Part 6
POV Sara
Kebahagiaan Semu
Oek ... oek ... begitu bahagianya aku saat jeri payahku melahirkan buah hatiku berakhir bahagia.
Aku berhasil melahirkan seorang putra yang luar biasa tampan meski wajahku terbilang tidak begitu menarik. Ya begitulah aku selalu menganggap diriku tidak cantik, kulitku coklat gelap yang terkadang membuatku rendah diri akan penampilanku.
Wajahku bulat dihiasi sepasang mata bulat lebar yang sedikit menonjol. Lebih tepatnya mataku belo. Hidungku pesek dibandingkan kedua kakakku yang kurasa memiliki tampilan wajah lebih baik dariku.
Meski begitu, aku bersyukur bertemu dengan Mas Aldo, suamiku. Dia tampan jika disandingkan denganku, kami laksana Beauty and The Beast. Tapi sayangnya Beauty yang dimaksud di sini adalah keindahan untuk rupa suamiku dan akulah makhluk buruk rupa itu.
“Kamu jangan pernah menganggap dirimu jelek. Kamu itu cantik, Sarah. Makanya aku memilihmu.” Kerap kali Mas Aldo selalu mengingatkan diriku agar lebih percaya diri dengan penampilanku.
Betapa tidak aku jatuh hati pada laki-laki yang telah kunikahi setahun lalu. Dengan penuh sukacita kuterima pinangan darinya setelah aku mengenalnya beberapa tahun lalu semenjak aku duduk di bangku SMA.
Awalnya aku yang telah lebih dulu tergila-gila padanya. Aku tahu perempuan jelek sepertiku tak layak bersanding dengannya. Tapi apa dikata jika jodoh berpihak padaku.
Aku masih ingat momen terakhir kali suamiku begitu terpuruk karena calon istrinya yang luar biasa cantik sekaligus sahabatku ternyata berselingkuh darinya.
Betapa sakit hatinya saat ia mengetahui pengkhianatan Widya. Ia sangat terluka. Hubungan yang telah terjalin cukup lama hancur seketika. Widya lebih memilih selingkuhannya dibandingkan Aldo.
Saat itulah akulah sosok yang selalu mendampingi dirinya. Si buruk rupa ini berhasil menyelamatkan Aldo dari jurang keputus-asaan.
Dengan sabar aku selalu mendampingi dirinya di momen terburuknya. Hingga tak kusangka ia akan memintaku menjadi istrinya.
Sungguh bahagianya aku saat itu. Tak mengira buah kesabaranku akan berbuah manis.
Pernikahanku berlangsung cukup sederhana karena uang yang Aldo siapkan untuk biaya pernikahan telah dibawa kabur semuanya oleh Widya, mantan pacar sekaligus sahabatku.
Aku tak peduli dengan pesta pernikahan. Selama Aldo yang akan menjadi pendampingku di pernikahan itu, nikah bawah tangan pun, aku rela.
Mungkin kalian menyebutku cinta buta. Tapi memang itulah kenyataan yang terjadi padaku saat ini.
Aldo tahu kalau selama ini, secara diam-diam aku menaruh hati padanya. Karena itulah ia meminangku menjadi istrinya. Aku bersumpah akan membuatnya jatuh cinta padaku.
“Selamat ya Bu, bayinya laki-laki. Sehat dan luar biasa tampan.” Setelah membersihkan bayiku dari kotoran dalam rahim, seorang perawat menunjukkan wajah bayiku dan menaruhnya dalam dekapanku sementara.
Tetesan airmata mengalir dari pelupuk mataku saat melihat putraku bergeliat di atas dadaku yang terbuka. Ia terlihat berusaha mencari-cari sesuatu.
Aku hanya tersenyum bangga melihat penampilan putraku. Bersyukur ia mewarisi gen tampan ayahnya, bukan gen diriku.
Setelah berjuang sekian lama, menahan sakitnya momen pembukaan lahiran. Mules yang tak tertahankan, akhirnya aku berhasil melewatinya. Aku merasa lega. Amat lega.
Entah apa yang terjadi padaku setelah momen bayiku merayap di atas dadaku. Aku seolah kehilangan kesadaranku untuk sesaat. Sebelum akhirnya suara ketuka pintu di kamar menyadarkanku dari tidurku yang sebentar itu.
“Sar.” Ternyata suamiku yang muncul, rambutnya basah seperti habis keramas. Ia tersenyum lembut padaku. “Kau sudah bangun?”
“Apa aku ketiduran?” tanyaku yang seolah kehilangan kesadaranku.
“Nggak pa-pa. Kau pasti capek. Beristirahatlah!” Aldo seakan mengerti kesulitanku setelah berpuluh jam berjuang mengeluarkan bayiku melalui proses kelahiran alami.
“Terimakasih, Mas,” kataku tersenyum sambil menutup kedua mataku lagi.
***
Entah sudah berapa jam berlalu saat terakhir kali aku sadarkan diri dan berbicara dengan suamiku. Kulirik sekilas ke arah jarum jam yang berdetak menuju pukul sepuluh pagi.
Kuedarkan pandanganku ke sekeliling. Hening. Tak kudengar suara apapun di sekitarku. Dengan sisa tenaga yang kumiliki, aku mencoba melirik ke dalam boks bayinya.
Aku terkejut saat melihat boks bayiku kosong. Ke mana bayiku? Aku bertanya-tanya sendiri tanpa tahu jawabannya.
Dituntut kekhawatiran, kupaksakan diriku bangun dari tidurku. Meski kondisiku belum stabil paska melahirkan.
Aku meringis menahan nyeri yang kurasakan di area intimku. Sepertinya beberapa jahitan masih terasa ngilu jika kugerakkan, terlebih saat aku mencoba bangkit dan berdiri untuk mencari bayiku.
Kupaksakan diriku melewati batasku. Kutegakkan tubuhku agar mampu berdiri dan mengambil langkah yang entah mengapa terasa begitu sulit.
Dari arah luar ruangan, samar-sama aku mendengar suara seseorang sedang bercengkerama dengan suamiku. Aku merasa lega setelah mendengar suara suamiku sedang berbicara sesuatu di luar sana.
Aku menghampiri pintu dengan langkah tertatih. Di tengah usahaku mencapai pintu, suamiku telah muncul di hadapanku.
“Ya ampun, Sar. Mau kemana?” Ia terkejut melihatku berdiri sambil meringis menahan jahitan yang terasa nyeri.
“Aku mencari anak kita, Mas,” jawabku lemah.
Aldo langsung berjalan menghampiriku. Ia membantuku kembali ke ranjang. “Kamu nggak udah khawatir, Sar. Anak kita baik-baik saja. Dia lagi dimandiin sama perawat.”
“Oh, begitu.” Aku bernapas lega mendengarnya. Kecemasanku lenyap seketika.
“Oh, iya nanti ada yang mau aku bicarakan, ya?”
“Tentang apa?” tanyaku penasaran.
“Nanti aja bicaranya. Sekarang mending kamu istirahat dulu.” Sungguh kurasa aku menjadi istri paling bahagia karena perhatian suamiku padaku. Aku tak mengira sikap Aldo begitu lembut padaku. Membuatku bersyukur memiliki dirinya sebagai imamku.
Aku pun menuruti perkataan Aldo. Kubaringkan diriku ke atas ranjang dan mulai melelapkan diri. Hingga tanpa sengaja aku mendengar suara perempuan itu lagi. Meski terdengar samar, tapi aku begitu yakin dengan suara familiar itu.
Kubuka mataku secara mendadak dan langsung menoleh. Betapa terkejutnya aku melihat sosok perempuan yang pernah menjadi masa lalu Aldo, sedang berdiri menggendong bayi dalam pelukannya.
“Widya?” pekikku tak percaya, seraya memastikan pandanganku kalau apa yang kulihat bukanlah halusinasiku semata.
“Halo, Sarah. Lama nggak ketemu,” suara Widya yang lembut menyapaku.
Jantungku berdegup kencang saat melihat kemunculannya yang tiba-tiba. “Apa yang kau lakukan di sini?”
Ia tersenyum ke arahku, memamerkan senyumnya yang menawan. Seolah ia mau menunjukkan padaku betapa cantik ya ia terlihat dengan lesung pipi yang muncul di kedua pipinya yang putih mulus.
Berbeda dengan wajahku yang kusam dan penuh jerawat, terlebih setelah kehamilanku yang membuat tubuhku yang buruk rupa ini berubah menjadi semakin buruk rupa.
Semenjak kehamilan, kulitku semakin kusam dan busik. Meski rajin membersihkan diri, tetap saja kulitku terlihat sangat buluk. Seakan aku belum mandi berminggu-minggu.
Belum lagi daki hitam yang menempel di leherku. Seakan-akan kotoran itu enggan pergi dari tubuhku. Aroma tubuhku pun berubah sedikit tidak sedap karena intensitas keringat berlebih semenjak awal kehamilan.
Widya terlihat luar biasa cantik dengan gaun putih gading yang ia kenakan saat itu.
“Menengokmu. Tentu saja. Kenapa? Kok kau terlihat nggak menyukai kedatanganku?” tudingnya defensif.
Tentu saja aku tidak menyukai kehadirannya yang membuatku semakin tak percaya diri. “Bu-bukan begitu,” sergahku menutupi kekhawatiranku.
“Oh iya, Sar. Ada hal yang ingin aku utarakan padamu.”
“Apa itu?”
“Aku dan Aldo sudah menikah.”
“A-apa!!!” Aku sangat syok mendengarnya, seolah ada kejutan listrik mendadak menyetrumku kuat. Aku sampai kehilangan kata-kata saat mendengar pengakuannya.
Kupikir kemarin adalah mimpi buruk. Nyatanya foto dalam galeri yang kulihat kala itu adalah kenyataan yang menamparku keras.
***