Vania akhirnya bisa menghela nafas dan menghilangkan sesak setelah berhasil kabur dari hadapan Amita. Ia membawa kedua anaknya masuk ke dalam kamar. Hal paling mendesak yang ingin Vania lakukan adalah menghubungi Daniel. Kesabarannya nyaris habis gara gara menghadapi tingkah wanita yang entah hanya mengaku ngaku saja atau sungguhan. Memikirkan kembali tentang dia saja sudah menyesakkan hati. Untung saja Daniel begitu cepat terhubung dengannya.
“Halo Va, tumben telpon siang begini? Kangen ya?”
“Mas, gawat ....”
***
Tidak ada alasan apapun yang bisa menunda Daniel untuk segera pulang. Setelah menerima panggilan dari Vania, hatinya sudah sangat kacau. Percuma juga memaksakan diri untuk berkutat dengan pekerjaan jika hatinya saja sudah berada di rumah. Ia tak sabar ingin segera sampai, melihat dengan mata kepala sendiri dan membuktikan apa yang Vania laporkan.
“Ibu hidup lagi? Yang benar saja?” Gumam Daniel dengan segala kebingungannya padahal ia tengah menyetir dan harus fokus penuh lantaran ia berkendara dengan kecepatan tinggi. Sepanjang perjalanan ia lalui dengan berpikir dan terus berpikir, segala kemungkinan yang terlintas di benaknya tetap saja membuat ia merasa bahwa ibu yang hidup kembali setelah puluhan tahun meninggal itu sebuah kekonyolan besar. Tak masuk akal, kalaupun benar ibunya masih hidup, kenapa baru sekarang wanita tua itu muncul kembali dalam kehidupannya?
Mobil yang dikendarainya pun akhirnya tiba di kawasan rumah, Daniel mematikan mesin mobil kemudian tergesa gesa keluar dari mobilnya. Ia tak peduli pintu mobilnya masih dalam keadaan terbuka, tak ada lagi hati untuk memikirkan kemungkinan terburuk karena untuk saat ini tidak ada yang lebih buruk dibandingkan ibu yang telah lama mati namun hidup kembali.
“Vania?” Teriak Daniel menyerukan nama istrinya begitu ia melangkah masuk ke ruang utama. Namun bukan Vania yang muncul pertama kali di hadapannya, melainkan seorang wanita yang parasnya sangat ia kenali meskipun sudah jauh lebih tua dari yang pernah ia lihat terakhir kali. Daniel tercengang, rahangnya bahkan mengeras saking shocknya ia saat ini. Serasa melihat penampakan yang menakutkan berwujud ibunya, Daniel sungguh tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya sekarang.
“Daniel ... putraku, kamu terlihat lebih kurus sekarang. Ibu merindukan kamu, nak.” Amita berjalan perlahan menghampiri Daniel yang mematung, belum ada respon apapun terhadap dirinya yang telah mengakui betapa rindunya ia kepada putranya itu. Bahkan ketika mereka sudah berdiri berhadapan, Daniel masih enggan meresponnya. Amita menjulurkan sepasang tangannya, sedikit bergetar, ia sungguh ingin menyentuh wajah putranya yang tampak tirus lantaran kurus. “Lihat dirimu sekarang! Kamu seperti orang yang tidak terurus, apa kehidupanmu begitu berat, nak? Apa kamu tidak bahagia?” Amita berujar lagi meskipun belum ada jawaban yang terlontar dari Daniel. Tangannya sedikit lagi akan menangkup pipi Daniel, namun di detik itu pula Daniel menepis tangan Amita dengan kasar.
Amita terperanjat kaget mendapatkan serangat tak terduga itu. Ia jelas tak menyangka Daniel akan menolaknya secara nyata. Ditatapnya wajah pria muda itu, urat wajah yang menonjol, kulit wajah yang sedikit memerah. Amita yakin bahwa Daniel sedang memendam kemarahan yang siap untuk diledakkan.
“Siapa kamu!?” Pekik Daniel dengan suara yang terdengar bergetar, getir.
***
“Sepertinya aku mendengar suara mas Daniel.” Gumam Vania seraya berdiri dan berjalan cepat menuju jendela. Benar saja, ketika ia mengintip keluar, mobil Daniel sudah terparkir di sana. Vania bergegas membalikkan badannya, menatap ke arah Ima yang membantunya menjaga kedua buah hatinya. “Ima, kamu di sini saja ya, tolong jaga anak-anak. Tuan sudah pulang, aku harus segera menemuinya.” Ujar Vania seraya menguncir rambut panjangnya, ia perlu effort yang lebih besar untuk menghadapi wanita tua itu lagi. Meskipun ada Daniel, tetap saja ia harus ikut andil dalam masalah ini.
“Nyonya tenang saja, urusan anak-anak biar saya yang bantu jaga. Jangan kasih kendor, nyah! Itu wanita saya yakin hanya modus saja.” Ujar Ima yang tak ketinggalan memberikan dukungan kepada Vania. Padahal situasi saat ini terasa tegang, namun karena tingkah Ima yang polos dan lucu, Vania tidak bisa menahan senyumannya.
“Makasih Ima, kita juga belum tahu yang sebenarnya. Semoga saja tuan bisa mengatasinya.” Jawab Vania, tak ingin membuang waktu lagi, ia pun bergegas keluar dari kamar.
Dari lantai dua saja Vania sudah bisa melihat apa yang dilakukan kedua orang di bawah sana. Vania menaruh perhatian kepada gerak gerik Daniel, wanita tua itu sungguh mendekati suaminya, terlihat begitu serius sehingga memancing rasa penasaran Vania. Dari tempatnya berdiri, ia tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Vania kembali melangkah, tak sabar ingin segera berada di dekat suaminya.
Daniel melihat Vania yang menghampirinya di saat yang tidak tepat. Ketika ia sendiri masih bingung dengan situasi yang dihadapinya. Sebisa mungkin Daniel mengkode agar Vania berhenti di sana, jangan meneruskan langkah mendekatinya di saat ia belum bisa mengendalikan perasaan serta pikirannya.
“Kamu lupa sama ibu? Ini ibumu, nak!” Amita kembali meyakinkan, suaranya bahkan terdengar parau saking ia mengibanya.
Vania menangkap maksud Daniel yang memintanya diam di tempat, tetapi ketika mendengar rengekan dari Amita yang mencoba meyakinkan Daniel, sungguh Vania tidak bisa merasa tenang. Ia terus mengamati air muka suaminya, takut jika Daniel sungguh tergugah oleh wanita tua itu.
“Ibuku? Ha ha ha ... ibuku sudah lama meninggal, bagaimana dia bisa hidup kembali? Kamu pasti orang yang hendak menipuku.” Sanggah Daniel, sekalipun wajah yang mirip, suara yang juga mengingatkan ia tentang ibunya, namun masih sulit bagi Daniel menerima kenyataan bahwa ibunya kembali hidup.
Amita menggeleng, air mata ikut luruh demi meyakinkan putranya. “Ini sungguh ibu, nak. Ibu belum mati. Ibu sangat merindukanmu, nak.” Amita masih berupaya meraih Daniel, tetap saja pria muda itu menghindari sentuhan tangannya. Daniel malah terang-terangan menjaga jarak darinya.
“Kalau betul ibu masih hidup, selama ini ke mana saja? Gimana ceritanya ibu bisa lolos dari kecelakaan itu? Ayah saja tidak berhasil selamat.” Menyerukan kisah kelam masa lalu sama saja menggores bekas luka yang telah mengering.
Vania ikut penasaran, entah apa yang akan dibeberkan oleh wanita tua itu lagi. Daniel tampak sangat tertekan, ingin sekali Vania menggapai ke arahnya, memeluk serta menenangkan kegundahan pria itu. Namun apa daya, ia harus patuh pada permintaan suaminya yang meminta dirinya tetap tenang.
“Ibu juga tidak mengerti bagaimana ceritanya ibu bisa selamat dari kecelakaan itu. Selama ini ibu hidup dalam ingatan yang hilang, dan ketika ibu ingat semuanya, ibu langsung mencarimu. Tetapi yang ibu temukan adalah putra ibu yang tidak lagi percaya pada ibunya sendiri.” Pengakuan Amita sudah bercampur isakan, terlihat betul bahwa ia sungguh sungguh tertekan. Berusaha meyakinkan namun Daniel tetap saja memberinya gelengan kepala.
“Hilang ingatan? Apa itu sungguh bukan sebuah alasan untuk menutupi kebenaran? Puluhan tahun sudah ibu menghilang, apa baru sekarang ibu ingat semuanya? Lalu ... ke mana selama ini ibu tinggal?” Daniel terus menyerang dengan pertanyaan beruntun, bahkan ia sudah tidak bisa mengendalikan kerasnya suaranya.
Amita menundukkan kepalanya, masih dalam tangisan yang membuat ia terlihat sangat menyedihkan. Sementara itu, Vania yang masih setia menjadi penonton pasif yang merasa terusik dengan tangisan Amita. ‘Apa dia hanya berakting belaka? Kenapa rasanya aku sulit percaya apa yang dikatakannya, padahal dia sepertinya terlihat serius?’ Batin Vania, ia tak mungkin berani mengutarakannya langsung, hanya menyimpan rasa penasaran itu dalam hatinya untuk saat ini.
***