Nyonya Sesungguhnya

1162 Kata
“Mama ....” Jerit Laurent yang terkejut dan tak siap menjadi saksi mata atas penganiayaan seorang wanita tua asing kepada ibunya. Respon yang cukup wajar bagi anak kecil yang kaget melihat orang yang disayanginya ditampar tentunya berusaha melindungi dengan caranya. Laurent menatap sinis pada wanita tak dikenal itu, tanpa aba-aba apapun ia berlari memukul bertubi-tubi dengan kedua tangan kecilnya, tepat mengenai perut Amita. “Jahat! Orang jahat!” Amita meringis, walau tidak sepenuhnya sakit namun tinju bertubi itu terasa tak nyaman. Ia mendorong Laurent demi menyingkirkan penghalang kecil itu. “Kamu ya! Kecil kecil kurang ajar sama orang tua. Nggak diajarin sopan santun ya!? Pantes, buah jatuh nggak jauh dari pohonnya. Mamanya juga punya mulut tidak disekolahkan.” Gerutu Amita menghardik sembari mengacungkan jemari telunjuk kepada Laurent. “Laurent, ke sini nak!” Vania begitu cekatan menarik Laurent ke dalam perlindungannya. Was-was jika wanita tua itu menyerang putrinya. Jika dia saja berani menampar Vania, bukan tidak mungkin pula Laurent bakal ikut menjadi sasarannya. “Jangan menghina anak saya! Anda tidak berhak berkata buruk terhadap dia.” Hardik Vania yang tidak takut dengan penilaian wanita tua itu. Sekali mengusik buah hatinya, ia tak segan pasang badan melindunginya. Di saat perseteruan dua wanita itu masih sengit, Ima muncul seraya menggendong Jordan yang menjerit tangis. “Nyonya, tuan kecil nggak bisa diam. Bagaimana ini?” Vania tanpa menghiraukan keterkejutan wanita yang mengaku sebagai ibu Daniel itu bergegas berlari menghampiri Ima. Ia mengambil alih Jordan dari gendongan pelayan itu. “Cup cup sayang, anak mama jangan nangis ya. Mama di sini.” Ujar Vania dengan lembut menimang putranya. Pemandangan yang terlihat sangat mencolok mata bagi Amita, seketika speechless karena tiba-tiba mendapatkan cucu. Bukan hanya satu, melainkan dua. “Luar biasa! Jadi ini anak hasil pernikahan tanpa restu? Dua orang anak dari wanita yang tak becus jadi ibu? Aku tidak menyangka, putraku sungguh bikin malu.” Cibir Amita yang tampak berekspresi jijik saat melirik tampang Vania. Tak bisa ia paksakan, kesan pertamanya begitu melihat wanita muda itu sungguh tidak masuk dalam kriterianya. “Eh, ibu ini siapa? Nggak sopan ngomong gitu sama nyonya saya!” Ima yang belum tahu apa apa pun merasa tersinggung mendengar kata kata tak mengenakkan yang ditudingkan kepada Vania. Jiwa barbarnya bersiap melindungi, bila perlu memberi pelajaran pada wanita asing yang datang mencari masalah itu. Amita menatap tajam pada Ima, dari atas sampai ke bawah kemudian membentaknya. “Hei, pembantu! Jangan ikut campur! Aku tidak butuh pembantu modelan seperti ini! Mana bi Ijah? Dia pasti tahu siapa yang pantas dijadikan nyonya di rumah ini.” Ima mengerutkan dahinya, tak menyangka kalau wanita tua yang dihadapinya itu begitu rumit. “Bi Ijah? Dia mah sudah lama berhenti. Angkatan lama itu, lha anda siapa?” Tanya Ima, jiwa kepo yang tidak bisa hilang dari dirinya akan terus menggali informasi sampai ia tahu kenyataanya. Wanita tua itu meliriknya tajam, tanda tak senang dengan pertanyaan yang terlalu ingin tahu. “Panggil Daniel ke sini! Kalian akan menyesal telah memperlakukanku seperti ini.” Gertak Amita, ia hendak nyelonong masuk ke dalam rumah namun Ima begitu lincah menghadangnya. Sementara Vania cukup sibuk menjaga kedua anaknya agar tidak terjangkau oleh Amita. “Eh, anda tidak bisa sembarangan masuk! Tuan Daniel tidak ada di rumah. Saya tidak bisa ijinkan anda seenaknya sebelum tuan Daniel pulang.” Tegas Ima, merangkap sebagai satpam ketika saat ini tenaganya diperlukan. Ia berhasil mencegat langkah Amita hingga terhenti di area teras. Sepasang mata wanita tua itu melotot, ekspresi wajah yang seharusnya bisa menundukkan lawannya dengan sekali tatap, tetapi Ima justru tak gentar. Terpaksa Amita mengerahkan tenaganya, mendorong kuat tubuh Ima hingga lengser dari pertahanannya. “Minggir! Tidak ada yang bisa menghalangi aku masuk ke dalam rumahku sendiri!” Gertak Amita seraya melenggang masuk dan menarik kopernya hingga rodanya berdecit. Vania menghampiri Ima, tak bisa membantunya berdiri karena tangan yang penuh. “Ima, kamu nggak apa apa? Jangan ladeni dia dulu. Kita belum tahu kebenarannya sebelum tuan pulang. Bantu aku jaga Laurent, kita langsung ke kamarku saja. Aku harus menghubungi mas Daniel.” “Baik Nyonya.” Jawab Ima yang patuh setelah ia berhasil bangun sendiri. Ia menggandeng Laurent dan secara bersamaan masuk ke dalam rumah. ** Amita sibuk mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu. Tempat yang familiar baginya kini terasa asing. Begitu ia sadar beberapa orang mulai masuk ke dalam, jiwa nyinyirnya tidak bisa dikendalikan lagi untuk mengoceh. “Ditinggalin sama orang kampungan kok rumah ini jadi hilang kesan mewahnya ya? Ke mana semua perabot mahal yang jadi koleksi di lemari? Bahkan lemarinya saja ikut hilang sekarang. Kamu jual semua barang barang berhargaku, hah!?” “Bukan nyonya yang jual, tuan Daniel sendiri yang jual semuanya.” Ima malah yang lebih panas hati dan ngegas menjawab tudingan jahat kepada Vania. Ia rela menjadi juru bicara walau tidak ditunjuk oleh Vania. “Diam kamu! Aku tidak ngomong sama kamu! Emangnya kamu nggak punya mulut buat jawab? Daritadi pembantu nggak tahu diri ini yang sibuk cari muka.” Gertak Amita, walau hatinya kaget mendengar pengakuan pembantu itu. Tak menyangka dan tak bisa percaya kalau Daniel lah yang menjual barang barang koleksinya. Entah karena sudah tidak mau mengingat tentang dirinya, ataukan memang karena terdesak kondisi. Vania berupaya kuat menghadapi ujian tak terduga ini. Rumah yang baru beberapa hari terasa hangat dan menyenangkan, mendadak berubah suram dan membuatnya stress mendengar suara keras wanita itu. Terlebih Jordan acapkali rewel saat mendengar suara yang nyaring. Wanita tua itu sungguh tidak tahu diri, padahal seusianya begini harusnya paham bagaimana repotnya menghadapi bayi yang begitu sensitif terhadap suara gaduh. “Ya. Yang dikatakan Ima memang benar. Mas Daniel sendiri yang menjual semua barang berharga di rumah ini. Apapun yang bisa dijadikan uang, karena dia sangat perlu untuk bertahan.” Jawab Vania, setengah hati lantaran malas meladeni wanita tua itu bicara. Semua yang disampaikan, pasti disangkalnya dan merasa dirinya sudah yang paling benar. Raut wajah Amita semakin tak sedap dipandang, hatinya bergejolak mendengar Daniel yang tampaknya mengalami himpitan ekonomi. “Padahal harta keluarga ini cukup banyak, bahkan bisa dinikmati oleh beberapa keturunan. Bagaimana bisa habis habisan sampai harus menjual perabotan untuk bertahan hidup? Memalukan! Pasti kamu ya, pembawa sial dalam keluarga ini. Putraku menikah denganmu lalu ketiban sial hingga hidupnya memprihatinkan begini. Dasar kamu, tidak becus! Aku tidak sudi mengakuimu sebagai menantuku!” Bukan main perih hati Vania mendengar hinaan demi hinaan, bahkan kini penolakan keras yang dilontarkan kepadanya. Ia menggertakkan gigi, andai bukan di hadapan anak-anaknya, andai ia hanya berhadapan berduaan dengan wanita tua itu, Vania tidak menjamin bahwa dirinya bisa tinggal diam begitu saja mendengar hinaan yang melukai harga dirinya itu. “Siapapun anda, aku tegaskan bahwa aku tidak butuh restu darimu. Kehidupanku dengan mas Daniel sudah berjalan, jauh sebelum anda datang! Anda tidak berhak menghakimiku! Kita lihat saja nanti, apakah mas Daniel sungguh mengenali anda seperti yang anda katakan?” Amita mengangkat satu alisnya, senyum seringai pun mengembang pertanda ia tidak takut dengan hardikan menantunya. “Oke! Kita buktikan setelah Daniel pulang. Mana dia? Panggil dia pulang sekarang juga!” **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN