Dalam keadaan tubuh yang pegal, hari yang gelap dengan langit mendung, menjadi kombinasi ketakutan untuk Bintang. Sebenarnya dia perempuan manja, tapi dipaksa untuk bisa menghadapi semuanya sendiri. “Mana sih Kang Gojek? Lama bener Bintang nunggu,” gumamnya sambil terus berjalan.
Taksi juga mendadak jarang berlalu lalang. “Sebenernya gak mau naik angkot, tap── Aduh!”
“Maaf, Mbak. saya gak sengaja.”
“Lain kali hati-hati, Mas.” Bintang berdecak kesal. Mana dia harus naik angkot daripada hujan turun lebih dulu.
“Mbak, mau ke daerah mana?”
“Perumahan Riverlee ‘kan? saya biasa lihat angkot warna ini lalu lalang disana.”
“Waduh, kesana kalau ada pesanan khusus sih.”
“Eumm, anterin aja sampe depan gerbang deh, Mas. Nanti saya bayar kok.” Bintang ingin lekas sampai dirumah.
“Bayar dulu kalau gitu ya? 3 kali lipat gak papa?”
“Gak papa.” Segera membuka tasnya untuk mencari dompet. “Eh, dompet aku kemana?”
“Mbak, jangan drama ya. Gak aka nada Pangeran yang bantu. Bayar cepat, udah malem mana mendung juga.”
“Bentar, Mas. saya cari dulu.” Bintang mengobrak-abrik isi tasnya. Sampai ingatannya terlempar pada pria yang menabraknya sebelum masuk ke angkot. “Mas, kayaknya dompet saya diambil deh.”
“Bisa pake Qris. Mau?”
“Boleh!” sayangnya, ponsel Bintang juga mati. “Bo… boleh gak nanti bayarnya disana?”
“Pas dirumah?”
“Enggak sampe rumah anterinnya, Cuma sampe gerbang perumahan aja. Nanti Mas tunggu disana, saya ambil uangnya dulu.”
“Gak bisa dipercaya,” ucap sang supir masuk ke percakapan. “Turunin aja, kita perlu pulang.”
“Loh, Mas! Mas! saya gak bohong! Mas!” teriaknya panik ketika sang kondektur menurunkannya di tepi jalan raya.
Rintik hujan pun bertambah besar, Bintang berteduh di bawah pohon. Tidak ada satupun orang berlalu lalang, Bintang sadar dia tidak bisa selamanya disini. Dia harus pulang menembus hujan daripada terjebak disini semalaman.
Butuh waktu 20 menit berjalan dalam dinginnya malam. Sena yang sedang meminum teh hangat itu membulatkan mata melihat sang anak pulang dengan basah kuyup. “Kakak!” teriaknya panik. “Bibi, tolong bawain handuk.”
Samudera yang sebelumnya bermain game dengan si bungsu juga ikut menoleh. “Kok jalan kaki? Nggak sama Abang?”
“Anu… Bintang… anu….”
“Hangatin diri dulu. Mas, anak kamu hipotermia ini,” ucap Sene mambawa Bintang ke kamarnya. Bibirnya sampai biru akibat kedinginan.
Dibantu oleh pelayan, Bintang berendam air hangat dan diberikan s**u jahe. Sena menghela napas dalam. “Belum makan malam?”
“Belum, Ma.”
“Mama bawain kesini.” Menatap sang pembantu. “Keringin rambutnya ya, Bi.”
“Baik, Bu.”
Sena turun ke lantai dasar, bersamaan dengan Angkasa yang baru saja pulang. amarahnya Sena dapat terasa oleh Bintang, sang Mama menanyakan perihal dirinya yang pulang sendirian dalam keadaan hipotermia.
“Non mau kemana?”
“Bentar, Bi.” Bintang bergegas turun, enggan memperburuk keadaan antara dirinya dan Angkasa. “Ma, ini bukan salah Abang. Bintang emang mau pulang duluan karena Abang masih ada keperluan,” ucapnya saat menuruni tangga. “Tapi dompet Bintang dicuri, terus batre hape mati makannya pulang hujan-hujanan.”
“Kenapa gak ikut Abang kamu? atau Abang kenapa gak mastiin kembaran kamu pulang dengan selamat dulu?"
“Abang banyak kepentingan. Dia juga udah gede, Ma,” ucap Angkasa.
“Ma, Bintang udah masuk mobil duluan. Tapi malah diturunin dijalan karena gak percaya Bintang punya uang. Dan supirnya ada perlu juga.” Bintang mencoba meredakan amarah sang Mama.
“Supirnya kok gak tanggung jawab, Kak?” tanya Samudera. “Salah itu. Tapi amarah gak bisa selesaikan semuanya.” Kepala keluarga itu memeluk bahu sang istri. “Bintang sama Angkasa udah jelasin. Yang penting mereka selamat datang kesini, Sayang.”
Sena menghela napasnya dalam sebelum datang dan memeluk Angkasa. “Nanti jangan kayak gitu lagi, pastiin adek kamu pulang dengan selamat ya, Nak.”
Angkasa membalas pelukan Sena dengan erat. “Abang masih ada kepentingan. Mau nginep di apartemen dulu, Ma.”
“Gak bisa disini aja?”
“Mau ngajak temen, nanti berisik kalau disini.”
“Okeyy, anterin Bintang ke kamarnya. Yang akur kalian.”
Bintang menatap Angkasa yang menatapnya datar, pria itu mendekat kemudian menggenggam tangannya ketika membawa melangkah ke lantai dua. Namun begitu sampai di depan pintu kamar Bintang, Angkasa menghempaskannya dan melanjutkan langkah menuju kamarnya.
Akurnya mereka hanya di depan orangtua saja.
***
“Kak, kue nih dari Mama, tapi ade mau. Ade minta ya?”
Bintang tertawa dan mempersilahkan sang adik masuk setelah menutup buku catatannya. Jupiter yang kini berusia 15 tahun itu tumbuh menjadi pria tinggi, dia suka main basket dan mirip sekali dengan sang Papah. “De, Abang punya apartemen ya?”
“Emang Kakak gak tahu? Bukannya biasanya telponan tiap malem?”
“Ya…. kayaknya banyak cerita sampe yang apartemen kelupaan.”
“Punya di sekitaran kampus. Abang kan ketua BEM tingkat Universitas, jadi super sibuk.” Anak itu menyuapkan kue untuk dirinya sendiri. “Gimana ospeknya? Pasti aman ya, kan si Abang Ketua BEM.”
Bintang terkekeh hambar. Aman apanya, dia mendapatkan tamparan. Tapi Bintang tidak mau mempermasalahkannya karena tidak mau orangtuanya khawatir. Mereka memberi Bintang kasih sayang yang begitu melimpah walaupun dia bukan anak kandung mereka.
Hari-hari berikutnya, Bintang diantarkan oleh supir pribadi sang Papah ke kampus. Pulang juga dijemput. Dan selama 1 minggu ospek, Bintang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari geng Melda dan teman-temannya. Satu hal yang pasti, mereka iri karena Bintang cantik dan beberapa kali mendapatkan perhatian dari panitia pria.
“Jangan sok cantik lu!”
“Mentang-mentang punya muka bule. Pasti lu minta rehat seenaknya kan sama kating?”
“Ngandelin muka, tapi otak gak ada.”
Dulu juga banyak yang iri dengan kecantikan Bintang, apalagi dia sedikit lambat dalam bersosialisasi. Tapi dulu Angkasa selalu melindunginya, beda dengan sekarang yang hanya menatapnya dengan datar.
Sebagai ketua BEM, angkasa juga memiliki banyak pengagum. Karena Angkasa kuliah Hukum, maka dia lebih sering berada di Fakultas Hukum selama Ospek berlangsung. Dia begitu hebat di maata Bintang, sama seperti hari-hari sebelumnya.
“Akhirnyaaa kita selesai juga ospekkkkk!” teriak Winda sambil bersandar pada Bintang. “Eh, sorry hehehehe. Enak banget sandaran.”
“Santai aja. Lu kelas apa?”
“Loh? Emangnya udah keluar?”
“Coba cek siakad,” ucap Bintang.
“Gue…. kelas A!”
“Sama dong sama gue.”
“Iya? Wahhh bareng ya nanti. Nama lu Bintang ‘kan? Gue Winda.”
Bintang tersenyum, setidaknya dia mendapatkan satu teman untuk minggu pertama masuk kuliah nanti. Meskipun masih mendapatkan sindiran dari Melda dan teman-temannya, Bintang merasa terobati dengan Winda yang mengatakan, “Abai aja, orang kayak gitu keliatan syiriknya. Lu kan cantik.”
“Hahahaha, iya deh. Gue duluan ya, udah ada yang jemput di depan sana.” Bintang berlari menuju ke halte kampus. Tapi untuk mencapai tempat itu, Bintang harus melewati kumpulan panitia Ospek yang baru selesai makan malam.
Ada Angkasa juga disana. Bintang menatap lama pada kembarannya sampai tidak sadar ada batu didepannya. BRUK! Dia jatuh dengan posisi tengkurap.
“Waduhhh, ade gak papa?”
“Mana yang sakit? Sini ditiup sama Kakak.”
Banyak kakak tingkat laki-laki yang membantu, kecuali Angkasa yang tetap melangkah pergi mengabaikan.
***
“Ada waktu 3 hari sebelum kuliah ‘kan?” tanya Sena saat makan malam.
“Iya, Ma,” jawab Bintang.
“Abang masih ada perlu di apartemen?”
“Masih, Ma. Abis ini juga mau langsung kesana. Harus cepet-cepet LPJ biar gak repot pas masa akhir kepengurusan.”
“Ajak Bintang ya, sekalian dia belajar Hukum dari kamu. Mama sama Papa mau keluar kota dulu, sama adik kamu mau dibawa juga.”
“Kenapa ade dibawa mulu dahhhh? Mau disini sama Kakak,” rengek Jupiter.
“Katanya mau ikut sama Papah nyelidikin kasus. Pindah haluan gak mau jadi pengacara?”
“Kepikiran buat jadi dokter buat nerusin usaha Opa sih, tapi…. Ikut deh. Adek mau pamer ke temen abis jalan-jalan.”
Sena menggelengkan kepala mendengarnya. “Ya, Bang? Bisa nggak bawa adek kamu?”
“Iya,” jawab Angkasa dengan wajah yang datar. Bintang tahu apa yang ada dipikiran pria itu. Karena begitu mereka naik ke lantai dua, Angkasa langsung berkata, “Cari alasan gak ikut. Kalau kamu kesana, Cuma ganggu aja.”
“Jangan Cuma Bintang, Abang juga bantuin.”
Angkasa menoleh dengan tatapa tajam, Bintang menelan salivanya kasar. “Oke fine! Bintang yang bilang. Gak usah melotot gitu, bisa kali? Nanti matanya keluar,” ucapnya sambil mendumal dan masuk ke dalam kamar.
Setelah pembicaraan ulang dengan alasan Bintang malas bertemu teman-teman Angkasa, maka Sena tidak lagi memaksa sang anak untuk menginap di apartemen kembarannya. Jadi Bintang menghabiskan waktunya untuk mengembangkan kehidupan sosialnya. Lewat internet dia belajar bagaimana cara mendapatkan teman dengan cepat.
Namun di sabtu malam, Sena yang ada diluar kota menelpon Bintang untuk menngantarkan memeriksa keadaan Angkasa karena tidak kunjung menerima telponnya. Malam itu, Bintang pergi diantarkan oleh sang supir yang mengetahui alamatnya. “Nomor berapa, Pak?”
Sang supir memberitahu Bintang. “Loh, emangnya gak tahu?” sampai bingung sendiri setelah Bintang pergi.
Angkasa memang susah dihubungi, panggilannya berdering tapi tidak diangkat. “Kodenya apa lagi,” gumam Bintang bingung.
Dia mencoba tanggal lahir yang paling klasik. “Lah, dia pake tanggal lahir aku?” gumam Bintang senang. “Weh, kan sama lahirnya.”
Menelan salivanya kasar, Bintang berusaha memmpersiapkan wajah tegasnya juga untuk menghadapi Angkasa. “Abang? Bang?” panggilnya. “Angkasa?” memeriksa setiap ruang, tapi Angkasa tidak ada. “Malam minggu? Apa dia diluar kali ya?”
Sena kembali mengiriminya pesan, menanyakan Angkasa. Karena Bintang tidak mau mengecewakan sang Mama, jadi dia memilih menunggu Angkasa sambil merebahkan diri di atas sofa. Sambil menyalakan televisi, Bintang akhirnya mengantuk dan terlelap.
Apartemen ini sangat nyaman hingga Bintang begitu nyenyak. BRAK! Sampai pintu yang terbuka tiba-tiba membuat Bintang membuka mata seketika. “Ab…. Ekhem! Kemana aja sih? Mama nyariin sampe telponin Bintang, kasihan dia khawatir. Malah ilang segala.”
Angkasa mengangkat pandangan, matanya merah dengan rambutnya yang kusut.
“Kamu… gak papa ‘kan?” tanya Bintang agak khawatir, tapi dia takut juga ketika Angkasa tiba-tiba mendekat padanya.
Perempuan itu melangkah mundur. “Aku bakalan pergi kok! jangan nakutin kayak gitu! Minggir!”
“Jadilah manusia berguna,” ucap Angkasa sebelum menarik tangan Bintang dan tiba-tiba menyatukan bibir keduanya.
Bintang hendak memberontak, tapi gerakannya dibatasi. Pergelangan tangannya sakit, dia dipaksa berbaring di lantai. Dengan bibir yang dibungkam dengan ciuman. “Nggak… jangan.. lepas, Abanggg!” teriaknya panik ketika tangan Angkasa mulai menyentuh hal lain.