Kilas Balik

1746 Kata
“Angkasa gak bisa dihubungi, Mas. Ini ada anak Fakultas kedokteran yang bilang kalau dia ada masalah pas ospek kemarin. Tapi bukan dari panitia BEM Universitas, melainkan dari Himpunan Fakultas.” “Dia anak temen kamu?” “Heem, makannya mau langsung hubungi si Abang. Apa minta Bintang kesana aja ya?” Dengan persetujuan Samudera, akhirnya Sena meminta Bintang untuk pergi ke apartemen anak sulungnya. “Mereka kira-kira udah akur beneran belum ya?” “Kamu tahu gimana keduanya saling sayang.” “Tapi aku juga gak lupa gimana Angkasa sayang banget sama Oma-nya, bahkan masa kecilnya Angkasa itu sama Oma-nya.” Samudera merentangkan tangan, memberi isyarat pada sang istri untuk duduk di pangkuannya. Membiarkan pria itu menyembunyikan wajah di lehernya. “Ini malam minggu, jangan mikirin hal lain.” “Tapi aku kepikiran, Mas. Oma juga…. Ibu kamu….” “Iya dia Ibu aku, tapi itu murni kecelakaan. Ibu juga pasti udah bahagia di atas sana. Mengungkitnya hanya akan membuat Ibu sakit hati disana.” Sena terkekeh mendengar penuturan sang suami dan mencium pipinya. Dia memeluk Samudera dan berusaha menghilangkan kekhawatiran dalam pikirannya. “Maaf.” “Bukan salah siapa-siapa, harus kayak gini takdirnya. Kamu ada rencana kasih tau Jack tentang Bintang?” “No, Bintang anak aku. Lagipula, aku gak mau Bintang tahu kalau dia bukan anak kandung kita, Mas. Jack adalah….. penjahat juga. Jadi udah tutup buku aja.” “Tutup mulut juga dong.” Mengerucutkan bibir meminta ciuman. Sena terkekeh dan meleburkan dirinya bersama dengan sang suami. Sementara disisi lain, orang yang mereka khawatirkan ternyata ada di sebuah pesta di salah satu klab. Angkasa datang bersama dengan anak-anak BEM Universitas, sebuah pesta perayaan karena Ospek sudah selesai. Dilaksanakan oleh Himpunan Fakultas Teknik, mereka menyewa satu tempat dan mengundang anak Ormawa. Angkasa tidak suka dengan pesta semacam ini, tapi dia tidak bisa merusak suasana. “Tantangan buat Paketu, berani gak minum alcohol sebanyak ini?” tanya salah satu temannya memberikan segelas alcohol. “Gak ada kayak ginian.” “Ayok dong, Broooo! Lu ketua BEM masa gak berani minum kayak gini. Ahhh cemen lu!” Angkasa terkekeh sebagai jawaban. “No.” “Yaudah, kita oper buat wakil ketua kita ini yang cantik. Lu pasti berani ‘kan?” “Jangan main ke cewek,” ucap Angkasa mengambil gelas kemudian meneguknya sampai habis. Menjadikan ruangan penuh dengan sorakan untuk sang Ketua BEM. Suara music DJ langsung meningkat, teriakan kesenangan pun semakin terdengar. Angkasa semakin pusing saat lampu kelap kelip semakin cepat. “Mau kemana, Bro?” “Kamar mandi,” jawabnya dengan santai. Salah satu anak Himpunan Teknik datang mendekat. “Sorry, bang. Minuman yang disini mana ya?” bertanya pada salah satu anak BEM Universitas. “Udah diminum, kenapa emangnya?” “Yang botolnya ada gambar tengkorak?” “Iya, kenapa? bukannya buat diminum ‘kan?” “Um, iya gak papa,” ucapnya segera bergegas pergi dan mendekati salah satu temannya. “Udah diminum sama anak BEM pusat, gimana dong, Bro?” “Lu masukin obat perangsangnya semua?” “Iya, gak ada yang nyisa.” “Beli lagi dah sana.” “Masalahnya yang minum siapa ini. gak akan jadi masalah ‘kan?” “Santai, mereka juga udah dewasa ini.” Tidak tahu saja kalau Angkasa sedang menahan pusing dan panas di tubuhnya, dia tidak bisa berfikir jernih dan memutuskan untuk pulang tanpa memberitahu teman-temannya. Sepanjang perjalanan, Angkasa oleg dan hampir mencelakakan diri sendiri. Dia tidak bodoh, Angkasa tahu apa yang terjadi dengan tubuhnya sekarang. Namun begitu dia masuk apartemen dan melihat sosok Bintang…. Pikirannya tidak jernih. **** “Bibi bilang kalau Bintang masih di apartemen Angkasa. Mau kesana aja, Mas? nengokin anak-anak?” “Boleh, bawa sarapan aja sekalian.” Mendengar itu, Jupiter merengek. “Mau diturunin di rumah Opa ah. Ade mau tidur seharian disana.” Karena sudah tidak kuat lagi naik mobil. Si bungsu diturunkan di tempat Opa-nya, tidak ikut orangtuanya yang membeli bubur untuk sarapan si kembar. Sudah tahu kode apartemennya, mereka langsung masuk begitu saja. “Bang?” panggil Sena. “Bintang?” “Masih tidur kayaknya.” “Mas mau mandi dulu?” “Sarapan dulu deh, laper banget.” “Aku mau bangunin anak-anak kalau gitu.” Membuka kamar tamu, tapi tidak ada Bintang. “Kayaknya mereka habis nonton deh,” gumam Sena merasa senang. Ketika dia membuka pintu kamar Angkasa, senyumannya perlahan memudar. Jajanan di tangan Sena jatuh. “Sayang, kenapa?” Samudera ikut khawatir. Tapi focus Sena sekarang pada Bintang yang berusaha untuk berjalan. “Mas, tolongin,” ucapnya dengan lirih. Samudera yang melihatnya langsung paham apa yang terjadi disini. Dia membantu Bintang berjalan keluar kamar itu, sang anak meneteskan air matanya dalam diam. “Mama…,” panggilnya. “Mama disini,” ucap Sena membawanya pindah kamar. Samudera kembali pada anak sulungnya. “Abang bangun,” ucapnya mengguncang tubuhnya. “Bang, bangun. Papa mau ngobrol sama kamu.” “Papah?” “Bangun ayok, Mama kamu juga disini. Bersihin diri.” Kamar yang berantakan dan mengeluarkan bau itu membuktikan semuanya. Samudera; seorang Jaksa, sudah langsung mengetahui kejadian yang ada disini. Menunggu Angkasa membersihkan diri, anak itu keluar dari kamarnya dengan tatapan bingung, kosong, dan kepala yang pusing. Selang beberapa detik, Sena keluar dari kamar juga. “Bintang udah makan, dikasih obat juga buat memarnya. Dia Cuma bilang Abang yang maksa.” “Abang bisa jelasin?” tanya Samudera. Sena mencoba menahan air mata dan amarahnya pada si sulung, kenapa ini bisa terjadi? “Ada pesta perayaan, abang minum dan… mereka kayaknya campur itu sama zat lain. Ada Bintang disini.” “Bang….” Sena menahan napasnya. “Bintang adik kamu. Dia kembaran kamu.” “Kenapa kamu sampai kehilangan akal? Dia jelas-jelas saudara kamu, Angkasa.” “Bukan saudara kandung,” ucap Angkasa menelan saliva. “Bintang bukan anak kalian.” “Apa maksud kamu ngomong kayak gitu hah?!” Sena menaikan nada bicaranya. “Abang bilang, dia bukan anggota keluarga kita. Dia hanya anak yang diadopsi karena gak di──” PLAK! Sena refleks menampar dan menghentikan kalimat itu. “Sena,” tegur Samudera dengan lembut. Dia menghela napasnya dalam. “Ma, bukan Cuma Abang ya tahu tentang hal ini. Bintang juga tahu kenyataan kalau dia itu bukan anak kalian.” Angkasa berdiri. “Abang tahu apa yang Abang lakuin ini salah, dan Abang akan terima konsekuensinya dari kalian. Mau kalian marah pun, itu gak akan ubah kenyataan kalau Abang udah lakuin hal buruk ke Bintang.” Pria tampan itu meraih jaketnya di bahu sofa. “Abang juga perlu waktu buat merenungkan kesalahan ini.” “Kamu mau kemana, Angkasa? Papah belum selesai ngomong.” Tapi anak itu pergi begitu saja meninggalkan kedua orangtuanya. “Fuckk!” teriaknya ketika di dalam mobil. Angkasa memukul setir dengan kuat. Kenapa itu bisa terjadi?! **** Bintang belum bisa berfikir jernih, apa yang terjadi antara dirinya dan sang kakak itu sangatlah mennyeramkan baginya. Membangkitkan amarah dan rasa sedih disaat bersamaan. Tapi bagaimana Bintang akan menunjukan kebenciannya saat sosok yang membesarkannya kini tengah memeluknya penuh kehangatan. Seolah dia memang tercipta untuk menjadi ibunya. “Mama mau tanya sama Bintang….. Abang….,” ucapannya tersendat karena menahan tangis. “Abang udah lukain kamu, Mama minta maaf.” Kekecewaan seorang Ibu dapat dirasakan oleh Bintang. “Bintang tahu kan kalau Mama sayang sama Bintang? Boleh gak Bintang jawab, apa Bintang sama Abang punya rahasia yang gak Mama sama Papa tahu?” Dalam pelukan Sena, Bintang menoleh pada Samudera yang duduk disampingnya juga; sedang menatapnya penuh kehangatan. Bintang berpaling sebelum mengatakan, “Bintang bukan anak kandung Mama sama Papa.” Sena menahan napas dan menatap sang suami. Samudera melanjutkan, “Bintang percaya?” “Bintang lakuin test DNA pas di London, kenyataannya kita memang gak ada… hubungan darah.” Sena sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. “Mama kamu emang gak lahirin kamu dari rahimnya, tapi kamu lahir hanya untuk dia. Kamu paham ‘kan, Nak?” “Itu gak akan ubah apapun,” ucap Bintang mengeratkan pelukannya pada Sena, membuat sosoknya menjadi lebih tenang dan membalas pelukan Bintang dengan air mata menetes. “Maafin Mama udah tutupin fakta itu. Tapi Mama hanya gak mau kamu ngerasa beda. Mama sama Papa bener-bener sayang sama kamu.” Bintang mengangguk sambil menangis, dia menyetujui hal itu. “Bintang tahu, Ma. Bintang tahu…,” ucapnya dengan suara tersendat. “Dulu Mama kamu punya seorang Kakak perempuan, tapi mereka juga tidak sedarah. Kakak kandungnya meninggal saat dilahirkan, kemudian pihak rumah sakit menggantinya dengan bayi lain. Dan itulah Mama kandung kamu, namanya Tiara. Dia meninggal ketika melahirkan kamu, diwaktu bersamaan ketika Angkasa hadir. Jadi kami memutuskan untuk merawat kamu, dan menjadi kembaran dari Angkasa,” ucap Samudera. Dia melanjutkan, “Ayah kandung kamu…… namanya Jack, dulu dia pemilik klab dan teman Mama Sena. Tiara dan Jack terlibat hubungan tidak sehat, dan Jack pergi menikahi perempuan lain, dia pindah keluar Negara. Kami berhenti memantaunya, terakhir kami mendengar dia ditangkap karena mengedarkan narkoba.” “Mama sama Papa gak mau kamu terlibat banyak dengannya. Dan kami gak mau kehilangan kamu, jadi tetap menimbun fakta itu.” air mata Sena menetes semakin banyak. “Tapi ternyata Angkasa tahu hal itu, sampai dia lakuin hal sebejad itu sama kamu.” Teringat lagi kejadian semalam, Bintang ikut menangis. Dia benci Angkasa, dan benci melihat Mamanya sedih. “Mama….,” panggilnya. Di sisi lain, Angkasa mengambil waktunya sendiri di tempat yang sepi. Saat matahari mulai terbenam, Angkasa tahu ini waktunya dia menerima konsekuensinnya. Sebelum itu, dia pergi ke makam Oma Dara terlebih dahulu. Sosok yang meninggal 3 tahun lalu karena kebakaran. “Oma,” ucapnya sambil menyentuh bekas jahitan operasi di sekitar pinggang. “Oma sakit gara-gara kasih satu ginjal buat Abang… Makasih banyak.” Menyimpan bunga rose kesukaan Oma Dara sebelum pergi dari sana. Dengan kepala dingin, Angkasa menelpon Samudera. “Papah dimana?” “Di rumah, Bintang juga udah disini. Papah mau ngomong sama kamu, tapi diluar.” “Café biasa?” “Hmmm.” Angkasa segera pergi kesana, dia memesan lebih dulu kesukaan Papahnya. Padahal Samudera sama sekali tidak memiliki nafsu makan sekarang. “Gimana?” tanya Angkasa. “Kamu gak ada niatan buat minta maaf sama adek kamu?” Samudera heran dengan sang anak. “Itu bukan hal yang bagus kalau sebelumnya Angkasa langsung datang padanya ‘kan, Pah?” Kadang Samudera heran, anaknya ini menuruni sifat yang begitu dingin dari siapa. Dia sampai mengusap wajahnya kasar. “Tanggung jawab. Papah sama Mama berfikir buat nikahin kalian.” Dibawah meja, tangan Angkasa mengepal. Keputusan yang mengagetkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN