Part 5 - Pesan Bergambar

1118 Kata
Part 5 POV Sara Pesan Bergambar Tring, suara dering pesan masuk di ponsel suamiku berbunyi nyaring. Aku yang saat itu hendak terlelap dalam tidur, terjaga oleh suara notifikasi tersebut. Kulirik ke arah sebelah, Rivaldo Susetyo yang menikahiku beberapa bulan lalu tidak berada di posisinya saat ini. Entahlah kemana laki-laki itu pergi sesaat. Lalu ponsel miliknya kembali berdering notifikasi layar pun muncul, menampilkan sebuah pesan bergambar yang membuatku gatal ingin membukanya. Siapa pun pengirimnya menjadi rahasia bagiku, tapi mengirim sebuah pesan bergambar di tengah malam buta sangat tidak sopan menurutku. Tak berselang lama dari pesan-pesan yang masuk ke nomor ponsel suamiku, muncullan getar panggilan masuk ke ponselnya. Sekilas aku melihat nama yang tertera dalam layar yang membuat jantungku seakan berhenti berdetak. Widya istriku, masya Allah, hatiku terpilin membacanya. Pandanganku seakan lenyap, napasku terasa berat, aku pun merebahkan diriku kembali ke atas ranjang. Bersembunyi di balik selimutku. Berharap bahwa ini semua hanyalah mimpi buruk untuk istri buruk rupa sepertiku. *** Butuh waktu lama untukku benar-benar terlelap. Kucoba menenangkan gelisahku dengan berzikir mengingat nama Sang Pencipta, sayangnya hatiku masih gundah jika mengingat kejadian semalam yang menghantuiku bak mimpi buruk. Keesokan paginya, aku bangun seperti rutinitasku sehari-hari. Sebelum azan subuh aku sudah sibuk dengan kegiatanku memasak, merapikan pakaian yang hendak suamiku kenakan, serta membersihkan rumah. Meski wajahku tidak cantik, tapi aku mahir melakukan semua pekerjaan rumah. Kupastikan rumah akan selalu bersih dan wangi. Masakan buataku juga dijamin enak dan lezat. Beberapa orang yang pernah mencicipi masakanku pasti memuji cita rasanya. Aku sangat percaya diri dengan kemampuanku memasak dan menjadi ibu rumah tangga. Kulirik kembali ke arah suamiku yang masih terlelap di atas ranjang. Rivaldo adalah sosok pria yang sempurna yang menjadi cinta pertamaku. Aku mencintai suamiku dengan seluruh jiwa dan ragaku. Betapa aku tak bisa kehilangan dirinya. Sambil tersenyum aku membangunkan Aldo dengan lembut, “Mas ... bangun, sudah pagi. Katanya mau sholat subuh di masjid?” “Apa sayangku?” Aldo berkata ngelindur. Jarang sekali ia memanggilku dengan sebutan sayang. Deg, tumben sekali suamiku yang dingin ini bersikap hangat dan lembut padaku. Aku bergetar tatkala mendengarnya memanggilku ‘sayang’. Istri mana sih yang tidak tersipu mendengar suaminya memanggilnya dengan panggilan sayang untuknya. “Mas, apa-apaan sih!” Aku tahu wajahku memerah saat mendengar suamiku yang jarang sekali menyentuhku ini mulai bersikap manja padaku. Mungkinkah itu artinya ia sudah membuka hatinya untukku? Aku merasa seakan diriku terbang tinggi menembus batas langit ketujuh. Betapa bahagianya aku sebelum aku menyadari bahwa panggilan ‘sayang’ itu ternyata bukan untukku. “Widya sayang, sini peluk aku ... “ Aldo masih terlelap dalam mimpinya. Saat itu juga hatiku remuk redam mendengar suamiku menyebut nama mantan terindahnya, Widya. Jadi dia memimpikan Widya bukan aku. Entah mengapa aku merasa kecewa mendengarnya. Aku pun mematung sesaat sebelum akhirnya kesadaranku pulih. Aku memutuskan untuk mengabaikan mimpi suamiku. Menguburnya jauh ke dasar hatiku sambil berpura-pura aku tak mendengarnya. Bruk ... terdengar suara gaduh dari dalam kamar. “Sara, jam berapa sekarang, hah?” Aldo bertanya sambil memelototkan matanya ke arahku, terlihat kesal. “Jam setengah tujuh,” jawabku santai sambil terus mengaduk adonan bakwan jagung di dapur. “Bego! Kok kamu nggak bangunin aku sih? ‘Kan semalam aku udah bilang kalau hari ini aku ada meeting dengan klien jam delapan.” Suara bentakkan Aldo terdengar sangat keras. Kutarik napasku dalam, berusaha meredam emosi yang berkecamuk dalam d**a. “Tadi aku sudah coba bangunin kamu, tapi sepertinya kau lagi mimpi indah.” “Apa maksudmu?” Aldo melongok sesaat, seakan dia tidak merasa bersalah sedikit pun telah memimpikan perempuan lain selain istrinya sendiri. Memang kuakui penampilanku sangat jauh dari perempuan idaman berkulit putih halus, bertubuh tinggi dan langsing. Kulit wajahku kusam dan penuh jerawat. Hidungku bulat yang terkadang mirip seperti hidung badut, kulitku sawo matang gelap. Belum lagi kacamata super tebal yang selalu aku kenakan akibat hobiku yang gemar membaca n****+ sebelum tidur untuk memenuhi fantasiku tentang hubungan sempurna dengan lawan jenis. “Pokoknya kalau aku gagal dalam presentasiku kali ini. Kaulah orang yang harus kusalahkan!” tunjuk Aldo geram sambil bergegas pergi ke kamar mandi. Tak lupa kudengar bantingan pintu kamar mandi yang begitu keras menandakan kalau suamiku benar-benar kesal pagi itu. Seperti biasa jika Aldo dalam mood nya yang buruk, aku hanya bisa beristigfar dalam hati. Berharap aku bisa bersabar demi buah hati yang kini tumbuh dalam rahimku. “Sabar ya, Dek. Ayah emang suka begitu, tapi Ibu tahu, ayah tuh orang baik.” Aku berbicara pada bayi dalam kandunganku. Berharap ia akan mengerti perasaanku. Sebuah tendangan kecil darinya membuatku tersenyum lebar. Seolah tindakan itu mampu menyerap semua keresahan yang kurasakan sejak semalam. *** “Sara ... di mana kemeja putihku?” Suara teriakan Aldo terdengar dari dalam kamar. Aku yang saat itu sedang sibuk menggoreng bakwan sampai tersentak mendengar teriakannya yang amat keras. “Lho, bukankah aku sudah menaruhnya di meja rias seperti biasa?” Sebelum Aldo semakin murka aku buru-buru mematikan kompor dan berlari menghampirinya di kamar. “Ini maksud kamu?” Kulihat Aldo sudah memegang kemeja yang telah kusiapkan. Dia menunjukkannya padaku, aku mengangguk. “Bego! Dasar istri nggak berguna! Kau buta warna apa? Ini warnanya biru! Aku butuh kemeja putih. Apa perlu aku ulangi lagi, hah?” Ia melemparkan kemeja itu ke wajahku. Aku merasa sedikit kibasan kain kemeja itu menyapu wajahku. “Cepat siapin kemeja putihku!” teriaknya lagi dengan nada membentak. Ada apa dengan suamiku hari ini? Mengapa ia begitu antusias ingin memakai kemeja putih yang sangat jarang sekali ia kenakan saat bekerja. “Jangan bengong aja! Cepetan!!!” teriaknya lagi dan lagi. Seakan ia punya banyak energi untuk berteriak padaku dan membentakku. Aku segera mencari kemeja yang dimaksud. Setahuku suamiku hanya memiliki satu kemeja putih. Itu pun kemeja yang ia gunakan saat akad pernikahan denganku setahun lalu. Kemeja itu hanya ia gunakan sekali. Tak pernah aku melihatnya memakainya lagi. “Kenapa diam aja?” Aldo melihatku menatap kemeja putih di tanganku. Ia merampasnya segera lalu mengenakannya. “Nggak usah siapin sarapan. Aku sudah telat!” ujarnya sambil berlalu pergi tanpa pamit kepadaku. Aku berlari mengejarnya, tapi sayangnya ia sudah terlanjur pergi dengan motor matik kesayangannya. Hatiku terlanjur kecewa. *** Tring, suara pesan bergambar masuk ke dalam ponselku. Aku membuka pesan yang dikirimkan dari nomor asing tersebut. Alangkah terkejutnya aku saat kulihat pesan bergambar yang menampilkan foto pernikahan suamiku dengan Widya. Mantan terindahnya sekaligus mantan sahabatku. Ada apa ini? Aku merasa seolah-olah bumi berguncang hebat. Kulepaskan genggaman ponselku yang sedetik kemudian meluncur jatuh ke lantai. Layar ponsel yang retak, pandangan yang mulai berkunang-kunang. Aku seakan tak sanggup untuk berdiri lama. Seperti kehilangan bobot tubuhku, aku melayang jatuh. Kurasakan di tengah kesadaranku yang mulai menipis, tubuhku tergeletak lemah di atas lantai sebelum akhirnya aku benar-benar kehilangan kesadaranku secara utuh. Ya Allah, Tolong aku ... ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN