Hubungan Hampa

1814 Kata
Winda: Binnnnnnn, besok duduknya deketan ama gue ya. Gue bawain kue cokelat. Gue bikin soalnya. Bintang tersenyum melihat pesan yang dikirimkan Winda. Kaget ketika sosok itu tiba-tiba menelponnya. Bintang mengangkatnya dan mereka melakukan percakapan ringan. Sampai harus terhentikan karena Mamanya masuk ke kamar. Sena membawakan teh hangat dan beberapa camilan. “Lagi nelpon?” “Udah selesai kok, Ma.” “Abang kamu pulang, dia lagi ngobrol sama Papah kamu.” Sena duduk dengan hati-hati menghadap sang anak. “Gimana perasaan kamu sekarang?” “Gak tau, Bintang masih ngerasa aneh…..” “Jangan kuliah kalau besok belum nyaman.” “Kalau gak kuliah, Bintang malah keinget mulu kejadian semalem.” Tersenyum lirih sambil menatap kosong jemarinya yang diremas oleh sang Mama. “Angkasa akan bertanggung jawab dengan tidakannya yang kurang ajar, Bintang. Tolong jangan menjauh dari kami. Kamu anak Mama terlepas dari siapa kamu lahir.” Sena memeluk sang anak. “Mama mau tanya…. Gimana pendapat kamu tentang…. Kalau kamu menikah dengan Angkasa?” “Apa itu bikin Mama bahagia?” “Jangan focus pada Mama.” Melepaskan pelukan dan menatap Bintang, memegang kedua bahu anak tersebut. “Mama mau tanya, apa Bintang bersedia kalau dinikahkan dengan Angkasa?” Dari tatapan sang Mama saja, Bintang sudah mengetahui keinginan sosok tersebut. “Mama udah janji mau bawa aku ke makam Mami Tiara, anterin ya besok sepulang ngampus,” ucapnya mengalihkan pembicaraan. “Bintang lapar sekarang, mau makan tapi mau disuapin sama Mama.” Dua masalah yang menerpanya, Angkasa yang memperkosa dan kenyataan kalau dia bukanlah anak kandung kedua orangtuanya. “Mama serius nanya pernikahan ke kamu. Kamu tetep jadi anak Mama, dan Angkasa bakalan jaga kamu selama sisa hidup kamu.” Keterdiaman Bintang menjawab semuanya. Dia hanya focus pada makanan yang disuapkan Mamanya. Tok tok tok. “Ini Papa,” ucap Samudera dari luar. “Boleh Papa sama Abang masuk?” tanya Sena. “Masuk aja.” walaupun Bintang enggan melihatnya. Tatapannya berpaling dari kedatangan Angkasa dan Samudera. “Abang mau ngomong sama kamu,” kata sang Papah. “Bilang…,” ucapnya pada sang anak. Sena berdiri dari duduknya hingga Angkasa bisa mengisi posisi itu. dihadapkan dengan Bintang, pria itu menghela napasnya dalam. “Maaf, Bie.” Panggilan lama yang membuat Bintang meneteskan air matanya. Dia rindu semua itu, tapi dia juga benci dengan Angkasa yang sudah menghancurkannya. Walaupun Angkasa sekarang memeluknya, Bintang masih dilanda perasaan tidak karuan. Samudera menarik tagan sang istri supaya memberi mereka ruang. “Mama sama Papa ada diluar,” ucap Sena pada Bintang supaya tidak takut. “Memang aku yang salah malam itu.” Angkasa memalingkan wajahnya, focus pada jendela yang terbuka. “Mama sama Papa berharap kita menikah, tapi semuanya kembali ke kamu.” “Apa itu buat Mama bahagia?” Angkasa tidak menjawab. “Apa rasa benci kamu masih ada buat aku?” Keheningan masih melanda. Keduanya rumit dengan pikiran sendiri. “Gak ada yang berubah?” Bintang terkekeh. “Keluar, bilang sama Mama Papa kalau kita perlu waktu.” “Penolakan keputusan mereka akan bikin mereka sedih.” “Aku tahu. Emangnya kamu kita terjebak pernikahan?” Angkasa memutuskan tatapan mereka. Tanpa mengatakan apa-apa, pria itu keluar dari kamar Bintang. “Abang udah minta maaf. Dia butuh waktu,” ucapnya pada kedua orangtua yang masih berdiri disana. Sena segera masuk menghampiri anak perempuannya. “Nak?” “Kenapa, Mama?” Bintang berusaha tersenyum, tidak mau membuat Mamanya sedih. “Bintang udah maafin Abang kok, dan Bintang setuju kalau nikah sama dia,” ucapnya dalam satu tarikan napas. *** “Bintang bilang dia setuju buat nikah sama Angkasa. Apa ini waktunya kita ngomong sama Opa dan yang lainnya rahasia ini?” Tanya Sena