Tali Persahabatan

1808 Kata
“Ibu kamu dulunya jahat sama Mama. Pembullyan juga termasuk. Mama gak punya foto bareng sama Kakaknya, karena dia emang gak pernah diperlakukan dengan baik.” “Lalu tujuan kamu ngomong kayak gini buat apa?” tanya Bintang. “Jangan buat mereka sedih.” Bertepatan dengan mobil berhenti di halaman rumah. Jupiter menunggu mereka dengan wajah yang terlihat marah. “Ade kenapa nunggu diluar?” tanya Bintang. “Abang jahat banget sama Kakak!” teriaknya dan memukul Angkasa. Bintang panik dan langsung menarik adik bungsunya. “Ade ini kenapa?!” Sena sampai keluar untuk menenangkan si bungsu. “Ade jangan gitu.” “Ade gak suka sama Abang!” Dia berbalik setelah meninggalkan pukulan di wajah Angkasa. Bintang masih dilanda kebingungan. “Dia tahu,” jelas Sena dengan tatapan sedih. “Bintang yang bakalan ngobrol sama adek. Mama jangan khawatir.” Melirik sudut bibir Angkasa yang berdarah, Bintang terkekeh sedikit senang. Ini pertama kalinya Jupiter memperlihatkan amarahnya. Si bungsu yang manja itu tidak pernah berani melawan Angkasa bahkan dalam perdebatan sekalipun. “Dek?” “Ade denger Kakak mau nikah sama Abang,” ucapnya memeluk Bintang. “Ade udah gede. Ade udah 15 tahun dan paham apa yang terjadi. Kakak….” “Kan kalau Kakak nikah sama Abang, nanti kamu gak akan punya ipar galak. Dulu kamu gak mau tuh kedatangan ipar takutnya nyinyir.” “Tapi gak gini juga. Kakak….” “Iam fine, Bro. C’mon! semuanya bakalan baik-baik aja.” “Kakak sama Abang gak pernah akur sejak 3 tahun lalu.” “Kata siapa? Nyatanya kami mau nikah. Kakak berangkat dan pulang kuliah juga sama Abang. Mungkin ini jalan Tuhan biar Abang kamu lebih deket lagi sama Kakak.” Bintang memeluk erat sang adik yang menangis. “Maaf,” ucapnya entah untuk apa. Inilah yang membuat Bintang selalu sakit hati, keluarga itu sangat menyayanginya sampai merasa bersalah padanya. Jupiter menangis sampai dia tertidur. Bintang harus memaksakan dirinya tersenyum dan tampak baik-baik saja di depan semua orang, meskipun kenyataannya dia merenung sendirian di kamar. “Its okay, Bie. Jalani aja.” “Mama minta kamu makan ini.” “Ketuk pintu dulu bisa ‘kan?” Bintang menoleh dengan kesal saat Angkasa tiba-tiba saja masuk. “Gak usah teriak, nanti Mama dennger kita ribut.” Menyimpan nampan berisi makanan. “Dia di kamarnya.” Pria itu duduk sejenak. “Keluar sana.” “Jangan mancing keributan, Bintang. Di rumah ini ada orangtua.” Bahkan untuk membenci saja, Bintang tidak punya ruang. Padahal Angkasa pantas mendapatkannya. Dia tidak mau melihat Angkasa dan pergi ke balkon. Mengabaikan apa yang dilakukan pria itu. CRAI! Sampai suara botol kaca pecah terdengar. Botolnya ada di ujung nakas dan Angkasa tidak sengaja menyentuhnya. “Beresin lagi. Jangan sampai ada pecahan kaca disana.” sampai Bintang ingat di dalam botol kaca itu berisi harapan-harapannya. Salah satunya, “Aku kangen Abang yang dulu, mau dengerin dia gitaran lagi. Aku mau dipeluk sampai tidur sama Abang. Tuhan, catat ini ya.” yang kini sedang dibaca oleh Angkasa. “Jangan baca punya orang sembarangan!” langsung merebut kertas ditangan pria iitu. “Kamu yang suruh beresin.” “Gak usah baca juga. Kan bisa. Aw!” kakinya tidak sengaja menginjak pecahan kaca kecil. Saat tangan Angkasa hendak menyentuhnya, Bintang menepis. “Gak usah pegang-pegang.” Membuat rahang pria itu mengetat. “Urus diri kamu sendiri,” ucapnya melangkah pergi mengabaikan darah yang keluar dari kaki Bintang. *** “Bintang kenapa kakinya?” tanya Sena panik saat sang anak berjalan dengan pincang. “Tadi ada pecahan kaca, gak sengaja keinjek. Gak papa kok, Ma.” tersenyum mencoba menenangkan, dia mengusak rambut sang adik yang masih cemberut. “Boleh minta tolong bawain banyak camilan gak buat Kakak? Mau gadang ngerjain tugas.” “Nanti adek bantu,” ucap bocah itu. Tatapannya langsung berubah sinis saat Angkasa datang. Apalagi saat kedua orangtuanya membicarakan tentang pernikahan. Bintang harus mengerjakan tugas. Tapi sebelum itu menelpon dulu teman-temannya menanyakan keadaan Winda. Tapi dalam keadaan sakitpun, Winda masih mengirimi Bintang bahan untuk mengerjakan tugas. Dengan pesan, “Besok kesini ya. Kangen kamu, Bie.” ME: Okey, sorry ya tadi ninggalin kamu. aku kesana pagi kok. Mengerjakan tugas sampai larut malam, ditemani gerimis yang membasahi bumi. Bintang teringat dulu dia selalu pindah ke kamar Angkasa dengan alasan takut. Jika tidak kunjung tidur, Angkasa akan menyanyikannya sebuah lagu dengan iringan gitar, atau memeluknya. “Hoammmmm!” Bintang benar-benar ngantuk, tapi tubuhnya bergerak ke sana sini di atas ranjang. Padahal ini sudah lewat tengah malam. “Hujan,” gumamnya melihat rintik air semakin besar. Bintang memutar kotak music sebagai pengantar tidur, tapi tidak membantu sama sekali. “Loh?” matanya membola ketika mendengar suara gitar dan lantunan suara pelan. Itu Angkasa yang sedang bermain gitar. Dia belum tidur? Mengusap dinding dimana ranjang Angkasa juga menempel disana. Perasaan yang tidak menentu, tapi berhasil membuat Bintang terlelap malam itu. Meskipun tidur sebentar, Bintang merasa nyenyak dengan iringan gitar sepanjang malam. “Kakinya masih sakit, Kak?” “Udah mendingan, Ma. Ini bisa dipake jalan.” “Nanti dianterin sama supir ya, dijemput juga sama supir. Abang kamu ada tugas keluar kota.” “Tugas apa?” “Kumpulan seluruh ketua BEM,” jawab Angkasa yang baru turun dari kamar. “Dua mingguan lagi baru pulang.” “Oh oke…” Tubuh Bintang menegang ketika Angkasa mengusak rambutnya, padahal dia tahu kalau itu adalah pencitraan didepan orangtua saja. “Gak usah pegang-pegang Kakak.” “Ade jangan gitu…” Samudera memperingati. Bintang berangkat lebih pagi diantar sopir. Orangtuanya menyiapkan sopir pribadi untuk Bintang. Dia pergi ke rumah sakit dulu untuk menjenguk Winda. Padahal dulunya Bintang adalah sosok yang mudah bersosialisasi, ceria dank eras kepala. Tapi 3 tahun lalu benar-benar mengubahnya, di London juga Bintang tidak banyak memiliki teman. Hanya satu dua, itu juga datang ketika mereka membutuhkannya. Makannya Bintang sangat senang Winda sudah membawanya ke lingkungan pertemanan yang sehat. “Iya, gue lagi di perjalanan ke rumah sakit. Jangan khawatir, nanti gue ke kampus tepat waktu kok. Beliin gue capucino dong sekalian, sama rotinya ya. nanti gue bayarin.” Winda dikenal sebagai sosok peri, selalu memanggil aku-kamu ketika teman-temannya selalu lu-gue. tapi baiknya Winda membuat mereka menjulukinya sebagai Princess. Bintang saja ikut merasakan kebaikan tersebut. “Bintanggg!” teriak Winda merentangkan tangan. “Kamu gak papa kesini dulu?” “Santai, nanti kalau ada catatan bisa nyontek ke Maura. Kelas dia udah duluan dapet mata kuliah itu.” “Hmmmm… pasti kamu kaget ya kemaren?” “Banget! Kamu kenapa gak ngomong sama aku?” “Kita baru kenal seminggu. Aku pengen kita temenan kayak biasa aja, 10 teman kita yang lain selalu mandang aku dengan tatapan kasihan hanya karena kanker ini.” “Hei, mereka bukan kasihan, tapi sayang sama kamu.” “Iya sih, tetep aja aku ngerasa nyaman kalau mereka gak tahu. Tapi… Yaudahlah, aku seneng kamu datang.” Memeluk Bintang erat. *** Tidak jauh beda dengan Bintang, Winda juga mendapatkan banyak kasih sayang dari kedua orangtuanya. Dia anak satu-satunya dan sedang sakit jadi dijaga dengan sangat baik. Lingkungan pertemanan yang positive juga dan vibesnya yang ceria membuat Bintang mau mengeluarkan sisinya yang terpendam. “Hahahahaha! Si Bintang anjirrrr! Stop ngomong! Lu bikin gue keselek!” “Heh! Gue ngomong kenyataan ya! emang kalau sebagian orang itu tidur mangap kayak gitu.” Dan hal lainnya seperti: “Bintang! Turun lu! Jangan manjat!” “Gue mau ambil buah.” “Jangan bikin gue malu, lu maling.” “Kagak ada maling ya, emang kita juga kan bayar ke kampus.” Beda jika dengan Winda, Bintang akan bicara lebih lembut. “Mau ice cream? Aku beliin ya.” “Gak usah, aku udah beli tadi. Nih buat kamu. Aku traktir ya.” Sebenarnya ada teman yang lain di Fakultas Hukum, tapi Winda malah lengket dengan Bintang. Selama kepergian Angkasa, Bintang terhibur dengan semua kebaikan Winda. “Bie, nanti lu mau ikut nonton gak?” “Enggak deh, gue mau ke toko buku. Ada perlu.” “Nanti aja kan bisa?” Tanya Maura. “Nanti Winda gak ikut kalau lu nggak join. Mana yang lainnya pada sibuk. Yang ikut paling Ritha sama Diani. Oh, Eza sama Beni join sih.” “Tapi gue bener-bener gak bisa. Mau pergi nemenin Nyokap juga.” “Ck!” Maura melipat tangannya di d**a saat Winda datang. “Loh, aku gak tau kamu disini, Ra. Aku bawa cilok Cuma dua bungkus. Bentar ya beli lagi.” “Eh gak usah, Win! Winda!” teriak Maura yang diabaikan. Perempuan itu berdecak. “Gue udah temenan sama Winda sejak SMP, dia itu baik banget. Positive vibes, bisa juga jadi macan kalau emang lagi terancam. Winda tuh rapuh, jadi bikin temen-temennya selalu pengen lindungin dia. Apalagi dia itu baik banget kayak ibu peri.” “Sama siapa aja pas SMP? Gue gak tahu gimana kalian 10-an bisa temenan.” “11 kan sama lu sekarang.” Maura menepuk paha Bintang. “Macam-macam sih. Ada yang dari les, ada yang dari hasil lomba bareng antar sekolah. Macem-macem makannya ada juga kakak tingkat. Sebenernya Winda itu pandai berteman, awalnya aja dia suka canggung. Tapi yang gue lihat, dia paling cocok sama lu sih.” Bintang terkekeh. “Emang iya? Bukannya lu iri karena gue deket sama si Princess?” “Ngapain iri, gue bersyukur ada yang jagain dia.” Maura tersenyum pada sang sahabat ketika dia kembali datang dengan cilook. Mereka bertiga menikmati cilok sambil memandang langit sore di fakultas Hukum. “Aduh… aku mimisan lagi.” Mata Bintang langsung membulat. “Ke rumah sakit lagi ayok.” Apalagi saat Winda mulai pusing. “Bin, sorry gak bisa ikut ya.” “Gak papa, serahin sama gue.” membawa Winda menuju rumah sakit dengan sopir pribadinya. Sang sahabat bersandar pada bahunya. “Tenang, Win, bentar lagi kita sampe.” Pihak rumah sakit yang familiar dengan sosok Winda itu langsung mengambil tindakan. Winda mendapatkan penanganan khusus. Bintang menunggu diluar sampai kedua orangtuanya datang. “Bintang? Makasih ya, Nak,” ucap Mamanya. “Gak papa, Bu. Semoga Winda baik-baik aja.” “Dia pasti membaik.” Untungnya, Winda langsung sadar ketika mereka masuk ke ruangan khusus. “Bintang? Kaget ya? hehehehe, sorry, kalau aku lagi kumat emang gak kenal tempat.” “Bikin aku hampir serangan jantung tahu.” Memeluk Winda. Sosok ini sangat berjasa sampai Wilda dan kawan-kawannya tidak berani lagi menindas Bintang. “Bakalan cepet sembuh kok. apalagi ditemenin temen baik. Nanti kita non─ Kakak!” teriak Winda yang fokusnya teralihkan. Bintang melepaskan pelukan dan menoleh. “Eh, gak kerasa 2 minggu udah selesai aja ya? Winda jadi lemah letih lesu nih kalau LDR sama kesayangannya,” ucap sang wakil rektor III menyambut kedatangan pria muda yang mengenakan jaket. Bintang menahan napasnya sejenak. Kembali dikagetkan saat Winda berbisik, “Ini rahasia yang aku bilang sangat besar ke kamu. Aku ini pacarnya Ketua BEM kita. Hehehehe.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN