Bab 8 Lingga Pergi

1220 Kata
Suasana pagi ini tampak cerah namun tak secerah suasana hati Rere. Sejak kejadian naas beberapa hari lalu wajah gadis itu selalu terlihat mendung. Selesai mengenakan outfitnya gadis itu berjalan menuju rak sepatu untuk mengambil satu-satunya sneaker buluk yang dia miliki kemudian memakainya. Melangkah keluar, dia mengunci pintu kamar kemudian duduk di teras menunggu jemputan. Mereka sepakat berangkat bersama dengan mobil Cyndi. Lumayan kan Rere jadi tidak perlu mengeluarkan ongkos hari ini? Tin! Rere bergegas bangkit saat mendengar klakson mobil Cyndi. “Brian mana?” tanyanya setelah masuk mobil dan tidak mendapati pria itu. “Naik motor dia.” “Nggak bisa dipegang banget omongannya,” gerutu Rere mendengar jawaban Meta membuat gadis itu terkekeh. Dia meletakkan tas ranselnya di samping kemudian fokus dengan ponsel. “Tadi si bilang ketemu di kampus aja.” Cyndi menimpali kemudian mulai menjalankan mobilnya pelan. “Aku juga bingung ya, akhir-akhir ini Brian kaya kucing-kucingan sama kita. Kayaknya ada yang dia sembunyiin deh.” Karena Meta merasa pria itu berubah sejak kejadian mereka menjebak Lingga tempo hari. Dia tahu pria itu menyukai Rere sejak lama tapi biasanya tidak sampai secemburu itu saat Rere didekati pria lain. Rere mengedikkan bahu, fokus kembali pada ponselnya. Dia tidak ingin peduli pada Brian. Masa bodo pria itu akan ikut menghadap Rektor hari ini atau tidak. Setengah jam kemudian mereka sampai di kampus. Beberapa mahasiswa menghampiri hanya untuk memastikan kejadian yang menimpa Rere. Mereka ingin tahu kebenaran berita yang beredar di kampus beberapa hari ini. Namun mereka langsung menyingkir saat melihat tatapan tidak ramah Meta. “Aku tau ya kalian mau ngapain?” ketus Meta membuat mereka berbalik kemudian pergi tanpa menyampaikan maksud. Netranya menyapu seluruh parkiran mencari mobil atau motor yang biasa dipakai Brian namun tidak ada. “Brian belum dateng deh,” keluhnya. “Biarin aja lah, kita bisa klarifikasi tanpa dia,” timpal Cyndi. Yah, setidaknya hanya itu yang bisa mereka lakukan karena sekarang pria yang tiga tahun belakangan menjadi sahabat mereka itu terlihat tidak bertanggung jawab. Mereka bertiga berjalan menyusuri lorong menuju rektorat. Sepanjang jalan Rere melihat temen-temannya yang menatap dengan berbagai ekspresi. Ada yang terlihat iba, tapi Rere tidak butuh itu. Ada juga yang menatapnya seakan bersyukur dengan musibah yang dialami gadis itu. Tentu tatapan itu berasal dari para gadis yang merasa iri melihat kepopuleran Rere. Dan itu juga tidak membuat gadis itu peduli. Dia hanya harus segera bertemu dengan pimpinan kampus ini dan menjelaskan semuanya. Tok tok tok Cyndi mengetuk pintu beberapa kali sebelum sebuah suara dari dalam menyahut. “Masuk!” “Selamat pagi, Pak,” ucap ketiganya kompak. “Pagi.” “Kami mau klarifikasi masalah video yang beredar di kampus beberapa hari lalu, Pak.” Rere membuka suara. “Iya. Saya turut prihatin ya, Re,” ungkap sang rektor terlihat sorot iba pada netranya, “Kemarin Lingga sudah menjelaskan semuanya.” Mereka bertiga saling pandang, Lingga? “Memang apa yang Lingga jelaskan, Pak?” Meta bertanya mewakili kedua sahabatnya. “Yah, dia sudah mengakui kesalahannya. Dia mengaku kalau video itu benar.” Pak Rektor menghela nafas sebentar sebelum melanjutkan. “Saya juga tidak menyangka, mahasiswa pintar dan kalem seperti Lingga sanggup melakukan perbuatan keji seperti itu,” sesalnya. Entah kenapa penjelasan sang rektor membuat d**a Rere berdenyut nyeri. Nyatanya video itu tidak benar, mereka yang menjebak Lingga dan pria itu mau mengakui kesalahan yang tidak diperbuatnya. Walau pada akhirnya terjadi juga. Tanpa terasa air mata Rere menitik dan itu tak luput dari pandangan sang rektor. “Sabar ya, Re. Saya pastikan beasiswa kamu tidak akan dicabut karena ini murni kesalahan Lingga.” “Tapi kejadiannya tidak seperti itu, Pak,” sanggah Rere. “Iya, saya tahu. Lingga sudah menjelaskan semuanya. Dan kami dari pihak kampus memutuskan untuk mengeluarkannya.” Ketiganya menganga tak percaya. Mereka merasa kejam sekarang. Akibat ulah mereka pria itu jadi tidak bisa menyelesaikan kuliahnya. “DO?” Kata tanya yang keluar tanpa Rere sadari. Pandangannya bahkan terlihat kosong sekarang. “Iya, yang dia lakukan sudah termasuk tindakan kriminal dan hukumannya adalah Drop Out.” “Tapi .... ” Rere hendak menjelaskan namun urung saat Meta menggenggam erat tangannya. “Berarti semua sudah selesai ya, Pak?” Buru-buru Meta menyanggah sebelum Rere bicara lebih jauh. Menurutnya lebih baik seperti ini. Jika Rere tetap menjelaskan bukankah mereka berempat tetap dapat hukuman, sedangkan Lingga sendiri memilih mengakui. Walaupun mereka salah tapi dalam hal ini Lingga juga bersalah bukan? Dia yakin ada alasan yang membuat pria itu tidak melanjutkan kasus mereka dan memilih menerima keputusan kampus. “Iya, kalian bisa kembali ke kelas.” “Kalau begitu kami permisi, Pak,” pamit Cyndi dan Meta mendapat anggukan sang rektor. “Ini nggak adil, Met,” interupsi Rere sambil mengusap hidungnya yang memerah karena menangis. “Menurut kamu ini adil buat kamu? Dia juga salah, Re. Aku yakin dia pasti punya alasan kenapa milih ngaku. Dia nggak mau kamu kena hukuman juga,” ungkap Meta. “Bener, Re. Udah ya jangan dipikirin lagi.” Mengusap punggung Rere mencoba menenangkan. Kali ini Cyndi setuju dengan pendapat Meta. Bagaimana pun juga Lingga bersalah karena benar-benar melecehkan Rere. “Gimana kalo abis ini kita nongkrong di kafe? Kan kita nggak ada kelas hari ini.” Rere menggeleng, dia lebih ingin menghabiskan harinya di tempat kost. Fisik dan batinnya tidak baik-baik saja saat ini. Semangatnya benar-benar menurun. Dia hanya ingin tidur seharian tanpa melakukan apapun. Ponsel Meta berdering saat ketiganya mulai memasuki mobil Cyndi untuk pulang. “Kemana aja, kamu?” cecar Meta tanpa basa basi. “Sorry aku ada urusan.” “Jangan bilang kamu bikin masalah lagi!” Entah kenapa sikap Brian akhir-akhir ini membuat Meta curiga. Dia takut Brian kembali berulah. Apa mungkin Lingga yang tiba-tiba memutuskan keluar ada hubungannya dengan Brian? Begitu dia pikir. “Ck, apaan sih! Kalian di mana?” “Lagi jalan pulang.” “Emang udah ketemu rektor?” “Basi tau! Nggak mutu banget tuh pertanyaan!” Meta kesal, sudah tahu Brian terlambat lama dari waktu mereka berjanjian tapi pria itu dengan enteng menanyakan hal yang seharusnya membuatnya meminta maaf. “Ya udah deh sorry. Terus gimana?” “Tanya aja sono sama pak rektor.” “Ngapain susah-susah si nanya ke rektor?” “Lingga di DO, puas?!” “Bagus deh, aku jadi nggak ada saingan.” “Jangan bilang ini ulah kamu juga?” “Kagak!” Brian memang tidak melakukan apapun. Dia hanya ingin memberi pelajaran pada Lingga dengan cara lain. Bukan dengan mengeluarkannya dari kampus. “Kalo akhirnya keluar ya berarti dia sadar udah bikin salah.” “Kita juga bikin salah, bahkan kita yang bikin Lingga melakukan kesalahan. Harusnya kita tanggung jawab kan?” “Udah deh, nggak usah dibikin ribet. Dia sendiri yang mau keluar kan?” “Itu keputusan kampus bukan kemauan Lingga, Bri, kok kamu kaya nggak punya dosa banget si ... bisa nggak dikit aja prihatin sama nasib orang lain. Lingga putus kuliah loh! Dan semua karena kita.” “Terus, kita harus mohon-mohon gitu biar dia bisa kuliah lagi? Nggak mungkin, Met. Dia sudah melakukan kejahatan, pantes kalo dia dikeluarin. “Ck, susah ngomong sama orang keras kepala kaya kamu.” Meta memutuskan panggilan begitu saja. Dia heran, terbuat dari apa si hati sahabatnya itu, kenapa bisa kejam sekali? Sementara Rere hanya memijit pangkal hidungnya. Walau tidak mendengar percakapan keduanya, bisa dia duga apa yang Brian katakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN