Part 10 - Pulang

1104 Kata
Part 10 POV Sara Pulang Harusnya aku merasa bahagia ketika dokter menyatakan bahwa aku sudah pulih dari luka operasi sesarku dan bisa kembali pulang ke rumah. Nyatanya aku lebih berharap bisa tinggal di rumah sakit ini lebih lama lagi. Tempat dimana aku tidak harus melihat suamiku dan istri keduanya, Widya bersama. “Wah, Alhamdulillah akhirnya kau bisa pulang ke rumah, Sara.” Entah tulus atau tidak Widya mengucapkan rasa syukurnya atas kesembuhanku. Aku melemparkan tatapan sinis untuknya, tapi sepertinya ia tak peduli dengan tatapanku. Ia masih tersenyum lebar ke arah Aldo dan mengabaikanku. Dasar perempuan tidak tahu malu. Dulu saja dia meninggalkan Aldo begitu saja demi menikahi laki-laki lain yang menurutnya lebih tampan, sekarang dia datang lagi untuk merusak ketentraman hati dan jiwaku. Aku pun pulang dijemput mereka berdua. Mengendarai taksi yang sengaja Aldo pesan entah sejak kapan. Di sepanjang perjalanan aku tahu sepertinya supit taksi itu curiga pada Widya dan Aldo yang duduk di kursi belakang, menggendong bayiku. Sedangkan aku yang duduk tepat di sebelah kursi penumpang hanya bisa pasrah kala tatapan sang supir melihatku miris. Dari penampilanku, ia bisa mengetahui bahwa aku habis bersalin. Tapi tidak tergambar jelas kebahagiaan dari raut wajahku yang terpantul dari spion mobil taksi. Aku pun merasa iba pada diriku sendiri, tapi apa daya. Luka jahitan paska operasi memaksaku diam saat Widya mengambil alih putraku dalam gendongannya. Bersama Aldo yang malah lebih memilih duduk bersama istri barunya dibandingkan menenangkanku. “Selamat ya Pak, atas kelahiran buah hatinya.” Pak Supir memberi mereka selamat, seolah-olah merekalah yang berbahagia diatas penderitaanku. Widya mengukir senyum cantiknya yang membuatku semakin geram. “Terimakasih Pak, dia tampan ‘kan seperti ayahnya?” tutur Widya penuh kebanggaan. Memamerkan bayi yang bukan miliknya kepada orang lain. Supir tersebut tersenyum penuh arti sebelum akhirnya berkata, “Iya dia mewarisi ketampanan ayah dan kecantikan ibunya.” Harusnya Widya merasa malu karena itu bukan anaknya, tapi emang dasar perempuan tidak tahu malu. Dia malah merespon santai, “Eh, saya jadi malu dibilang cantik sama Bapak,” tandasnya. “Lho, emangnya saya bilang Ibu cantik? Orang saya bilang mbak ini yang cantik.” Aku tertegun mendengar pak supir menyebutku cantik. Wajah Widya seketika memerah karena merasa dipermalukan. “Kok Bapak malah bilang begitu?” Aldo membelanya. “Lho, emang saya benar ‘kan? Ini ibu ini memang cantik. Makanya anaknya bisa ganteng. Orang ibunya aja cantik!” seru pak supir sambil terkekeh. Kulihat perubahan wajah Widya yang semula penuh kebahagiaan, mendadak cemberut dan sinis. “Ini Al, gendong bayi kamu!” Ia merajuk sambil menyerahkan putraku pada Aldo. Aku merasa tenang mendapati seseorang memihakku dibandingkan Widya. Meski terdengar sederhana, tapi aku merasa lega. *** Nyatanya keadilan yang dijanjikan Aldo padaku tidak pernah terwujud. Setelah kepulanganku dari rumah sakit, Widya pun ikut pindah ke rumah kontrakan kami. Dia dengan mudahnya menempati ruang tidur utama, sedangkan aku tersingkir ke ruang tidur khusus tamu dengan alasan bayiku. Aldo dan Widya sudah menyiapkan kamar untukku dan anakku. Namun entah ide dari mana, Aldo lebih memilih Widya tidur bersamanya di kamar utama, sedangkan aku tidur di kamar tamu yang jarang kami gunakan sebelumnya. “Untuk sementara ini kamarmu, Sar.” Aku tertegun melihat kamar sederhana yang sekarang menjadi kamarku. “Aku sudah menaruh semua pakaianmu ke dalam box itu.” Widya menimpali sambil menunjuk ke atah box kontainer plastik yang berisi tumpukan pakaianku. “Semua perlengkapan bayi juga sudah kutaruh di box satunya. Jadi kau nggak usah khawatir lagi.” Aldo tersenyum tulus pada Widya, “Terimakasih Sayang sudah mau membantuku membereskan semua barang-barang itu.” “Sama-sama, Sayang.” Widya mengukir senyum lembutnya untuk Aldo. Setelah memastikan aku tiba di kamarku, akhirnya mereka pun keluar dari ruangan 2x3 meter persegi yang dulunya ingin kusulap menjadi ruangan khusus anakku. Tanpa kuduga justru aku yang tersingkir di ruangan ini bersama bayiku. Sambil mengamati bayiku yang tertidur. Kusimpan rapat semua kepedihanku, sambil mulai menata kembali pakaianku yang berantakan. Kususun rapi perlengkapan bayiku ke dalam box yang ada. Mencoba bertahan dalam kepedihan ini, entah sampai kapan? *** Aku kewalahan mendiamkan tangisan bayiku. Berbagai cara telah kulakukan, tapi sia-sia. Putraku tak kunjung berhenti menangis. Tangisannya bergema di kamar, begitu keras. Suara gaduh terdengar dari kamar di sebelahku. Widya melongok ke dalam kamar, dengan wajah cemberut dia bergumam kasar, “Duh, berisik banget sih! Bisa nggak sih ngurus bayi doang. Nangis mulu! Makanya kasih bayimu itu ASI. Dia tuh kelaparan!” “Ada apa sih?” Aldo muncul tak lama setelahnya. “Ini nih, bayi Sara nangis mulu. Berisik tahu! Ganggu kita tidur aja!” celetuk Widya yang membuat Aldo hanya melirik sekilas ke arahku. “Anak kita sepertinya lapar,” kataku putus asa. Sudah berbagai cara aku lakukan supaya ASI-ku keluar. Tapi tetap saja cairan kuning penuh kolostrum itu tak kunjung muncul dari payudaraku. Aku merasa tersiksa. “Kasih s**u botol kek!” gerutu Aldo tak peduli sedikit pun terhadapku maupun kepada putraku. Padahal anak ini juga anaknya tapi mengapa tak sedikit pun rasa simpati darinya. “Kalau begitu, tolong bantu aku buatkan s**u formula.” “Kok jadi nyuruh aku sih? Punya tangan ‘kan? Punya kaki juga? Jalan sendiri! Jangan manja! Baru punya anak satu aja udah ribet!” Tak mau ambil pusing, aku pun mencoba berdiri dengan kondisiku yang baru dua hari melahirkan. Terasa denyut perih di area selangkanganku. Meski begitu aku berjalan menghampirinya sambil menggendong putraku dalam dadaku. Kuserahkan bayiku yang masih menangis kepadanya, tapi Aldo hanya melotot tajam ke arahku. Widya dan Aldo saling berpandangan saat aku memberikan bayiku pada Widya yang malah bergidik ngeri dan membuang pandangannya, acuh tak acuh. Dengan kecewa, aku terpaksa ke dapur sambil menggendong bayiku. Hanya dengan satu tangan aku pun mulai menaruh bubuk s**u formula yang sebelumnya kuminta Aldo membelikannya di minimarket di ujung jalan. Takut jika ASI-ku yang kunjung keluar hari ini. Bayiku berhenti menangis saat aku menaruhnya sebentar di meja makan beralaskan selimut. Sambil menghela napas aku memasukkan beberapa sendok takar s**u ke dalam botol, menuangkan beberapa mililiter air hangat dan mencampurnya dengan air bersuhu normal. Setelah memastikan suhu s**u pas, aku mengambil putraku yang terdiam. “Nak ... “ jeritku panik karena bayiku yang baru berusia tiga hari ini tidak merespon panggilanku. “Sayang, ini Mama Nak. Bangun yuk, kita minum susu.” Hening sejenak. Tak kudapati gerakan atau tangisan dari bayiku meski aku mengguncang-guncang tubuh mungilnya. “Aldo ... Widya ... “ teriakku kencang memanggil mereka. “Ada apa sih?” Setelah berkali-kali kupanggil, akhirnya mereka pun datang. “Apa lagi sih?” keluh Widya menahan kesal. Aldo menyusulnya tak lama kemudian. “Al ... tolong, anak kita ... “ Aku bergetar menahan tangis sambil memeluk bayiku yang terbujur kaku tak berdaya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN