Bab 7 Gara-gara Kamu!

1284 Kata
Hari ini Lingga kembali mendapat panggilan dari kampus tempatnya kuliah. Seperti kemarin dia tidak bisa hadir karena wajahnya yang penuh lebam hari ini pun sama karena pria itu tengah menjalani perawatan di rumah sakit. Lingga dapat panggilan terkait video mesumnya dengan Rere. Dia sudah mendapat ancaman DO. Lingga menghela nafas yang rasanya sangat berat. Ternyata dia tidak bisa menyelesaikan kuliahnya dengan baik hanya karena tuduhan yang tidak dia lakukan walau pada akhirnya dia melakukannya juga. Dia menjadikan nyata tuduhan itu hanya saja berbeda tempat dan waktu. Karenanya alih-alih melakukan klarifikasi dia lebih memilih menerima apapun keputusan kampus. “Kamu harus klarifikasi, kamu harus bilang ke semua orang kalo kamu nggak salah.” Menurut Sandra isi video itu tidak membuktikan apapun, itu hanya jebakan. Gadis itu sedang menemaninya di rumah sakit karena orang tua Lingga belum pulang dari London. “Tapi pada akhirnya aku emang lakuin itu.” “Jadi bener?” Sandra benar-benar tidak percaya pria yang menurutnya baik hati bisa melakukan hal kejam bahkan pada gadis yang dia cintai. Ada sedikit rasa tidak rela dalam hatinya Lingga menyentuh gadis lain. Pria itu mengangguk, “Aku nggak bisa ngontrol emosi saat dia datang ke rumah. Kemarin aku lagi kesel karena kejadian itu ditambah masalah video yang beredar di kampus. Aku bener-bener marah. Aku pikir Rere yang sebarin video itu.” “Emang udah kamu tanyain?” Menggeleng, itulah yang Lingga sesali sekarang. “Aku nggak minta penjelasan sama dia.” Lingga menarik nafas panjang kemudian membuangnya. Terasa sesak. “Aku terlalu marah hingga nggak bisa mikir apapun,” akunya menoleh pada sang sahabat yang duduk di samping brankar. “Boleh minta tolong?” tanyanya. “Apa?” “Tolong tanyain ke Meta atau Cyndi gimana keadaan Rere!” “Tadi aku udah nanya, katanya ... Rere sakit.” Sebenarnya Sandra tidak ingin memberi tahu Lingga perihal kondisi Rere tapi pria itu kini bertanya, jadi dia tidak bisa bohong. Lingga mengusap sudut matanya yang berair. “Dia pasti hancur sekarang,” sesalnya. “Udah, yang penting kamu sehat dulu. Ntar kalo udah sembuh kamu bisa temuin dia.” “Kayaknya nggak mungkin,” jawab Lingga lemah. “Kenapa?” “Kamu pikir aku masih punya nyali, kamu pikir aku nggak malu? Aku malu, San. Aku malu karena udah nyakitin gadis yang aku sayang. Demi Tuhan aku malu, aku nyesel udah nyakitin dia.” Bulir bening itu akhirnya mengaliri pipi Lingga. “Ya udah istirahat gih!” Sandra mengambil selimut yang ada di brankar kemudian memakaikannya pada kaki pria itu. “Tadi om Damy telepon waktu kamu di kamar mandi, beliau bilang mereka udah hampir sampai bandara.” Demian adalah ayah Lingga. Demian dan Nata, orang tua pria itu jarang sekali pulang ke Indonesia jika tidak ada hal penting. Mereka sibuk mengurus perusahaan di London. “Biar aku yang jemput mereka.” “Makasih, San. Kamu jadi repot gara-gara aku.” “Aku nggak repot, ke bandara dulu ya,” pamit Sandra yang dibalas anggukan pria itu. *** Di dalam kamar kost empat sekawan itu sedang berkumpul. Membicarakan langkah apa yang akan mereka ambil. Melakukan klarifikasi dan melaporkan hal yang sebenarnya terjadi pada pihak kampus atau menutup saja kasus yang dialami Rere. Rere masih diam tidak mengatakan apapun. Sikap gadis itu yang seperti ini membuat ketiga temannya kebingungan. Rere hanya mengangguk atau menggeleng saja saat mereka tanya. Tidak mengeluarkan kalimat apapun. Gadis itu masih kecewa dengan Brian yang ternyata pelaku penyebaran video itu. Gara-gara video itulah sekarang dia harus kehilangan satu-satunya harta paling berharga yang dia miliki. Rere menyesalkan sikap Brian yang gegabah. Tidak seharusnya dia bertindak sendiri karena dalam rencana itu mereka berempat terlibat. Lagi pula Lingga sudah dibuatnya babak belur waktu itu tanpa alasan apapun. Bukankah pria itu yang seharusnya marah karena merasa dijebak? Yang seharusnya melakukan pemukulan juga Lingga bukan? Entahlah apa yang mendasari sikap Brian yang menurut Rere keterlaluan itu. Mengingat kembali cara Lingga memperlakukannya kemarin membuat hati Rere kembali sakit. Ditengah diskusi mereka yang justru tidak terlihat seperti diskusi karena Brian selalu memaksakan kehendak, gadis itu menangis dalam diam. Ada perasaan takut beasiswanya dicabut, dia takut dikeluarkan dari kampus, dan yang paling membuatnya takut dan malu adalah kalau dirinya sampai hamil. Meta yang melihat Rere kembali menangis mendekat. “Udah, Re jangan nangis terus. Udah bengkak tuh mata," ucapnya. “Apa yang harus aku lakuin biar kamu nggak nangis lagi? Perlu aku bunuh pria b******k itu buat kamu?” Ucapan Brian bukan membuat hati Rere membaik malah semakin sesak, air matanya kembali luruh. “Apaan sih, Bri! Jangan memperkeruh suasana deh! Ini kita lagi cari jalan keluar bukan cari masalah baru,” timpal Cyndi menggebu. “Lagian kalo kamu nggak sebarin video itu, aku yakin Lingga nggak akan semarah itu dan berlaku kasar sama Rere.” “Kamu nyalahin aku?” “Menurut kamu?” “Kan ini rencana kita semua, lagian yang bikin ide kaya gini siapa, kamu kan?” Brian balik menyalahkan gadis yang menjadi otak rencana busuk mereka. Cyndi tahu dia salah, sekarang dia juga menyesal karena tindakan konyol mereka berimbas buruk pada sahabatnya. “Oke, aku yang salah. Tapi seharusnya kamu nggak bertindak sendiri, Bri. Kita rencanain sama-sama, jalaninnya juga sama-sama. Lagian kamu belum puas udah gebukin Lingga sampe babak belur gitu. Alasannya apa coba kamu gebukin dia?” “Ya aku kesel lah dia sentuh Rere!” Brian meradang, suaranya mulai meninggi. “Kan itu bagian dari rencana kita, Bri.” Lembut, Meta coba memberi pengertian. “Tetep aja .... ” “Stop! Nggak ada gunanya kita debat. Toh nasi udah jadi bubur. Kita hanya perlu tanggung jawab apa yang udah kita lakuin. Kita klarifikasi kalo itu cuma jebakan.” Akhirnya Rere bersuara. Sungguh dia kesal bukan main pada Brian. Pria yang selama ini lembut padanya ternyata juga menyeramkan. “Nggak bisa gitu dong, Re. Dia beneran lecehin kamu ... bahkan lebih dari itu!” bantah Brian. Mereka sudah tahu kejadian sebenarnya dari Rere. Dia memilih jujur pada ketiga sahabatnya agar jika terjadi masalah ke depannya gadis itu tidak menanggung sendirian. “Itu gara-gara kamu!” teriak Rere membuat mereka semua diam terlebih Brian yang tidak menyangka Rere semarah itu padanya. “Maaf, Bri kali ini aku nggak bisa benerin sikap kamu. Yang aku liat dari sikap kamu kemarin bukan karena kamu jalanin rencana kita. Aku nggak tau gara-gara apa kamu mukulin Lingga, gara-gara apa juga kamu nyebarin video itu. Kamu punya dendam pribadi sama dia?” tanyanya. Pria itu hanya membalas dengan gelengan. “Maaf kalo kamu ngerasa gitu. Aku cuma nggak suka kamu terlalu intim sama dia. Aku nggak suka kamu dilecehin sama dia.” “Terus apa yang aku dapet?” Rere menjeda sejenak ucapannya, nafasnya memburu. “Lingga dendam sama aku karena ngira aku yang sebarin video itu, kamu ngerti nggak si, Bri, hu ... hu .... ” Meta memeluk erat Rere yang kembali tersedu. Sungguh ia tidak tahan mendengar tangis pilu itu. Rere yang biasanya ceria kadang juga nyebelin kalau urusan menghadapi laki-laki kini terlihat lemah. “Besok kalo udah baikan kita ngadep ke rektor. Kamu boleh ungkapin apa aja yang pingin kamu ungkapin. Apapun hasilnya, kalo emang kita harus dihukum gara-gara masalah kemarin aku rela karena kita emang salah. Please jangan nangis lagi.” “Iya Re, aku juga siap dihukum.” Cyndi memperlihatkan senyum manisnya meyakinkan bahwa dia juga rela jika harus menjalani hukuman. “Ya udah aku ikut aja, paling skorsing.” Brian juga ikut tersenyum. “Jangan sedih lagi ya, aku minta maaf udah bikin kamu dalam situasi gini. Aku nggak ada maksud nyakitin kamu, Re.” Perasaan bersalah nampak di wajah tampannya. Rere mengangguk kemudian menenggelamkan wajahnya dalam pelukan Meta. Pun Brian dan Cyndi yang kini ikut memeluk. Menyalurkan kekuatan untuk gadis yang tengah rapuh itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN