikiranku terlontar sudah dari mulutku. Kuharap semua ini hanyalah mimpi burukku saja. Semoga ... “A-aku ... “ ia meragu sesaat sebelum akhirnya melanjutkan, “Aku sudah menikahi Widya, Sar.” Akhirnya ia mengakuinya setelah berulang kali aku memaksanya untuk jujur padaku. “Allahu akbar!” Aku memekik kaget. Bagai mendengar gelegar petir di siang bolong yang cerah, pernyataan Aldo—suamiku membuat jantungku seakan berhenti berdetak. Bibirku kelu. Kutatap wajah suamiku yang terlihat kabur karena bias airmataku. “Kau pasti bercanda ‘kan? Tolong katakan padaku kau pasti sedang menggodaku, ‘kan?” Sekeras mungkin aku berusaha menyangkalnya. Aku hanya diam dan membisu. Setitik harapan muncul dalam pikiranku. Berharap bahwa semua ini hanyalah halusinasiku saja. Namun gelengan kepala Aldo menyadarkanku. Tangisku semakin pecah. Hingga tubuhku yang lemah semakin melemah. “Kenapa kau tega, Al?” Aku meratapi nasibku sambil memukuli selimut yang kukenakan saat itu. Melampiaskan emosiku. Harusnya sebagai seorang suami ia menjaga perasaanku, istrinya. Disaat aku berjuang melahirkan bayiku, buah hatinya juga. Dia malah egois menikah lagi dengan mantan pacarnya. “Kenapa, Al? Kenapa kau setega itu padaku?” Tangisku semakin keras. Ia tak menggubrisku. Mulutnya terkunci rapat. Aku berharap mendapatkan jawaban darinya. Mengapa ia tega melakukan itu padaku. “Aku ... aku ... “ sejenak ia ragu untuk berkata, sebelum akhirnya ia mengakui perasaannya yang seakan menusuk belati dalam jantungku. “Aku masih mencintai Widya, Sar.” “Kalau begitu ceraikan aku, Al. Sekarang!” tuntutku padanya. “Nggak, Sar. Aku nggak bisa melepaskanmu karena anak kita butuh dirimu.” “Kau bisa menggantikannya dengan Widya,” kataku dengan nada benci tersirat dalam nada suaraku. Betapa aku benci perempuan yang pernah menjadi sahabat terbaikku. “Widya nggak mau melakukannya. Dia setuju menjadi istri keduaku, dan aku bersumpah akan bersikap adil pada kalian berdua.” “Kenapa kau menikah dengannya setelah apa yang telah dia lakukan padamu dulu, Al?” Rasa penasaran mengusikku. Kuberanikan diri bertanya pada suamiku. Sudah lupakah ia betapa terpuruknya ia ketika Widya meninggalkannya dulu demi menikahi laki-laki lain. “Suaminya menyiksanya.” “Terus apakah itu harus menjadi tanggung jawabmu?” Aku tak habis pikir mengapa Aldo harus ikut campur dalam urusan pernikahan mantan pacarnya. “Ia ingin bercerai tapi mantan suaminya terus mengusiknya. Jadi dia memohon perlindunganku dengan memintaku menikah dengannya agar mantan suaminya nggak mengganggunya lagi.” “Dan kau setuju?” Harusnya aku tidak perlu menanyakan itu karena jawabannya sudah jelas. Aldo—suamiku rela mengkhianatiku demi perempuan dari masa lalunya itu. Sungguh miris nasibku. Sekuat apapun aku mengenyahkan sosok perempuan itu dari pikiran suamiku, pada akhirnya semua usahaku sia-sia belaka. Aku hanya menangis keras meratapi nasibku yang semakin merana dalam pernikahan ini. Selamat datang di neraka pernikahan. Kuucapkan selamat pada diriku yang secara tragis memasuki kehidupan pernikahan yang tak seindah harapanku. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN