Suara tangis Jordan memenuhi ruangan kamar utama hingga bergema. Separuh barang mewah yang menghiasi kamar ini telah habis dijual oleh Daniel untuk memenuhi kebutuhan hidup semasa bangkit dari keterpurukan. Vania tampak sibuk mengupayakan bayinya agar kembali tenang, ia menimang si kecil dalam pangkuannya. Senandung kecil terdengar dari Vania, menina bobokan buah hatinya lagi.
“Ada apa sama Jordan? Tumben nangisnya kencang, Va?” Daniel baru saja beres mandi, dengan handuk yang melilit pada pinggang, ia melenggang keluar kamar mandi dan mengurus keperluannya sendiri. Vania mengekori gerak geriknya dengan tatapan tak tenang, belum bisa menyimpulkan apa yang terjadi pada anaknya sehingga menangis seheboh ini.
“Entahlah mas, aku merasa nggak ada yang aneh dengannya. Suhu badan juga normal, mungkin lagi rewel saja. Mas nggak perlu cemas, berangkat kerja saja dengan tenang. Urusan rumah dan anak-anak biar aku saja yang atur.” Ujar Vania meyakinkan agar suaminya fokus pada pekerjaannya saja.
Daniel sedang memasang dasi, tinggal mengenakan sabuk pinggang lagi maka penampilan formalnya dengan setelan kemeja sudah terlihat rapi. Ia menoleh ke arah Vania, setelah dasinya terpasang sempurna, barulah Daniel melangkah mendekat pada istrinya. “Yakin bisa urus semuanya sendiri?”
Vania mengangguk mantap. “Aku kan bukan mama kemarin sore, anakku sudah dua mas.” Jawab Vania seraya tersenyum bangga. Jam terbangnya sebagai ibu yang mengurus anak membuat Vania merasa cukup berpengalaman.
Senyum bangga Daniel pun mengembang, jemari telunjuknya menowel ujung hidung bangir Vania. “Istri pintar, pantasan bisa jadi mama yang baik juga. Ya sudah kalau begitu aku bisa lebih tenang sekarang. Tapi kalau ada apa-apa dan butuh bantuanku, jangan segan hubungi aku ya.” Pinta Daniel kemudian mengecup kening Vania dengan lembut.
“Ng... Sebisa mungkin akan ku handel sendiri agar kamu bisa fokus kerja dan kembali sukses seperti dulu.” Jawab Vania.
Tak lama kemudian, Daniel pun berangkat ke kantornya. Tinggallah Vania yang akhirnya berhasil menenangkan Jordan hingga kembali tertidur pulas. Ia meninggalkan bayi itu di dalam box bayi, langkahnya dengan cepat menuruni lantai bawah, merasa perlu mencari putri sulungnya. Yang terlihat jelas adalah Ima yang sedang membersihkan bak cuci piring. “Ima, ke mana Laurent? Kok nggak ada di kamarnya?”
Ima yang merasa namanya dipanggil langsung sigap menoleh ke arah Vania. “Eh nyonya... Non Laurent lagi main di taman depan, katanya bosan mainan di dalam kamar.” Jawab Ima.
Vania manggut-manggut, ia pun menampilkan senyum terbaiknya. “Makasih ya Ima, ya sudah dilanjut saja kerjaannya.” Vania memegang pelan pundak Ima sebelum berbalik badan meninggalkannya. Ia merasa tak tenang sebelum memastikan Laurent main dengan aman, terutama berada di luar rumah sendirian. Ia mengedarkan pandangan ke arah taman yang masih terurus dengan baik oleh Ima. Harus Vania akui, ia angkat topi pada kesetiaan Ima terhadap keluarga kecilnya. Ima bisa saja berhenti seperti asisten rumah tangga yang lainnya, ia yakin Daniel pun tidak akan menahan andai memang keputusan itu yang terbaik untuk masa depan Ima. Siapapun berhak mendapatkan penghidupan yang lebih layak ketimbang harus ikut susah dengan keadaan ekonomi Daniel yang belum stabil. Tapi ternyata pelayan muda itu cukup berbesar hati mengambil keputusan untuk bertahan di sini karena sudah merasa nyaman dan menganggap keluarga Daniel sebagai bagian dari keluarganya pula.
“Laurent!” Pekik Vania saat melihat anak perempuannya berjongkok dan main tanah di taman. Gadis kecil yang dipanggil itu pun spontan menoleh, senyumnya mengembang dan dia bergegas berdiri, merentangkan tangan hendak memeluk ibunya.
“Mama....” Balas Laurent tak kalah heboh, langkah kaki kecilnya bergerak cepat menghampiri ibunya. Tak perlu waktu lama, Vania menangkap gadis kecil itu dalam pelukannya. Ia mengelus puncak kepala Laurent penuh sayang.
“Kamu kenapa main di luar sih nak? Mama jadi cemas kalau nggak bisa pantau kamu. Masuk yuk ke dalam, ikut mama jagain adik.” Ajak Vania lembut.
Laurent mengangguk, dengan polosnya ia berkata, “Laurent bosan di dalam rumah, kalau berisik nanti adik bayi nangis.”
Vania tertegun sejenak, baru menyadari bahwa semenjak ada Jordan, ia menjadi kurang perhatian kepada Laurent. Ada rasa bersalah menyelinap dalam perasaannya, ia pun menjongkok agar tingginya bisa seimbang dengan gadis kecil itu. Vania membelai lembut rambut panjang Laurent yang belum diikat. “Laurent sayang, maafin mama ya kalau belakangan ini mama kurang ada waktu buat main sama kamu. Masuk ke dalam yuk, mama kuncirin rambut kamu. Mau diikat model apa?” Tanya Vania lembut.
Laurent tersenyum sumingrah, ia mengangguk dengan cepat pertanda antusias. “Dikepang kayak Elza ma.” Jawab Laurent polos.
“Ya sudah kita ke dalam rumah dulu, mama ikatin sesuai yang Laurent mau.” Seru Vania penuh antusias juga. Ia menggandeng tangan mungil Laurent, menuntunnya menuju pintu utama.
Sebuah taksi melesat masuk ke dalam halaman rumah Daniel, tepat pada saat Vania dan Laurent menginjakkan kaki di teras. Suara mesin mobil yang mencolok itu memancing Vania dan Laurent menoleh ke belakang. Vania mengerutkan dahinya, mengamati lebih lanjut siapa yang datang berkunjung ke rumahnya. Mimik mukanya makin mengerut saat melihat seorang wanita cantik paruh baya, berbadan masih sangat bagus untuk sekelas usianya. Rasa penasaran Vania semakin besar saat ia melihat ekspresi wanita itu yang tampak dingin.
Supir taksi itu keluar, membuka bagasi mobil dan menurunkan koper dari sana. Ia menyerahkan kepada wanita itu lalu berpamitan pergi. Semua gerak gerik itu diamati oleh Vania dan Laurent, ada beragam pertanyaan yang memenuhi benak Vania. Siapa wanita itu? Mengapa ia datang ke rumah ini menenteng koper besar? Belum ada yang memecah keheningan hingga bunyi roda koper yang berdecit karena gesekan lantai. Barulah Vania tergugah untuk buka suara bertanya pada wanita yang sudah menginjakkan kaki pada tangga menuju teras.
“Maaf, ibu cari siapa ya?” Tanya Vania berusaha mencegah langkah wanita itu agar tidak semakin mendekati dirinya. Dan benar saja, wanita itu berhenti, ia menatap sinis sebagai balasan pertanyaan Vania. Tangannya membebaskan koper yang sedari tadi ia geret. Aura sinis yang begitu kentara itu membuat Vania berfirasat buruk.
Wanita itu tersenyum seringai, memangku kedua tangannya dan menunjukkan ketidak senangan yang sangat jelas. “Kamu siapa?” Ia justru bertanya balik, merasa pertanyaan yang ditujukan padanya tidak penting untuk dijawab.
Vania tercengang, statusnya sebagai nyonya rumah ini justru dipertanyakan oleh orang asing yang tiba-tiba muncul dengan sifat menantang. “Saya siapa? Saya penghuni rumah ini, ibu ada keperluan apa dan ingin mencari siapa?” Sekuat hati Vania menahan diri dan berlaku sopan, jika bukan karena berhadapan dengan orang yang lebih tua, mungkin rasa hormat dan tata krama tidak akan ia jadikan pertimbangan dalam bersikap.
“Oh... Sejak kapan penghuni di rumah ini ganti? Bukankah ini rumah Daniel? Ke mana dia? Siapa kamu? Pembantunya?” Cibir wanita paruh baya itu menunjukkan sikap yang sangat menantang. Cara ia memandangi wanita muda yang berdiri menggandeng anak kecil itu seakan merendahkannya.
Vania mengeraskan rahang, merasa tercabik saat penampilan dirinya dianggap sebagai seorang pembantu. ‘Apa aku terlalu sederhana? Apa tampangku lebih pantas menjadi pembantu mas Daniel darpada menjadi istrinya?’ Geram Vania dalam hati. Hanya sesaat saja ia terdiam, kemudian kembali memupuk semangat untuk menegakkan kepalanya menatap tegas ke arah wanita tua yang tampaknya ingin mencari masalah.
“Saya nyonya di rumah ini. Istri dan ibu dari anak-anak mas Daniel. Anda siapa? Keperluan apa mendatangi rumah kami?” Tegas Vania lewat tutur kata dan sikap yang ia tunjukkan pada wanita yang belum juga menjawab pertanyaan yang ia layangkan dua kali itu.
Wanita itu tercengang, harus ia akui bahwa apa yang baru saja ia dengar itu sebuah kejutan besar. Sepasang netranya memandangi lekat pada wanita muda itu, dari atas kepala hingga ujung kaki. Ia berdecak, penilaian fisik yang tidak lulus kualifikasi wanita idamannya. “Hanya berstatus seorang istri dan ibu saja sudah membuatmu besar kepala seperti ini? Kamu terlalu sesumbar jadi orang. Dari tadi kamu bertanya siapa aku kan? Baiklah supaya kamu tahu batasan dirimu seberapa, akan aku jawab biar kamu puas. Perlu kamu tahu, aku adalah ibu yang melahirkan Daniel. Dia putraku satu-satunya!” Tegas wanita itu, sorot mata sinis dan senyum seringainya semakin menjadi-jadi, terlebih saat melihat ekspresi kaget lawan bicaranya yang begitu kentara.
Vania terhentak, kaget bukan main begitu tahu bahwa wanita paruh baya itu datang tiba-tiba dan mengaku sebagai ibu kandung Daniel, yang tak lain juga adalah ibu mertuanya. “I... bu mas Daniel....” Saking kagetnya Vania sampai mengeja kata-kata yang dilontarkannya. Ia belum bisa mengalihkan tatapan dari wanita tua yang sepertinya sangat puas telah membuatnya kaget.
“Ya! Aku ibunya Daniel. Secara status, aku lebih berhak atas anakku dan rumah ini daripada kamu. Lagipula sejak kapan kalian menikah? Rasanya Daniel tidak pernah meminta restuku untuk menikahi wanita kampungan seperti kamu. Merawat diri saja tidak becus, gimana bisa merawat anakku dengan baik?” Sindir wanita itu begitu menghentakkan perasaan Vania.
Vania menundukkan kepalanya sejenak, melihati dirinya yang memang cukup lusuh dengan balutan daster. Alas kakinya hanya sebuah sandal jepit murahan, belum lagi wajah polosnya yang sudah beberapa hari belum sempat ia perhatikan. Vania lupa kapan terakhir ia mengenakan bedak di wajah polosnya. Dan lagi rambut yang hanya dikuncir khas mama muda yang kerepotan dengan bayinya. Lengkap sudah penderitaannya yang dijadikan sasaran penghinaan fisik. Vania meringis, ia pun tak ingin terlihat kucel andai kehidupan suaminya sebaik masa lalu. Ia tak punya pengasuh lagi sehingga harus mengurus bayinya serta anak pertamanya seorang diri. Semua tanggung jawab terhadap anak saja sudah sangat menyita waktunya, dua puluh empat jam terasa kurang, Vania tidak punya waktu lagi untuk mengurus dirinya sendiri.
Pikiran buruk yang menyiksa batin Vania itu terjeda saat menyadari wanita yang belum ia ketahui namanya itu kembali melangkah naik menuju teras. Vania merentangkan kedua tangannya, mencegat langkah kaki yang hendak menapaki rumahnya secara ilegal. “Tunggu! Terima kasih atas penghinaan anda barusan. Tapi bermodal kata-kata saja tidak cukup memberiku bukti bahwa apa yang anda katakan itu kenyataan. Setahu saya, mas Daniel pernah bilang bahwa kedua orangtuanya sudah meninggal. Kejadian itu sudah sangat lama, itulah sebabnya mas Daniel menikahi saya hanya dengan menghadirkan saksi yang diwakili pamannya. Jika memang anda adalah ibunya, ke mana anda selama ini? Kenapa baru muncul setelah pernikahan kami berlangsung enam tahun? Kalau memang anda masih hidup, kenapa anda begitu betah bersembunyi dan keluar setelah kehidupan mas Daniel sudah jauh berbeda?” Cecar Vania tanpa merasa gentar, sorot matanya menunjukkan perlawanan. Ia tidak akan mudah mempercayai siapapun hanya berdasarkan omongan semata. Lidah tak bertulang, tidak ada yang bisa menjamin apa yang dilontarkan adalah kebenaran atau mungkin sebuah kebohongan besar.
Sesaat Amita – nama wanita yang mengaku sebagai ibu Daniel itu tampak terpukul, ia tak bisa berkata-kata menjawab pertanyaan bertubi itu. Namun bukan berarti ia kalah telak, amarahnya sudah membuncah, telapak tangannya bergetar, merasa perlu melakukan tindakan nyata untuk memberi pelajaran pada wanita muda yang mengaku sebagai menantunya namun sangat tidak tahu diri itu.
Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan Vania. Begitu pedas dan panasnya menjalar hingga ke ulu hati Vania. Bukan sekedar perih yang terasa, penghinaan ini rasanya tidak bisa ditolerir lagi. Vania mendongakkan lagi kepalanya, menatap tajam pada wanita yang tetap bersikap menantangnya.
***