Part 8 - Luka di Atas Luka

1172 Kata
Part 8 POV Sara Luka di atas Luka Pikiranku kosong, seolah semua kesadaran diriku terserap habis oleh sesuatu. Kulihat senyum Widya terpancar penuh kemenangan. “Aku akan menunggumu di luar. Kau beristirahatlah.” Widya berkata dengan santainya, seolah tidak terjadi apa-apa dengannya. Seakan-akan ini bukan masalah baginya. Bagaimana bisa dia bersikap setenang itu, setelah merebut kebahagiaanku. Dalam kondisiku yang terpuruk paksa persalinan. Tega sekali dia merebut suamiku. Aldo juga, tak luput kusalahkan juga suamiku itu. Karena dia punya andil besar atas luka yang mereka torehkan padaku. Bagaimana bisa dia bisa menikahi Widya tanpa sepengetahuanku. Mereka berdua memang b******k!, aku hanya bisa memaki dalam hati. Tak berani mencurahkan semua keluh kesahku pada mereka berdua. Sungguh kejam mereka melakukan itu padaku. Tanpa memikirkan perasaanku dan kondisiku saat ini. “Wid, bisa kau panggil Aldo ke sini?” “Kurasa dia sedang pulang untuk mengambil sesuatu.” “Kau pasti bohong soal pernikahanmu dengan Aldo. Suamiku sudah mengatakan padaku kalau dia nggak akan meninggalkanku. Jadi, aku nggak percaya sama ucapanmu!” Kukumpulkan semua kepercaya diri yang tersisa. Mengais semua yang bisa kukais untuk mempertahankan hatiku yang telah rapuh. Widya menoleh sambil tersenyum penuh pengertian. Sikapnya yang sok suci membuatku muak. Ingin rasanya aku menampar, menjambak, dan mencekiknya sekarang juga. Kalau bukan karena energiku yang telah habis, aku mungkin sudah melakukannya. Melampiaskan semua emosi dan kekesalanku karena kemunculannya kembali untuk memorak-morandakan kehidupanku. “Terserah kau mau percaya atau tidak? Tapi itulah kenyataannya. Mungkin Aldo masih menunggu kondisimu pulih dulu sebelum jujur padamu,” sahut Widya tak mau ambil pusing dengan ketidak-percayaanku. “Kapan kalian menikah?” “Hmmm … aku lupa.” “Berarti kau bohong!” Aku semakin yakin Widya menipuku agar aku tidak percaya pada suamiku sendiri. Widya menghela napas panjang. Ia mengambil tas jinjing yang dibawanya dan mencari sesuatu. Perhatiannya kini terfokus pada ponsel pribadinya, ia menggeser layar ponsel tersebut, lalu menghampiriku. “Bagaimana jika aku menunjukkan bukti foto ini?” Meski enggan, aku terpaksa menerima ponsel yang ia berikan. Tanganku bergetar melihat foto-foto yang tersimpan dalam galeri pribadinya. Kulihat Widya mengenakan kebaya putih gading dengan hiasan kerudung renda menutupi rambutnya. Foto yang dulu pernah kulihat di galeri suamiku sekarang tampak lagi olehku. Tanganku bergetar memegang ponsel Widya. Melihat satu demi satu foto yang tersimpan dalam galeri itu. Hatiku hancur, tangisku pecah, meskipun begitu aku masih tetap memberanikan diri melihat semua potret kebahagiaan yang terekam abadi dalam sebuah memori. Perhatianku terpaku pada suamiku yang mengenakan jas biru dongker yang dulu pernah ia pakai saat menikah denganku. Dan kemeja putih yang beberapa hari lalu ia ributkan untuk bertemu dengan klien. Ternyata ... aku tak sanggup lagi berkata-kata. Aku merasa dikhianati oleh mereka. Melihat ponselnya jatuh dari tanganku, dengan sigap Widya mengambilnya sebelum terlempar jauh ke lantai. “Hei, hati-hati dong!” Ia merengut sambil mengusap-usap ponselnya. Tragisnya ia lebih peduli pada ponselnya dibandingkan perasaanku. “Sar? Jangan bilang kau akhirnya percaya setelah melihat bukti foto ini?” tukasnya sengaja memanas-manasiku. Atau memang sudah menjadi rencananya untuk membuatku terluka. Hening mengelilingiku. Aku kehilangan kemampuanku untuk berbicara. Bahkan untuk mengumpat pada perempuan yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupku beberapa tahun lalu. “Ke-kenapa?” “Apa?” Widya seakan tak mengerti maksud pertanyaanku. “Kenapa kau melakukan itu?” tanyaku tanpa menyadari tetesan airmata meleleh dari sudut mataku. “Aku menyesal dulu pernah meninggalkannya dan memilih mantan suamiku yang kasar itu. Di saat terpurukku, aku tak sengaja bertemu dengan Aldo yang saat itu sedang mengantri obat untukmu. Aldo banyak berubah sekarang. Banyak sekali yang kusesali setelah meninggalkannya. Lalu, ia menanyakan soal luka-luka di wajahku dan lebam di sekujur tubuhku akibat tindakan brutal mantan suamiku. Aldo membelaku. Aku merasa mendapatkan perlindungan penuh darinya. Karena itu aku akhirnya berani menceraikan suamiku demi Aldo. Saat itu aku nggak tahu kalau kau sudah menikah dengannya.” “Apakah kau pernah bertanya pada Aldo apakah dia sudah menikah?” sindirku padanya. Bagaimana bisa dari sekian banyak orang terdekat yang tahu soal pernikahanku, masa iya Widya bahkan tidak mengetahui status pernikahan kami. “Aldo pria yang sangat baik, Sar. Dia selalu menjaga sikap padaku. Kami sering sekali bertemu tanpa sepengetahuanmu. Meski begitu, dia juga ingin menjaga perasaanmu yang sedang tak stabil di tengah kondisi kehamilanmu. Tapi di sisi lain, dia juga selalu setia mendengarkan keluh kesahku. Membuatku semakin nyaman dengannya.” “Hingga suatu waktu, saat aku dan Aldo sedang mengobrol di salah satu kafe. Kami nggak sengaja bertemu suamiku yang kala itu hubungan kami memang sedang tidak baik. Suamiku memukuliku di depan Aldo. Tentu saja Aldo membelaku habis-habisan. Bagaimana bisa aku nggak jatuh cinta padanya, Sar.” Kemudian Widya melanjutkan ceritanya lagi. “Kau gila!” tudingku sambil menatapnya penuh kebencian. Egois sekali dirinya yang hanya mementingkan dirinya sendiri, tanpa memahami betapa hancur perasaanku. “Kita sudah lama berteman, Sar. Semenjak kita kecil. Kita selalu bersama. Kurasa kau bisa membagi Aldo denganku, sama sepertiku yang harus rela membagi Aldo denganmu.” “Kau yang meninggalkan Aldo lebih dulu. Kau telah membuat hidupnya hancur.” “Ya, karena itu aku mau memperbaiki semua kesalahanku. Aku berjanji nggak akan membuatnya terluka. Lagi pula, harusnya kau bersyukur karena aku akan membantumu mengurus Aldo dan putramu. Sejak dulu aku selalu menginginkan anak laki-laki. Jadi aku nggak keberatan mengurus putramu.” “Aku sanggup mengurus putraku sendiri. Aku sama sekali nggak butuh bantuanmu.” Dengan tegas aku menolak bantuan darinya. Aku tidak butuh bantuan dari siapa pun untuk mengurus putraku sendiri. Aku mampu melakukannya. Takkan kubiarkan putraku mengalami kesedihan seperti yang kurasakan semenjak kehilangan sosok kedua orang tuaku yang pergi meninggalkan aku dan kakakku akibat kecelakaan. Widya memamerkan senyumnya lagi, yang entah mengapa membuatku muak melihatnya. Senyum yang menjijikkan bagiku. “Kurasa putramu akan malu melihat ibunya ternyata seburuk yang ia lihat.” “Apa maksudmu?” Jujur aku tersinggung mendengarnya. “Harusnya kau sadar diri, Sarah. Apa perlu aku memberikan cermin besar padamu agar kau tahu kalau wajahmu itu jelek, Sar. Meski namamu indah tapi rupamu seperti Mak Lampir Gunung Merapi. Menakutkan!” Widya kembali menyerangku secara verbal. Ia seakan tahu kelemahanku yang tidak pernah percaya diri akan penampilanku. Tubuhku bergetar menahan rasa takut yang mendadak menyergapku. Widya kembali berbisik tepat di telingaku, “Jadi, biarkan aku mengurus putramu. Kau hanya duduk manis melihat putramu hidup bahagia dalam kasih sayang yang kami berikan untuknya.” Seketika aku menegang mendengar ucapannya yang manis namun begitu menyayat hati. “Oh ya, satu lagi. Sepertinya kau harus tahu kalau Aldo menikah denganmu cuma karena kasihan padamu. Kau tahu betapa baik hati dirinya sampai rela menikahi perempuan buruk rupa sepertimu.” Hatiku yang sudah penuh luka, kembali berbalut luka mendengar ucapan Widya yang sungguh sangat menyakitkan. Mengapa? Ia harus menyerangku dengan sangat kejam. Aku hanya bisa menangis dalam diam, meratapi kehidupan yang seakan tidak berpihak padaku. “Oh iya ... aku lupa mengatakan kalau aku dan Aldo sudah menikmati bulan madu kami. Kuharap kau juga bisa menerima kehadiran anak kami nanti ... “ Widya berkata dengan entengnya, seolah itu bukan masalah besar baginya. Aku hanya terpaku menatap kepergiannya bersama senandung ceria miliknya yang perlahan hilang dari pendengaranku. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN