Bab 4 Jebakan

1278 Kata
Meta dan Cyndi melangkahkan kaki mereka menuju perpustakaan. Untuk apa lagi mereka ke sana kalau bukan untuk menemui Lingga yang kesehariannya di kampus dihabiskan dengan membaca buku. Mereka berniat membalas dendam pada pria itu karena sudah mempermalukan Rere di depan umum. Benar saja pria yang mereka cari sedang duduk di sudut ruangan menekuri buku yang entah apa judulnya. Meta duduk di depan bangku yang di duduki Lingga sementara Cyndi berpura-pura mencari buku kemudian duduk di samping Meta sambil meletakkan buku yang dia cari di atas meja. “Sayang banget yah Rere nggak ikut.” Meta memulai drama. “Iyah, ngapain juga si tuh anak pake sakit, padahal kan lagi ada tugas.” “Rere sakit apa?” Seperti yang mereka duga Lingga tidak akan tinggal diam mendengar gadis yang disukainya sakit. “Eh, kamu ngomong sama kita?” Cyndi pura-pura bodoh. Kan? Cyndi memang ahlinya berbohong. “Emang ada siapa lagi di sini?” Wow, di luar dugaan Lingga berani menjawab padahal Cyndi dan Meta mengira pria itu akan menjawab dengan tergagap dan menunduk seperti biasanya. “Aku belum tau sih, cuma hari ini Rere nggak masuk katanya sakit.” Oke, langsung pada intinya saja. Meta ingin Lingga segera ke tempat kost Rere seperti rencana mereka. Dan seperti yang mereka harapkan pria itu langsung bangkit dan bergegas pergi begitu saja meninggalkan dua orang yang sekarang tersenyum penuh arti. Lingga menjalankan motor butut yang selalu menemaninya kemanapun dirinya pergi. Sayang dalam kondisi darurat seperti ini motornya tidak bisa diajak jalan cepat. Beberapa saat kemudian Lingga tiba di tempat Rere. Berlari ke teras dia mengetuk pintu. “Ngapain kesini?” ketus Rere seperti biasa saat membuka pintu. “Kamu sakit?” Lingga balas bertanya. “Terus apa urusannya sama kamu kalo aku sakit?” Ada perasaan menghangat di hati Rere melihat pria itu begitu perhatian membuatnya tidak ingin melakukan rencana mereka. Karenanya alih-alih melembutkan sikap pada Lingga seperti yang direncanakan dia memilih tetap ketus berharap Lingga tidak terjebak. Namun ternyata laki-laki ini cukup keras kepala membuat Rere berubah pikiran dan ingin melanjutkan rencana mereka. “Aku boleh masuk nggak?” Rere membuka pintu kemudian sedikit menyingkir mempersilakan pria itu masuk lalu sama-sama duduk di lantai yang hanya dilapisi karpet. “Sakit apa?” “Aku nggak sakit!” “Meta sama Cyndi bilang kamu sakit makanya aku buru-buru kesini.” Selama lima detik Rere menatap lekat manik kebiruan milik Lingga. Lalu tanpa aba-aba dia menubruk Lingga yang tidak siap membuat pria dengan tubuh tinggi itu terbaring di lantai. Jantung Rere terasa mengenaskan sekarang karena berdetak tidak pada temponya. Setengah mati dia menahan malu, merendahkan harga diri demi menjalankan rencananya balas dendam. Jangan tanyakan kondisi jantung Lingga yang juga berdetak berkali-kali lipat dari sebelumnya. Dia tidak menyangka gadis yang dicintainya itu punya sisi liar seperti ini. Rere mulai membelai pipi pria di bawahnya, memainkan bulu yang baru tumbuh di rahang membuat Lingga memejamkan mata. Tidak bisa dipungkiri ada yang bereaksi di bawah sana. Bagaimana pun Lingga pria normal terlepas dari penampilannya. Rere menempelkan bibirnya pada bibir Lingga, hanya menempel namun bisa dipastikan mereka akan terkena serangan jantung kalau tidak segera dihentikan. Walau tidak dipungkiri ada rasa yang sulit mereka artikan, rasanya begitu membahagiakan. Namun ini salah, Lingga tidak boleh terlena atau dia akan menyakiti gadisnya kalau sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Pria itu hendak bangkit saat Rere menariknya kembali dan jatuh dengan posisi berbalik, Lingga berada di atas. Brakk!! Pintu terbuka menampilkan Meta,Cyndi dan Brian dengan mata melotot. “Apa yang lo lakuin, huh? b******k!!” Brian menarik Lingga bangun dan langsung memukulnya sekali. Para gadis yang tidak menyangka akan melihat adegan di depan mereka menjerit. Tidak ada adegan pukul memukul dalam rencana mereka. “Kamu apain Rere, b******k?!!” teriak Brian dengan mata memerah membuat mereka bingung. Total sekali acting pria itu, begitu mereka pikir. Mereka tidak tahu saja Brian benar-benar cemburu melihat betapa intim Rere dan Lingga saat dirinya membuka pintu. “Aku nggak ngapa-ngapain, Rere .... ” Lingga berusaha menjelaskan namun urung mendengar gadis itu mengelak. “Bohong! Dia mau perkosa aku!” tuduh Rere dengan air mata menetes di pipi. Mereka lebih dari pantas untuk menjadi artis dan sutradaranya, benar-benar lihai memainkan peran. Lingga tertegun, tanpa dia duga Rere menuduhkan hal kejam padanya. Dia tidak menyangka gadis manis pujaannya bisa berubah menjadi gadis yang mengerikan. Dan pengakuan kejam Rere membuat Brian kalap hingga memukul Lingga berkali-kali. Rere menutup mulut yang menganga melihat Brian dengan brutal melayangkan pukulan demi pukulan. “Udah, Bri!” Meta menarik kuat agar Brian melepaskan Lingga. Pria itu sudah tidak berdaya. “Dia bisa mati kalo kamu kaya gini!” peringat Meta membuat Brian menghentikan aksinya. Rere berjalan ke arah pria yang kini tergolek dengan sudut bibir dan hidung mengucur darah. Air matanya luruh. Bukan air mata palsu tapi dia benar-benar menangis menyesali kebodohannya merencanakan hal konyol itu. Andai tidak dia iyakan rencana teman-temannya pasti tidak akan terjadi hal seperti ini. Rere ingin menyentuh wajah Lingga yang sudah lebam di semua bagian namun tanpa dia duga pria itu menepis kasar tangannya. Entah kenapa sikap Lingga yang seperti ini membuat hati Rere berdenyut sakit. Pria itu kemudian bangkit, lalu berjalan tertatih ke arah motornya dan mulai melaju. Apakah dia bisa menjalankan motornya dengan benar? Bagaimana kalau dia jatuh di jalan? Batin Rere berkecamuk. “Kamu kenapa si, Bri? Ini nggak ada dalam skenario kita!” Cyndi mulai mengomel. Menurutnya Brian sudah keterlaluan. Dia tadi shock sampai tidak bisa berkata-kata apalagi menghentikan. Pun dengan Rere yang hanya bisa menatap nanar. Beruntung Meta masih punya kewarasan hingga mampu menghentikan kebrutalan Brian. “Kamu nggak liat gimana dia perlakuin Rere tadi?” Tentu saja Brian membela diri. “Ini kan udah kita rencanain. Kita cuma butuh rekamannya bukan adegan pukul memukul gitu. Gimana kalo dia laporin kita ke polisi, huh?” Benar, sudah terpasang kamera tersembunyi di kamar itu. Semua yang terjadi terekam di sana. “Kita ancem buat sebarin videonya kalo dia sampe lapor polisi, beres kan?” timpal Brian seenaknya. “Nggak gitu aturannya, Bri.” Cyndi capek memberi pengertian pada pria bebal di depannya. Mendekat pada Rere yang duduk dengan lutut di tekuk dan menyembunyikan wajahnya di sana kemudian mengusap punggungnya. “Sorry .... ” Meta ikut mendekat dan memeluk kedua sahabatnya. “Maafin kita ya, Beb.” “Aku pusing, boleh nggak aku sendiri dulu?” tanya Rere setelah beberapa saat diam. “Jangan gitu dong, Re. Kita nggak bisa ninggalin kamu kaya gini.” “Aku nggak pa pa kok, Met. Cuma pengen tidur bentar.” “Ya udah deh kalo gitu kamu istirahat aja, kalo butuh apa-apa hubungi kita ya?” Cyndi tahu Rere sedang tidak baik-baik saja. Pasti sahabatnya yang sebenarnya mempunyai sifat lemah lembut itu menyesal atas semua yang terjadi. Dia hanya tidak ingin Rere menanggungnya sendiri karena rencana itu datang atas saran darinya. Mereka berpelukan sekali lagi sementara Brian memilih keluar. Dia tidak sanggup melihat Rere menangis. Kalau tahu kejadiannya akan seperti ini dia akan memilih untuk menahan amarahnya. Tapi bukankah penyesalan selalu datang di akhir? Rere mengurai pelukan kemudian mengangguk, “Sorry, aku nggak maksud ngusir. Aku cuma .... ” “Nggak pa pa, kita ngerti kok,” potong Meta. Kini mereka paham, Rere tidak sepenuhnya benci pada Lingga. Gadis itu hanya membangun benteng sebagai tameng agar tidak ada yang bisa menembus pertahanannya. Bukan hanya untuk Lingga tapi juga semua pria yang berusaha mendekatinya. Tujuannya cuma satu dia tidak ingin mengalami apa yang dialami oleh ibunya. Pengalaman yang ibu Rere alami memberinya pelajaran untuk tidak memilih pria sembarangan apalagi untuk dijadikan pendamping hidup. Ayah yang konon benar mencintai ibunya saja bisa meninggalkan mereka begitu saja apalagi kalau hanya sebuah ucapan cinta. Rere tidak pernah percaya kata itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN