Tampaknya Haikal, Irfan, Farel dan Abi senang dengan bergabungnya Raymond di kelompok mereka. Ternyata Raymond sangat memahami tugas yang diberikan Pak Thomas, yaitu mempresentasikan hasil temuan mereka mengenai tingkat konsumsi sumber alam oleh penduduk dunia yang mempengaruhi ketahanan bumi. Raymond memiliki banyak pengetahuan tentang isu-isu yang berhubungan dengan population dynamics, salah satu topik mata pelajaran Biologi. Raymond malah bersedia menjadi presenter utama.
“Wah. Gue kira lu cuma modal tampang doang, Mon. Otak lu encer juga,” puji Farel kepada Raymond yang masih saja terlihat mengetik di komputer besar Haikal. Meski bernada sinis, Farel tetap mengapresiasi usaha Raymond yang bisa menyelesaikan satu artikel buat kelompok mereka di siang menjelang sore ini.
Raymond mendengus tersenyum.
“Habis selesai sekolah, lu nerusin kuliah di mana, Mon?” tanya Irfan. Tidak seperti di awal-awal dia terlihat sinis dengan kedatangan Raymond, ketika hasil kerja kelompok mereka sudah disempurnakan Raymond dengan cepat, Irfan mulai merasa nyaman dengan Raymond.
“Yah. Di Jakarta aja sih. Nyokap gue nggak bisa jauh-jauh dari gue,” jawab Raymond santai.
“Haha … nggak jauh beda dari Haikal nih. Nyokapnya nggak bisa jauh-jauh dari dia,” sela Farel.
“Bahaya kalo berjauhan, bisa-bisa lepas Tante Bianca,” timpal Abi.
“Iya. Trus kalo jauh, kita nggak bisa merasakan kasih sayang Tante Bianca lagi,” lanjut Farel.
Semua tertawa mendengar seloroh Farel.
Tiba-tiba terdengar bunyi pintu kamar Haikal diketuk dari luar.
Haikal bergegas bangkit dari rebahnya dan melangkah menuju pintu kamarnya yang tertutup rapat.
“Udah selesai kan? Makanan udah Mama siapkan di meja makan. Ajak makan-makan dulu sebelum pada pulang,”
Haikal tersenyum melihat wajah letih mamanya.
“Ya, Ma,”
Bianca pun berbalik arah setelah mendapat tanggapan dari Haikal.
***
Wajah Haikal, Abi, Farel dan Irfan sumringah melihat berbagai macam makanan yang sudah terhidang di atas meja makan. Mereka lalu duduk di kursi makan bersama-sama.
“Kenapa lu, Mon? Yuk. Malu-malu?” tegur Farel ke Raymond yang malah duduk di sofa empuk di ruang keluarga yang berdekatan dengan ruang makan dan dapur. Dia tampak tidak tertarik ikut makan.
“Gue nggak lapar. Sebelum ke sini gue makan di café sama Beth,” balas Raymond sambil meraih ponsel dari sakunya, lalu memainkannya.
“Serius nggak mau makan? Ini enak banget lo….” Irfan ikut menyuruhnya. Dia sudah siap-siap mengambil makanan berupa sop ayam dan sayur mayur.
“Iya. Selamat makan, Guys,” ucap Raymond cuek.
Semua menggeleng melihat ulah Raymond.
“Lu udah kayak tuan rumah ajaaa pake ngucapin selamat makan,” decak Abi. Dia malah sudah duduk manis di depan piring yang sudah ada makanannya.
“Iya. Nyantai lagi duduknya. Liat tuh. Raymond, Raymond,” decak Farel yang memperhatikan gaya duduk Raymond yang mengangkat dua kakinya menyilang di atas meja depan sofa. Semua pun saling pandang dan saling lempar senyum. Termasuk Haikal, dia malah sempat memasang muka masam saat melihat cara duduk Raymond yang tidak sopan. Tapi setelah itu dia tidak memperdulikannya karena perutnya yang sudah terasa sangat lapar.
Akhirnya mereka asyik makan-makan tanpa memperdulikan Ryamond yang asyik berselancar di dunia maya.
“Kok dia nggak pulang? Kalo nggak makan harusnya cabut duluan dong,” bisik Farel ke Irfan. Irfan mengangka bahunya dengan bibir mencebik.
Tiba-tiba…
“Halo, Sayang. Mau dijemput sekarang? Oh belum. Gue masih di rumah teman. Ok. Nanti bilang aja kalo udah mau dijemput. Bye.”
Haikal cs seketika menghentikan makanan mereka saat mendengar kata-kata mesra yang ke luar dari mulut Raymond. Lalu mereka saling lirik. Setelah Raymond kembali memainkan gawainya, mereka pun kembali khusyuk menyantap makanan.
Beberapa menit kemudian, Haikal dan tiga sahabatnya sudah selesai makan. Tampak piring-piring bekas makan, mereka tinggalkan begitu saja di atas meja makan. Lalu satu persatu duduk di sofa dekat posisi Raymond duduk santai.
“Gue numpang nunggu di sini ya, Kal. Menjelang Beth selesai nyalon,” ujar Raymond ke Haikal yang duduk tepat di hadapannya.
“Okay. Nggak papa,” jawab Haikal. Suaranya terdengar sangat berat karena kekenyangan.
“Jadi kapan lagi kita kumpul lagi?” tanya Irfan tiba-tiba.
“Besok atau Jumat depan?” Farel memberi pilihan.
“Kan udah selesai juga,” ujar Haikal.
“Tapi at least kita mesti ketemu satu kali lagi lah untuk latihan presentasi,” ujar Abi mengingatkan.
“Betul banget, Bi,” seru Irfan lagi.
Semua memandang Haikal, termasuk Raymond.
“Di sini lagi jumat depan?” tanya Haikal.
Semua mengangguk.
“Soalnya rumah lu paling nyaman, Kal. Banyak makanan, ada nyokap lu yang baik dan bahenol. Hehe,” goda Farel.
Haikal menggeleng tertawa mendengar pendapat Farel.
“Lu gimana, Mon?” tanya Irfan.
“Gue ngikut aja,” tanggap Raymond dengan gaya santainya.
“Okay. Jumat depan ya,” ucap Haikal.
“Tapi lu jangan telat lagi, Mon. Jadi kita nggak tunggu-tungguan. Trus lebih cepat tugas selesai, kita bisa nyantai-nyantai lebih lama di sini. Nggak seperti sekarang nih … jadi molor dan tiba-tiba udah jam setengah lima aja. Hmmm.…” Farel tampak siap-siap berdiri. “Gue pulang duluan nih.”
“Yah,” decak Haikal dengan wajah kecewanya. Lebih kecewa lagi ketika melihat Abi dan Irfan ikut-ikutan berdiri dari posisi duduk mereka. Bukan apa-apa, dia segan ditinggal berdua saja dengan Raymond. Karena belum merasa dekat.
“Beneran pada pulang nih?” tanya Haikal cemas.
“Lho. Kan ada Raymondo. Lu jaga anak gue, Mon,” kelakar Farel yang sudah meraih ranselnya dan meletakkannya di punggungnya.
“Aman,” ucap Raymond dengan gaya santainya.
Haikal ikut berdiri dan melangkah gontai menuju sebuah pintu kamar yang tidak jauh dari ruang keluarga.
Tak lama kemudian, muncul Bianca dari balik pintu kamarnya. Wajahnya terlihat sembab karena kantuk. Sepertinya dia baru saja bangun dari tidur.
“Pada mau pulang, Ma,” ujar Haikal.
“Oh. Bentar ya? Mama cuci muka dulu,” kata Bianca sambil lalu kembali masuk ke dalam kamarnya.
Haikal pun kembali melangkah menuju ruang keluarga. Ternyata Abi, Irfan dan Farel masih berdiri menunggunya.
“Bentar. Lagi cuci muka,” ujar Haikal kepada tiga sahabatnya yang hendak pulang.
“Nyokap lu nggak mandi seminggu tetep cantik, Kal. Nggak perlu cuci muka lah,” canda Farel.
“Itu artinya Tante Bianca menghargai kita, Coy,” sela Abi dengan wajah pongahnya.
Beberapa detik kemudian, tampak Bianca muncul dengan langkah tergesa-gesa. Dia sangat cantik dengan baju kaus santainya.
“Lho. Baru pada makan kan? Kok cepet pulangnya?” tanya Bianca dengan wajah herannya. Biasanya mereka memang cukup lama menghabiskan waktu di rumahnya. Dia sempat melirik Raymond yang masih duduk santai di sofa.
“Kan kita udah dari tadi siang, Tan,” ujar Irfan seraya menyerahkan tangan kanannya ke hadapan Bianca. Bianca sambut tangannya dan membiarkan Irfan mencium punggung tangannya.
“Oh, iya yaaa,” ucap Bianca tersadar. Meskipun tiga sahabat anaknya itu kerap menghabiskan waktu berlama-lama di rumahnya, mereka tetap ingat waktu pulang. Tidak terlalu sore ataupun terlalu malam.
Lalu Abi dan Farel bergantian mencium punggung tangan Bianca.
“Kapan lagi belajarnya?” tanya Bianca. Dia ikut menemani langkah mereka menuju pintu depan rumahnya. Haikal juga mengikutinya.
“Jumat depan, Tante,” jawab Abi.
“Di sini aja ya. Jangan di tempat lain. Mau Tante masakin apa?” tawar Bianca.
“Apa aja, Tan,” ucap Farel.
“Aku kangen es teler buatan Tante,” celetuk Abi tiba-tiba.
“Aaaa. Baiklah, Abi Sayang,” ujar Bianca semangat. Dia cubit pipi gembul Abi.
Semua tertawa melihat Abi yang wajahnya memerah karena dicubit gemas Bianca.
“Hati-hati. Jangan ngebut,” ucap Bianca lagi.
“Iya, Tante,” seru semuanya hampir bersamaan.
Tak lama kemudian terdengar suara deru mesin mobil-mobil di halaman luas rumah Bianca. Sementara Haikal sudah siap-siap mengarahkan mobil-mobil tersebut ke luar dari halaman rumahnya.
Wajah Bianca berbinar melihat keakraban mereka. Tampak mereka masih saja berkelakar menggoda Haikal dari dalam mobil.
“Si Irfan ganti mobil ya? Baru nyadar Mama,” gumam Bianca saat Haikal kembali mendekatinya setelah memastikan pagar rumah tertutup lewat remot yang dipegangnya.
“Itu mobil sepupunya. Civicnya dipake sama bokapnya ke Bandung,” jelas Haikal.
“Oh. Kirain ganti,”
Lalu mereka berdua kembali masuk ke dalam rumah.
Betapa terkejutnya Bianca dan Haikal. Raymond asyik membersihkan piring-piring dari ampas makanan di dapur.
Bersambung