pada sang suami. “Kita harus memastikan dulu Bintang hidup bahagia bersama dengan Angkasa. Kejadian 3 tahun lalu membuat mereka sedikit anggang bukan? Bahkan Angkasa yang marah bilang ke Bintang fakta yang kita sembunyikan.” “Dia waktu itu gak sengaja denger percakapan Oma sama Opanya ‘kan?” Sena ingat penjelasan Angkasa kalau dia tahu fakta tersebut karena mendengar pembicaraan Opa dan Omanya tentang asal usul Bintang. “Mas jangan khawatir, aku pastiin Angkasa jaga Bintang dengan baik. Mereka tumbuh bersama, semua kejadian ini aku anggap ujian sebelum mereka menikah.” “Kamu bener-bener mau mereka menikah, Sayang?” tanya Samudera. Perempuan itu mengangguk. “Aku sayang sama Bintang, dan yakin kalau Angkasa bisa jaga dia dengan baik.” Bintang mendengarnya dari lantai dua, sang Mama benar-benar mengharapkan hal ini. saat melihat pintu kamar Angkasa terbuka, Bintang langsung melangkah menuruni tangga. “Eh, anak Mama udah bangun.” Sena langsung merubah raut wajah dan memeluk sang anak erat. “Adee Jupiterr! Cepetan turun, Nak. Nanti kamu kesiangan!” teriak Sena. Berusaha menyingkirkan fakta malam lalu. “Kak Bintang nanti berangkat mau sama Abang Angkasa atau sama Papa?” “Sama Abang aja, ada yang mau Bintang omongin.” Kalimat itu membuat Sena tersenyum. Sementara si bungsu kebingungan, “Kenapa Abang sama Kakak tegang banget? Kayak mau ujian?” bertanya dengan polos. Tapi dua orang itu sama-sama dalam posisi yang bingung hingga tidak menjawab apapun. Ketika di dalam mobil juga, Bintang dan Angkasa banyak diam. “Aku lakuin ini buat Mama,” ucapnya dengan suara tersendat. “Tau,” jawab Angkasa. Dia membawa Bintang ke parkiran paling pojok hingga tidak ada yang melihat. Tidak ada sepatah katapun yang diucapkan Angkasa, dia bahkan pergi lebih dulu. Rasa benci itu menumpuk hingga dadanya terasa sesak. Bintang berjalan pergi terburu-buru hingga tidak sengaja menabrak Melda. “Anjirrr! Lu lagi lu lagi! kesel gue sama anak d***u kayak lu!” “Sorry,” ucap Bintang yang tidak punya tenaga untuk ribut. “Bisa minggir gak? Gue mau ke kelas.” “Lap-in mobil gue. Lu udah bikin gue rugi.” Tangannya ditahan hingga Bintang memekik kesakitan. “Woyy lepasin anjir!” BRUK! Memukul kepalanya dengan tas. “Beraninya keroyokan.” “Lu…..,” ucapan Melda terhenti ketika melihat Winda. “Jangan lu ganggu temen gue kalau gak mau dikeluarin dari kampus, terus bapak lu dapet masalah.” Winda menarik tangan Bintang menjauh. “Lu gak papa?” “Gak papa. Makasih, Win.” “Bilang sama gue kalau lu diganggu lagi sama mereka ya. Tenang aja, gue punya power. Bapak gue wakil rektor III, kayaknya dia udah tahu deh.” Bintang tersenyum kecil, dia belum tertarik dengan pembicaraan apapun. “Hei, jangan sedih gitu. Nih kue cokelat yang kemarin dijanjiin.” Bintang menerimanya. “Sebenernya…. Aku gak terbiasa manggil lu-gue. Cuma karena biar dapet temen, makannya ngomong gitu. Tapi seseorang yang special bilang aku harus jadi diri aku sendiri. Gak papa kalau ngomongnya aku-kamu aja?” Bintang tertawa kemudian merangkul Winda. “Gak papa ya ampun! Ayok kita ke kelas!” dengan riang. Bintang sangat merindukan dirinya yang dulu. *** Bintang menatap makam milik Ibu Kandungnya; Tiara. Ternyata selama ini bersebelahan dengan Kakek dan Neneknya dari pihak Mama Sena yang sudah meninggal. Diantar oleh kedua orangtuanya, Bintang diberikan ruang sendirian. “Mama Tiara…. Hallo…..,” sapa Bintang. “Ini anak yang Mama lahirin, Bintang tumbuh jadi cewek cantik kayak Mama loh. Bintang lihat foto Mama pas masih muda, emang idaman cowok.” Berucap dengan air mata yang berlinang. “Maaf Bintang baru datang. Bintang denger, Mama dicuekin sama cowok yang hamilin Mama ya? b******n emang. Nanti kalau ketemu sama Bintang, bakalan Bintang pukul itu orang.” Selama 30 menit Bintang mengeluarkan keluh kesahnya. Tidak lupa mampir ke makam Oma Dara yang meninggal karenanya. Baru suda kembali pada orangtua yang sudah merawatnya. Mendapatkan pelukan dari Sena dan Samudera. “Langsung pulang?” “Iya.” Dirumah, sudah ada Opa dan Melati yang kebetulan datang menjenguk bersama suaminya. Mereka sudah mendengar apa yang terjadi dengan Bintang. Jadi pelukan adalah sambutan pertama yang diberikan. Angkasa juga sudah ada di rumah. “Ini hal yang gak wajar,” ucap Opa berbisik di telinga Bintang. “Tapi Opa setuju sama Mama kamu.” “Sayangnya Tante….” Lihatlah orang-orang ini memeluknya, mereka memberi Bintang rumah dan kenyamanan. Hanya satu orang yang masih menatapnya dingin. “Kamu tetep keponakan kesayangan Tante… Jangan berfikiran kalau kamu bukan bagian dari Surawisesa.” Disana, mereka hanya membicarakan tentang pernikahan, Bintang dan Angkasa hanya mengikuti apa yang disarankan keluarga tersebut. Begitu mereka kembali ke lantai atas, Angkasa bertanya, “Jangan pasang muka kayak gitu, ini juga pilihan kamu.” “Pilihan abang juga ‘kan? Kita sama-sama mau bikin orangtua tenang dan gak kepikiran. Jadi stop bikin aku berusaha sendiri, tolong kerjasamanya.” BRUK! Menutup pintu dengan kasar tepat di wajah Angkasa. Hari-hari selanjutnya, Angkasa kembali ke apartemennya. Bintang menerima beberapa kiriman makanan ke rumah dari pria itu, mungkin Angkasa juga ingin membangun citranya yang baik di hadapan orangtua. Selama orangtua mereka mempersiapkan pernikahan, Bintang focus kuliah. Ternyata Ayah Winda memang wakil rektor II, itu yang membuat Melda dan kawan-kawannya tidak berani mengganggu Bintang lagi. Winda juga memperkenalkan Bintang ke teman-teman Winda yang berbeda fakultas. Dengan jaringan pertemanan yang luas, Bintang mulai percaya diri lagi. Memperlihatkan sisi cerewednya yang terpendam tiga tahun yang lalu. Kata Mamanya, mereka akan menikah bulan depan dengan acara private. Pesta besar akan diadakan tahun depan karena butuh persiapan matang. “Binn! Lu mau kemana?” Tanya Heksa; anak Kedokteran. “Mau nyusul Winda. Dia udah lama di kamar mandi.” “Eh bener juga. Susul si cantik cepetan, takut dia kenapa-napa lagi,” ucap yang lain. “Emangnya kenapa?” Bintang ikut khawatir. “Lu nggak tahu?” Heksa ikut berdiri. “Winda punya masalah kesehatan. Ayok.” Dengan tergesa, Bintang ikut Heksa ke kamar mandi. “Win!” dan benar saja mendapati perempuan itu sedang duduk sendirian di pojok dengan hidung yang terus mimisan. “Langsung bawa ke rumah sakit! Pake mobil gue aja! lu bantu pegangin dia, Bin!” Winda hampir tidak sadarkan diri, mereka sampai di rumah sakit dan langsung ditangani. “Winda?” petugas kesehatan juga terlihat tidak asing dengan kedatangannya. Bintang berada di rumah sakit sampai kedua orangtuanya tiba. Karena cuaca mendung, Bintang izin pulang lebih dulu. De javu, Bintang menunggu mobil taksi yang dia pesan. Mama: Sayangnya Mama dimana? Kenapa belum pulang? Mau dijemput gak? ME: Abis nganterin temen di Rumah Sakit, Ma. Bintang masih disini nunggu taksi. Mama: Abang juga bilang lagi di Rumah Sakit ada perlu. Kamu pulang sama dia. Mau? Sebenarnya Bintang tidak mau, tapi demi sang Mama dia menjawab, “Iya.” Hingga Angkasa datang beberapa menit kemudian dengan mobil audi hitam miliknya. “Masuk.” Bukannya masuk di depan, Bintang masuk di belakang. “Kenapa?” tanya perempuan itu dengan tangan melipat di d**a, dan wajah berpaling. “Stop pasang muka kayak gitu. Apa yang terjadi sekarang bukannya sebanding sama apa yang orangtua aku lakuin ke kamu?” Tanya Angkasa dengan kesal. “Setelah Mama menderita karena Ibu kandung kamu. Dia masih rawat kamu.” “Maksud kamu apa?” tanya Bintang. “Kenapa?” Kenapa Angkasa sangat ingin membuat hatinya patah?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN