Part 7 - Mimpi Buruk

1153 Kata
Part 7 POV Sara Mimpi Buruk “Aku dan Aldo sudah menikah.” Deretan kalimat itu membuatku seakan tersengat listrik ribuan volt yang jika memang benar terjadi bisa mematikanku dalam sekejap. Nyatanya hanya aku yang terkejut di ruangan itu. Aldo, suamiku tampak terlihat linglung saat tatapanku tertuju ke arahnya. “Tenang saja, Sar. Aku akan membantumu merawat anak ini. Jadi kau harusnya bersyukur karena aku mau membantuku melewati momen mengurus anak. Iya ‘kan Do?” Aku kehilangan kata-kata, mendengar Widya mengatakan itu dengan mudahnya. Seolah tidak masalah baginya menjadi istri kedua Aldo yang sudah menikah denganku lebih dulu. “Bisa kau berikan putraku sekarang?” pintaku dengan nada dingin. “Tentu saja.” Widya berjalan mendekat ke arahku. Ia lalu menyerahkan bayiku dalam gendonganku. “Aku butuh bicara dengan suamiku. Bisa kau keluar dulu?” tanyaku pada Widya yang hanya bisa mengangkat bahunya tak acuh. Dasar wanita iblis. Aku tak mengira selama ini telah bersahabat dengan perempuan ular macam dirinya. Licik dan tak berperasaan. Setelah memastikan Widya keluar ruangan. Aku menatap dingin ke arah Aldo. “Al ... bisa kau jelaskan padaku, apa maksud semua ini?” tanyaku menuntut penjelasan. Tatapan mata Aldo berlarian ke sana ke mari, tak tentu arah. Ia seakan kehilangan kemampuan untuk berkata-kata, bahkan untuk menjawab pertanyaanku yang mudah. Ia mendadak menjadi orang paling i***t yang pernah ada di muka bumi. Meski begitu, aku tak bisa membencinya. “Kemarin, aku nggak sengaja bertemu dengannya. Ia baru saja kontrol ke dokter di lantai bawah.” “Terus?” Kenapa berbelit-beli sekali penjelasan yang Aldo berikan padaku. Aku tidak butuh cerita bagaimana ia bertemu dengan mantan tunangannya itu. Tapi aku butuh penjelasan mengapa Sarah bilang ia sudah menikah dengan suamiku, tanpa sepengetahuanku. “Kami belum menikah, Sar. Dia berbohong padamu,” katanya tak berani menatapku. Aku mencari kejujuran dari sorot matanya yang berlarian tak tentu arah. Lagi-lagi suamiku tak punya keberanian untuk balas menatapku. Mataku menyipit ke arahnya, mencari kejujuran di sana. Nihil ... aku tak menemukan yang kucari. “Sumpah, Sar. Aku belum menikah dengannya. Kau percaya padanya?” “Terus mengapa dia bisa mengatakan hal seperti itu padaku barusan?” “Itu ... itu ... “ “Jawab jujur, Al!” Tanpa sadar aku mulai membentaknya. Entah mengapa aku yang biasanya lembut mendadak mudah emosi saat ini. Aku kesal dan cemburu oleh kehadiran sosok Widya yang membuat kepercayaan diriku semakin rapuh. Terlebih betapa anggunnya ia terlihat saat itu. Dibandingkan diriku yang bau darah dan amis, serta aku belum sempat membersihkan diriku paska persalinan, membuatku semakin tidak percaya diri. “Dia memang berniat kembali padaku, Sar. Tapi aku menolaknya!” “Benarkah?” Entah mengapa sulit sekali rasanya mendengar penjelasan Aldo tentang Widya. Aku tahu betul perasaan suamiku terhadap perempuan yang pernah menjadi sahabat karibku. Walau sudah setahun berlalu, terkadang ia masih sering memikirkannya. Lima tahun bukanlah waktu yang singkat baginya melupakan hubungan bersama Widya. Setahun pernikahan denganku mungkin sedikit sekali yang bisa ia lupakan. Terlebih sekarang Widya telah hadir kembali dalam hidupnya, termasuk kehidupanku pula. “Apa kau berencana ingin kembali dengannya?” tanyaku penuh keragu-raguan. Takut jika Aldo mendadak berubah pikiran. “Aku ... “ Sejenak ia berkata sebelum akhirnya kembali melanjutkan, “Aku nggak akan meninggalkanmu, Sar. Mana mungkin aku meninggalkanmu di tengah kondisimu paska melahirkan,” lanjutnya penuh keyakinan. Membuatku merasa lega mendengarnya keputusannya. “Apa kau yakin?” Entah mengapa aku skeptis mendengarnya. Ketidak-percayaan diriku membuatku kacau sendiri. “Yakin, Sar. Lagi pula aku ‘kan sudah menikah denganmu dan memiliki anak denganmu. Kasihan dengannya jika kita harus berpisah.” Aku sungguh tak mengira Aldo akan memikirkan perasaan anakku dan masa depannya. Sejenak aku terdiam, tak mampu lagi untuk berbicara. Aldo seakan mengerti kegelisahan hatiku. Ia mendekat dan duduk di sebelahku sambil mengusap punggungku, berusaha menenangkan diriku. “Kau nggak usah cemas aku nggak akan meninggalkanmu, Sar.” Hening sesaat sebelum akhirnya aku mencurahkan segala isi hatiku padanya. “Tapi, aku khawatir. Aku tahu perasaanmu padanya dulu.” “Itu ‘kan dulu! Kenapa kau harus memusingkannya? Dia sudah menjadi masa laluku.” “Begitukah?” tanyaku tak yakin. Aldo mengangguk pasti. “Sudah nggak usah dipikirkan lagi. Sekarang kamu istirahat aja. Biar cepat pulih dan kita bisa segera pulang ke rumah. Ya?” “Iya,” jawabku menuruti saran suamiku dengan patuh. “Aku tunggu di depan rumah sakit aja ya? Mau ngerokok sebentar.” Aku mengangguk, mengiyakan. Kupaksakan diriku terlelap meski pikiranku carut marut memikirkan sosok Widya yang membuatku khawatir akan perasaan suamiku. Widya jauh melebihi diriku. Dia cantik, ceria, energik, dan karismatik. Dia juga berasal dari keluarga terpandang di daerahku. Apalah aku yang hanya seorang yatim piatu, sedang seorang kakak perempuan yang sama sekali tidak pernah peduli padaku atau mengurusku. Selama ini aku tinggal bersama Budeku yang memperlakukanku bak seorang b***k. Mengurus anak-anaknya yang masih belia. Membantunya mengurus rumah. Meski tinggal bersamanya, aku diperlakukan bak asisten rumah tangga yang bekerja hampir separuh hariku. Alasannya sebagai pengganti biaya sekolah dan makan yang selama ini Bude keluarkan untuk menghidupiku. Dari segi pendidikan pun aku kalah jauh. Meski menempuh pendidikan di sekolah yang sama. Tapi aku hanyalah tamatan SMA, sedang Aldo dan Widya mereka lulusan universitas ternama. Bagaimana bisa aku tidak berkecil hati dengan diriku jika harus bersaing dengan Widya, sang mantan terindah suamiku. *** Saat kubuka kembali kedua mataku, samar-samar kulihat bayangan Widya tengah duduk di kursi yang berada tak jauh dari ranjang tempatku merebahkan diri. Ia sedang menimang bayiku dalam pelukannya. Dengan lembut ia bersenandung, menina-bobokan putraku yang tidur. “Kau sudah bangun?” tanya Widya padaku. Sekilas tanpa sengaja aku melihat lebam di pelipis matanya. Serta sebuah luka menganga di sudut bibirnya. Tapi ia tak berusaha menyembunyikan semua itu karena ia makin terlihat cantik di balik kerapuhannya. “Ngapain kau di sini? Mengapa kau menggendong bayiku?” Aku bertanya tanpa menyembunyikan sedikit pun nada sinis dari pertanyaanku. Widya tersenyum lebar. Lagi-lagi memamerkan sepasang lesung pipinya yang menawan. “Jangan sinis begitu, Sar. Kita ‘kan sudah berteman lama. Kau harus membiasakan diri denganku lagi. Karena tujuan kita sama saat ini.” “Apa maksudmu?” tanyaku tak mengerti. “Bukankah sudah kukatakan padamu kalau aku dan Aldo sudah menikah?” “Aldo membantahnya,” jawabku bersikeras mempercayainya. Widya tersenyuk misterius. Ia menaruh bayiku yang sudah terlelap ke dalam ranjang mungilnya. “Sara ... Sara ... kupikir kau akan semakin dewasa dari tahun ke tahun. Nyatanya kau masih hidup dalam khayalan.” “Apa maksudmu?” Aku merasa tersinggung oleh ucapannya. “Bukankah aku sudah mengirimkan foto pernikahanku di grup alumni sekolah? Jadi kurasa itu sudah cukup bukti bahwa kami sudah menikah. Ya ... walau baru menikah siri, tapi nggak masalah buatku. Karena Aldo sudah berjanji padaku akan meninggalkanmu setelah kau melahirkan anakmu nanti.” Entah peringatan atau ancaman yang diutarakan Widya padaku. Pastinya, seketika aku membeku mendengar pernyataan yang Widya sampaikan. Aku bahkan kehilangan kemampuan verbalku untuk berbicara saat kusadari mimpi burukku selama ini akan menjadi kenyataan. Widya telah kembali. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN