Bab 6 Hancur

1435 Kata
Meta membuka room chatnya dengan Rere. Gadis itu belum membalas satu pun pesannya padahal sudah dua centang biru. Dengan perasaan khawatir Meta berusaha menelepon sahabatnya itu namun tidak diangkat padahal aktif. “Kenapa nggak diangkat si, Re?” Meta bergumam mengundang perhatian Cyndi. “Gimana?” “Nggak diangkat padahal berdering. Aku khawatir deh.” Pasalnya tadi pagi Rere nitip ijin pada Meta tidak bisa masuk karena sakit. Dia yakin sahabatnya tidak baik-baik saja apalagi setelah melihat pesan di grup. “Sama aku juga khawatir. Dia pasti shock banget sih. Lagi sakit juga. Ini jam kenapa lama bener yak? Udah pengen buru-buru pulang liat kondisi tuh anak.” Cyndi melirik arloji yang menempel pada tangan kirinya baru pukul sepuluh. “Iya ni, mana ada kelas madam Lee lagi.” Salah satu dosen killer yang membuat tidak ada satu pun mahasiswa yang berani membolos di jam mengajarnya. “Lagi Brian di mana sih? Bikin kesel aja!” Sampai sekarang pria yang biasanya tampak kalem itu belum kelihatan batang hidungnya membuat mereka terutama Cyndi kesal bukan main. Dia yakin dua ribu persen bahwa pelaku yang menyebarkan video itu adalah Brian. “Apa mungkin mereka lagi sama-sama? Coba deh, Cyn, kamu telepon kali aja diangkat,” titah Meta. Cyndi mengambil ponselnya di saku celana dan mengejutkan pria yang dari pagi mereka cari ternyata mengiriminya pesan. Brian : “Aku nggak masuk hari ini. Rere keluar dari kost-an, aku mau buntutin dia, takut kenapa-napa.” “Nih orangnya ngechat.” Cyndi menyodorkan ponsel yang masih menampilkan isi pesan dari pria itu. “Emang Rere kemana ya, kok nggak bales chat kita sih?” Biasanya anak itu selalu bicara sama teman-temannya jika akan pergi. Lah ini pesan mereka saja tidak dibalas. Jangan-jangan gadis itu marah sama mereka. Meta jadi sedih. “Cyn, coba deh telepon Brian. Tanyain si Rere kemana, terus beneran nggak dia yang nyebarin video itu?” Cyndi menghela nafas berat, nomor Brian sudah tidak aktif. “Udah yuk, capek nggak aktif mulu!” keluhnya. *** Rere menahan sebagian bajunya yang sudah sobek karena Lingga menariknya paksa namun sial dia kalah kuat membuat bajunya lepas begitu saja. Sia-sia sudah usaha Rere mempertahankan satu-satunya baju yang masih menempel di tubuhnya. Kini yang terpampang di depan Lingga adalah tubuh molek gadis yang dia cintai. Mungkin bukan cinta. Kalau cinta tidak mungkin Lingga setega itu berniat menodai gadisnya. Ponsel Rere berdering, gadis itu mencoba peruntungan terakhirnya dengan menggapai tas yang berisi ponsel di sudut ranjang namun gagal karena dengan gampang Lingga mengambil dan membuangnya ke sudut ruangan. “Lingga, please ... jangan lakuin itu.” Rere menghiba. “Tenang aja, nggak bakalan sakit, kok. Bukannya kamu udah sering lakuin sama cowok lain?” Rere menggeleng. Ternyata serendah itu Lingga menilai dirinya. Tangis gadis itu yang tergugu nyatanya tidak sedikit pun membuat pria yang sudah diliputi nafsu itu mengurungkan niatnya. Lingga mulai menanggalkan celana yang dia pakai. “Stop, Lingga. Aku mohon .... “ pinta Rere sambil terus memberikan rontaan yang sia-sia. Lingga bergeming seolah tidak mendengar apapun. Mengikat tangan Rere dengan gesper yang dia lepas dari celana kemudian melakukan hal yang paling gadis itu takutkan. Ya, Lingga merenggut mahkota paling berharga milik Rere. “Arrghh ... sakit.” Lingga tertegun sejenak mendengar teriakan Rere yang merasakan tubuhnya seakan terbelah menjadi dua. Namun setelah itu dia justru menghujamnya dengan keras. Lingga benar-benar tidak punya perasaan. Amarah menguasai. Tidak dia pedulikan lagi tangis kesakitan gadisnya. “Bukankah ini yang kamu mau?” tanya Lingga di sela kegiatannya. Rere menggeleng. Tidak, dia tidak menginginkan ini. Dia ingin pergi dari tempat laknat ini. “Terus apa maksud kamu menyebarkan video itu, huh? Kamu pingin aku hancur kan? Kalo gitu ayo kita saling menghancurkan,” ujar Lingga tanpa menghentikan aksinya. Kembali menggeleng, “Bukan aku,” gumam Rere dengan air mata yang mengalir semakin deras. Kini dia tahu maksud ucapan Lingga saat dirinya meminta maaf tadi. Ternyata pria itu menginginkan Rere meminta maaf juga atas menyebarnya video kejadian yang mereka rekam, pagi ini di kampus. Lingga salah paham mengira dirinya yang menyebarkan video itu. Namun semua terlambat. Gadis itu sudah hancur sekarang. Lingga merasa puas dengan permainannya sendiri, bahkan sampai melakukannya berkali-kali tanpa mau mempedulikan rasa sakit yang dirasakan gadis di bawahnya, bukan cuma sakit fisik tapi juga batin. Sedangkan Rere memejamkan matanya dalam. Bukan, bukan menikmati permainan Lingga tapi menahan sakit yang semakin lama semakin terasa karena iblis itu memperlakukannya dengan sangat kasar. Selesai dengan aksinya Lingga meraih kembali celananya kemudian masuk ke kamar mandi tanpa sepatah kata pun. Dia memperhatikan wajah kejamnya di cermin kemudian meninjunya keras hingga terdengar suara pecahan kaca di telinga Rere. Lingga benci dengan dirinya yang kejam. Dia benci karena telah mengambil harta paling berharga milik gadisnya dengan tidak semestinya. Lingga merasa sakit mendengar jerit tangis Rere. Dia merasa sakit karena ternyata dugaannya yang menyangka Rere sudah tidak perawan mengingat bagaimana liarnya gadis itu saat menjebaknya kemarin itu salah. Walau tidak dipungkiri ada perasaan membuncah mengetahui dirinya yang pertama bagi gadis itu. Tapi seharusnya tidak dengan cara seperti itu bukan? Rere menatap nanar plafon kamar Lingga yang berwarna kelabu, persis seperti kondisi hatinya saat ini. Beberapa saat lalu, kehormatannya baru saja direnggut paksa oleh pria yang konon mencintainya. Bullshit! Lihat kan? Kata cinta yang banyak orang agungkan? Haruskah dia percaya dengan kata itu setelah sekali lagi kejadian yang membuatnya menderita selain kisah orang tuanya? Mengingat itu, air mata Rere kembali luruh, dia tidak bisa lagi menahan tangis yang terdengar menyayat hati membuat Lingga yang masih berada di kamar mandi kembali memukul apapun yang ada di depannya. Rasa sesak yang dirasakannya semakin menjadi menimbulkan penyesalan luar biasa. Membuat air bening yang tidak pernah mengalir melalui matanya itu meluruh. Rere meraih selimut untuk menutupi tubuhnya dan meraih ponsel dalam tas sebelum pintu dibuka paksa. Braakk! Brian mematung di depan pintu melihat penampakan di depan yang membuat hatinya berdenyut sakit. Rere membalut tubuhnya menggunakan selimut dengan mata dan hidung memerah karena terlalu lama menangis. “Bri, hu ... hu ... hu ....” Brian berlari memeluk tubuh yang kini merentangkan tangan. Rere butuh perlindungan saat ini walau pikirannya sempat menolak karena teringat ulah pria itu pagi ini di kampus. Beruntung dia sudah menggunakan selimut dengan benar sehingga Brian tidak melihat anggota tubuh yang tidak seharusnya pria itu lihat. Cukup Lingga saja yang melihatnya. Lingga membuka pintu. Melihat itu Brian mengurai pelukan kemudian dengan amarah yang bergejolak berlari ke arah Lingga dan menghujaminya dengan pukulan keras membuat wajah yang sudah lebam itu semakin lebam. Sementara Rere hanya bisa menangis. Entah apa yang ditangisinya, Lingga yang babak belur atau nasibnya yang kini tidak bisa diselamatkan. “Cukup, Bri,” lirih gadis itu melihat Lingga sudah tak berdaya. Bukan tidak mau membalas tapi pria itu memilih tidak melawan untuk mengurangi rasa bersalahnya pada Rere. Tapi Brian tidak mau berhenti, kalau bisa dia ingin menghabisi saja pria b******k yang telah menodai gadis yang memenuhi hatinya itu. “Stop! Kamu apa-apaan si, Bri!” teriak Sandra sambil lari tergopoh-gopoh meraih Lingga yang sudah lunglai. “Dia yang apa-apaan?” jawab Brian dengan nafas memburu. “Kamu liat?” Tangannya menunjuk ke arah Rere yang menutup matanya dengan kedua tangan. “Liat yang dia lakuin sama Rere!” marahnya. Sandra menoleh, karena terlalu panik melihat Brian memukuli Lingga dia tidak menyadari ada Rere di atas ranjang dengan kondisi mengenaskan. “Ini apa? Lingga, kamu apain Rere?” Gadis itu bertanya dengan embun siap meluncur dari matanya. Kalau benar yang dia pikirkan, Sandra tidak menyangka Lingga bisa melakukan hal keji seperti itu. Yang ditanya hanya diam menatap lekat wajah pucat Rere, bukan karena tidak bisa menjawab lantaran bibirnya bengkak tapi karena penyesalan dalam membuatnya tidak bisa berkata-kata. Dia tidak tahan mendengar tangis pilu gadisnya. Ingin rasanya berlari dan memeluk gadis itu tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa sekarang bahkan untuk berdiri saja tidak mampu. “Bri, tolong anterin aku pulang.” Sungguh, Lingga tidak tahan lagi. Sekuat tenaga dia bangkit berniat memeluk gadisnya tapi setelah susah payah berdiri dan mendekat tanpa dia duga Rere menjerit ketakutan yang sontak membuat langkah pria itu terhenti. Dadanya sakit luar biasa bukan karena pukulan Brian tapi melihat Rere ketakutan saat dia mendekat adalah hal paling menyesakkan yang dia rasakan. “Ayo.” Brian menggendong Rere yang hanya berbalut selimut. Beruntung pria itu membawa mobil sehingga tidak ada orang lain yang melihat Rere dalam kondisi seperti ini. Sesaat sebelum gadis itu pergi menemui Lingga dia bersembunyi di balik pohon untuk membuntuti. Namun belum sampai di tempat dia mendapat telepon dari seseorang membuatnya urung mengikuti Rere. Kalau saja Brian memilih terus mengikuti gadis itu mungkin kejadian naas ini tidak terjadi. Kini hanya penyesalan yang memenuhi benaknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN