Bab 9 Hamil

1549 Kata
Dua bulan berlalu sejak kepergian Lingga, Rere melihat pantulan wajah pucatnya di cermin. Sudah empat kali dirinya bolak balik kamar mandi untuk mengeluarkan isi perutnya. Gadis itu lemas bukan main. Beberapa hari ini terutama waktu pagi Rere selalu mual dan muntah. Dia juga tidak punya selera makan. Padahal hari ini dia harus berangkat ke kampus karena tidak ingin ketinggalan kelas Bu Linda, salah satu dosen yang terkenal killer. Rere membasuh wajahnya yang berkeringat, mengeringkan dengan handuk kemudian menatap sekali lagi ke arah cermin hanya untuk memastikan wajahnya terlihat benar-benar pucat. “Aku kenapa ya?” gumamnya. Rere mengingat kapan terakhir kali mendapatkan tamu bulanan karena dia merasa ada yang aneh dengan dirinya. Sungguh, dia tidak ingin apa yang tengah dipikirkannya benar-benar terjadi. Dan benar saja sudah dua minggu gadis itu terlambat datang bulan. Rere menghela nafas yang terasa sangat berat kemudian menghembuskannya kasar. “Aku harus ke apotek. Tapi gimana kalo bener-bener hamil?” Satu titik air mata jatuh melalui pipi mulusnya. Rere tidak bisa membayangkan bagaimana hari-harinya ke depan. Dia harus memilih tetap bertahan dengan kondisi yang mungkin akan dialaminya atau memupus cita-cita kalau sampai benar yang dia pikirkan terjadi. Rere keluar dari kamar mandi setelah merasa lebih baik. Berjalan gontai kemudian duduk termenung di tepi ranjang. Memikirkan langkah apa yang akan dia ambil setelah ini. Sepertinya gadis itu akan memilih tidak masuk kampus hari ini. Dia akan ke apotek terlebih dahulu untuk membeli alat tes kehamilan. Dering ponsel mengembalikannya dari lamunan. Rere melirik ponsel yang dia letakkan di atas ranjang tanpa berniat untuk mengangkat. Brian menelepon tapi dia sedang tidak ingin bicara pada pria itu. Entahlah, sejak kejadian dulu yang mengakibatkan dirinya hancur Rere sudah tidak lagi respect pada Brian. Dia membiarkan ponselnya berhenti berbunyi setelah panggilan keempat kemudian beranjak. Memoleskan tipis lipstik pada bibirnya agar tidak terlalu terlihat pucat kemudian mengambil tas dan berjalan keluar. Jarak apotek dari tempat kost Rere tidak terlalu jauh sehingga gadis itu hanya butuh waktu beberapa menit untuk sampai kesana dengan berjalan kaki. “Mbak, tespack tiga beda merk ya,” pinta Rere pada pelayan setelah memasuki toko obat itu. “Iya, ditunggu sebentar ya, mbak,” jawab ramah sang pelayan kemudian berlalu untuk mengambil barang yang gadis itu pesan. Detik berikutnya kembali dengan tiga bungkus yang di dalamnya terdapat benda pipih dengan merk berbeda sesuai keinginan Rere kemudian memberikannya pada gadis itu. “Silakan.” Senyum manis menghiasi wajah pelayan yang masih tampak muda itu. Rere mengamati satu persatu benda yang dia pegang. “Saya ambil semua ya, mbak,” ucapnya diangguki sang pelayan kemudian langsung pulang setelah melakukan pembayaran. Dia sudah tidak sabar melihat hasilnya. Rere sampai rumah saat sebuah motor gede berjalan menghampiri dan berhenti tepat di sampingnya. Dia menghentikan langkah. “Nggak masuk?” sapa seseorang di balik helm yang sudah sangat Rere kenali. “Nggak,” jawab gadis itu cepat. “Kenapa, kamu sakit?” Brian memperhatikan wajah Rere yang tampak pucat walau bibirnya sudah dipoles lipstik. Ada perasaan khawatir melihat gadis itu terlihat tidak baik-baik saja. Rere menggeleng, “Cuma pingin istirahat," ucapnya. “Serius? Ada kelas Bu Linda, loh.” Bukan Brian ingin memaksa Rere untuk masuk hanya saja gadis itu tidak pernah meninggalkan kelas Bu Linda mengingat betapa killernya dosen satu itu. Kali ini Rere mengangguk sebagai jawaban. “Nggak pa pa, aku ijin aja. Tolong sampein, ya.” Brian tidak berkata apapun lagi selain mengangguk kemudian mulai menyalakan mesin motornya kembali. “Baik-baik di rumah, aku pulang langsung sini,” ucapnya sambil mengusap lembut puncak kepala Rere sebelum berlalu dan mendapat anggukan gadis itu. Rere menatap punggung tegap yang mulai menjauh, ada rasa sedih mengingat sikap Brian yang berubah akhir-akhir ini. Padahal dulu Rere begitu nyaman berada di dekat pria itu. Sekarang pikiran Rere justru lebih banyak beralih pada Lingga. Pria b******k yang sudah merenggut kehormatannya. Hatinya berdenyut sakit saat mengingat masa itu. Masa di mana dia melihat sisi lain Lingga yang mengerikan. Entah di mana keberadaan pria itu sekarang karena semenjak keluar dari kampus tidak ada kabar apapun tentangnya juga Sandra yang merupakan satu-satunya sahabat Lingga. Berjalan kembali ke rumah setelah memastikan Brian sudah tidak terlihat, gadis itu masuk kemudian mengunci pintu. Rere berjalan ke kamar mandi. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia gugup juga takut. Rere berpikir kalau benar dirinya hamil, apakah Lingga akan bertanggung jawab sedangkan dia sama sekali tidak tahu keberadaan pria itu. Bagaimana caranya memberitahu? “Bismillah .... ” Batin Rere berdoa, memantapkan hati untuk melihat hasilnya dan detik itu juga air matanya meluruh. Dua garis merah terpampang jelas di depan matanya. Rere terisak. Sungguh, bukan seperti ini yang dia inginkan. Gadis itu tidak melanjutkan mengecek pada dua alat kehamilan yang lain dan lebih memilih berjalan kembali ke luar kamar mandi kemudian meringkuk di atas ranjang, menutup rapat tubuhnya dengan selimut dan menutup wajahnya dengan bantal untuk meredam suara tangis. *** Di tempat berbeda seorang pria sedang menikmati pemandangan indah di salah satu kota di Singapura. Seorang wanita cantik dengan setia mengikuti kemana pun pria itu mencari dan mengambil objek untuk dia bidik dengan kamera yang sehari-hari menemaninya. Lingga yang pada dasarnya memiliki hobby fotografi selalu mengabadikan apapun yang menurutnya menarik. Bukan hanya pemandangan, Lingga juga kerap kali mengambil gambar gadis yang sejak lama dia cintai tanpa sepengetahuan gadis itu dan memajangnya di setiap sudut dinding kamarnya. Kamar yang dia pakai saat mengambil harta paling berharga milik Rere. Namun seberapa jauh pun Lingga melangkah hatinya tidak pernah tenang. Dia selalu dihantui perasaan bersalah karena menghancurkan kehidupan gadisnya. Memilih keluar dari kampus untuk membuat gadis itu tetap bertahan nyatanya tidak serta merta membuatnya tenang. Posisinya yang sekarang jauh dari Rere justru membuatnya semakin merasa bersalah. Andai ada seseorang yang bersedia memberinya kabar tentang gadis itu tentu Lingga tidak merasa segundah ini. Dia ingin tahu bagaimana kehidupan gadisnya pasca dirinya pergi. Apa Rere baik-baik saja atau justru sebaliknya. Apakah gadis itu bahagia tanpa dirinya yang selalu membuatnya muak atau justru menderita karena harus menanggung beban sendirian. Ingin rasanya Lingga kembali ke Jakarta dan menemui gadis itu untuk sekedar mengetahui kabarnya. Tapi dia tidak punya nyali sekuat itu. Untuk sekedar melihatnya dari jauh pun Lingga tidak berani mengingat betapa b***t dirinya. Dia merasa tidak pantas untuk kembali mencintai gadis itu apalagi mengharap Rere membalas cintanya. Biarlah dia simpan saja sendiri rasa yang bukan semakin berkurang karena jarak memisahkan tapi justru semakin menjadi. Membuatnya makin tak kuasa untuk melupakan gadis itu. “Kenapa?” Sandra yang melihat tatapan sendu sahabatnya bertanya. Dia selalu menemani kemana pun Lingga pergi tanpa pria itu meminta. Bahkan saat Lingga memutuskan untuk menerima hukuman dari kampus dan melanjutkan studinya ke Negeri yang sekarang dia tinggali gadis itu dengan senang hati melakukan hal yang sama. Alasannya satu, dia ingin selalu ada untuk pria itu dalam kondisi apapun. Lingga menggeleng, sudah terlalu sering dia cerita pada Sandra tentang perasaannya pada Rere. Mungkin gadis itu sudah merasa bosan mendengarnya. “Mikirin Rere?” tanya Sandra seperti biasa. Lingga mengangguk. “Mau pulang ke Jakarta?” Ya, Sandra memang sepengertian itu. Bukan setahun dua tahun mereka bersama. Sandra sudah sangat mengenal luar dalam sahabatnya itu. “Nggak,” sahut Lingga yakin. “Kenapa? Kalo kangen kamu bisa kunjungin dia.” “Aku nggak punya nyali buat nemuin dia.” “Aku temenin?” Bukankah Sandra sosok yang luar biasa? “Aku belum siap.” Bagaimana pun Lingga sudah menorehkan luka yang sangat dalam pada Rere. Gadis itu pasti semakin membencinya. Lingga menghela nafas dalam sebelum melanjutkan. “Aku belum siap liat dia benci sama aku.” Walau pria itu tahu Rere sudah benci dirinya sejak dulu. “Aku nggak yakin dia benci sama kamu.” Lingga menoleh tertarik, “Apa yang bisa kamu liat dari dia ke aku?” tanyanya. “Kalo menurut aku sih dia nggak benci sama kamu. Dia emang jutek ke semua cowok kok.” “Tapi paling jutek sama aku.” Lingga terkekeh dengan ucapannya sendiri. “Aku sih liatnya dia itu sebenernya baik, tapi entahlah ... aku kayak liat dia tuh pasang tembok tinggi gitu buat semua cowok. Pernah nggak liat dia pacaran? Nggak, kan?” Sandra menjeda ucapannya. “Padahal kalo mau dia bisa pacarin seluruh cowok kampus,” kekehnya kemudian. “Kamu pikir dia cewek apaan?” Enak saja Sandra bicara seperti itu. Bukankah itu terkesan merendahkan Rere ya? Memacari pria sekampus? Yang benar saja! Lingga mana mau Rere yang seperti itu. “Bukan gitu, maksud aku hampir semua cowok kampus tuh suka sama dia. Bisa lah dia pilih salah satu tapi nggak ada yang dia terima. Mungkin dia ada trauma gitu?” Sandra menoleh bertanya pada Lingga yang juga tidak terlalu mengenal kehidupan pribadi Rere membuat pria itu menggeleng. “Aku sempet denger Cyndi ngomong kalo Rere nggak mau pacaran karena pingin fokus sama cita-citanya buat jadi dokter.” Perasaan sesak kembali menyergap saat mengingat betapa b******k dirinya. “Tapi aku dengan gampangnya ngerusak semua.” Lingga menunduk menyesali perbuatannya yang sama sekali tidak ada artinya. “Oh ya? Kapan?” “Hari pas aku keluar dari kampus dia nyamperin aku terus ngomong gitu.” “Itu alesan kamu mutusin nerima hukuman dari kampus?” Lingga menggeleng, “Aku udah ketemu rektor waktu itu dan Cyndi nggak tau aku dikeluarin.” “Ya udah nggak usah dipikirin. Pulang yuk, udah sore nih.” Sandra meraih tangan Lingga mengajaknya beranjak kemudian meninggalkan tempat itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN