Raymond memang bertemu dengan Beth di sebuah mall. Dia duduk bersama Beth di dalam sebuah café.
"Gue mau deketin cewek aja musti ada pajaknya ya?" canda Raymond setelah menyerahkan sejumlah uang ke hadapan Bethany yang senyum-senyum. "Lu diem-diem mata duitan juga."
Bethany tertawa lepas, karena senang mendapat berlembar-lembar uang merah dari Raymond. Meskipun dia anak dari salah satu petinggi di departemen perpajakan yang kaya raya tetap saja mendapatkan uang membuatnya senang hati.
Sebenarnya ada hal yang mengejutkan tentang Bethany. Diam-diam dia memiliki perasaan khusus terhadap Haikal. Raymond yang dia amati akhir-akhir ini dekat-dekat dengan Haikal, bisa dia manfaatkan untuk mencari tahu tentang jati diri Haikal sebenarnya. Mengenai dirinya yang 'berpacaran' dengan Raymond, dia jadikan sebagai batu loncatan saja untuk menaikkan derajatnya. "Mantan Raymond?" Ah siapa yang tidak bangga dengan predikat itu. Dia tidak peduli dirinya hanya pacar pura-pura. Sikap Raymond selama menjadi 'pacarnya' cukup menyenangkan hatinya.
"Lu perawatan kek. Kurang duitnya?" ujar Raymond. Bethany sebenarnya cantik, tapi karena dia tidak serius memperhatikan gaya dan penampilan, gadis itu terkesan biasa saja.
"Bukan masalah duit, Ray. Males," sungutnya.
"Nggak selamanya kita begini. Siapa tau lu suka sama cowok beneran. Cowok tuh suka sama cewek rapi dan cantik," ujar Raymond memberi saran.
Bethany tersenyum tipis. Dia sama sekali tidak menyangka akan nasihat Raymond. Tapi dia setuju dengan pendapat Raymond.
"Gue juga suka sama seseorang," gumam Bethany akhirnya. Raymond melirik jam tangannya sebentar. Dia sebenarnya ingin cepat-cepat meluncur ke rumah Haikal. Tapi...
"Siapa?" tanya Raymond ingin tahu.
"Haikal,"
Deg.
Raymond terkejut bukan main. Tangannya terlihat gemetar. Bethany menyukai Haikal? Apakah Bethany tahu dirinya yang menyukai...
"Kenapa, Ray? Ada yang aneh?" tanya Bethany yang heran melihat sikap Raymond yang tiba-tiba salah tingkah ketika dia menyebut nama Haikal.
"Nggak. Nggak papa ... bagus kok kamu suka sama dia. Dia baik. Makanya aku dekat dengannya...." Raymond tatap wajah Bethany tajam. Dia ingin memastikan apa Bethany benar-benar tidak tahu bahwa dirinya menyukai Mama Haikal yang cantik jelita itu.
"Trus ... kenapa lu mau jadi 'pacar' gue? Bukannya malah menjauhkan?" tanya Raymond heran.
"Ya ... siapa tau statusku jadi naik jadi mantan pacar Raymondo Cello Justino," jawabnya yang menyebut nama lengkap Raymond dengan logat khas Italia.
Raymond tertawa lebar. Bethany ternyata tidak sependiam yang teman-temannya kira. Lucu juga anak ini.
"Lu mau gue lakukan apa?" tanya Raymond yang perasaannya berubah tenang.
"Yah. Kepingin tau apaa-apa aja yang dia suka," jawab Bethany.
"Tapi menurut gue. Lu ubah penampilan dulu deh. Biar teman-teman pada yakin, kalo lu bener-bener pacar gue dan bukan pacar upahan,"
"Dih. Amit-amit ... jangan sampai. Karena kamu bukan tipe aku. Kamu itu tipenya tante-tante kayak itu tuh yang duduk di dekat kasir," cicit Bethany sambil melirik ke arah meja kasir.
Raymond tersenyum simpul sambil lalu memutar tubuhnya dan melihat perempuan-perempuan usia tiga puluhan sedang asyik menikmati kopi dan kue-kue. Perempuan-perempuan itu melirik-lirik Raymond sambil senyum-senyum. Ada yang bahkan menopang dagunya sambil mengamati wajah tampan Raymond.
"Maksudnya supaya orang-orang nggak curiga ama rencana gue,"
"Kamu gay?"
"Hush! Udah gue bilang gue lagi incer cewek dan lu nggak boleh tau,"
"Okay...."
Bethany menyudahi rasa penasarannya. Karena itu adalah kesepakatan dia dan Raymond.
"Gue cabut ya, Sayang," ucap Raymond cepat-cepat. Suaranya sengaja dia besarkan agar para perempuan 'berumur' yang tengah memperhatikannya mendengarnya. Dia kerdipkan matanya ke arah Bethany.
"Ntar gue perawatan deh. Biar makin makin," ujar Bethany semangat.
***
Berulang kali Raymond mengusap wajah dan dadanya saat memarkirkan rubinya di halaman luas rumah Haikal. Jantungnya berdegup lebih keras sekarang. Dia kembali mengamati wajahnya di cermin mobil sambil memperbaiki rambut ikalnya.
Setelah merasa yakin dan detak jantungnya berdetak normal, Raymond ke luar dari mobilnya. Sempat pula dia melirik-lirik mobil-mobil mewah sahabat-sahabat Haikal. Seketika iri menyeruak di dalam kalbunya, kenapa tidak sedari dulu dia bisa akrab dengan Haikal. Pasti dirinya sudah bersenang-senang bersama Mama Haikal yang cantik dan baik itu.
Raymond sudah berdiri tegap di depan pintu rumah Haikal. Dia pencet bel di samping pintu berwarna coklat tua perlahan.
***
Sementara itu di dalam rumah Haikal...
Bianca langsung menghentikan kegiatan memasaknya saat mendengar bunyi bel dari arah depan rumahnya. Dia segera menebak pasti Raymond yang datang. Haikal sudah memberitahunya bahwa Raymond agak sedikit telat datang ke rumah karena ada janji dengan kekasihnya di cafe.
Setelah mencuci tangan dan melapnya hingga kering, Bianca berjalan cepat menuju pintu depan.
Dia buka pintu rumahnya, dan...
"Halo, Tante," sapa Raymond dengan wajah gugupnya. Senyum di wajahnya terlihat dipaksakan. "Saya eh ... aku Raymond," ucap Raymond sambil menyerahkan tangan kanannya ke hadapan Bianca.
"Oh ... yaaaa. Masuk masuk," balas Bianca dengan mata binarnya. Bianca langsung mempersilakan Raymond masuk ke dalam rumahnya.
Raymond menghela kecewa. Sepertinya Bianca tidak tertarik bersalaman dengan dirinya. Karena sejurus kemudian, Bianca langsung memutar tubuhnya seolah memberi kode agar Raymond mengikuti langkahnya di dalam rumah.
"Masuk aja di kamar Haikal. Sudah pada kumpul semua tuh. Yuk ikut Tante," ujar Bianca santai.
Raymond mengikuti langkah cepat Bianca. Lagi-lagi matanya tertuju ke b****g Bianca yang bergerak-gerak lincah. Meski menyenangkan melihat b****g itu, tetap saja Raymond tidak bisa mengusir perasaan gundahnya. Ternyata pertemuan kedua ini tidak seindah pertemuan pertama.
Hampir saja Bianca hendak membuka pintu kamar Haikal. Entah kenapa, dia ingin menoleh ke belakang. Wajah Bianca berubah seketika.
"Lho ... bukannya kita pernah ketemu," deliknya seperti menyadari sesuatu.
Raymond tersenyum kecut. Dia arahkan lagi tangan kanannya.
"Oh." Bianca lalu tertawa kecil. Dia sambut tangan Raymond dan membiarkan Raymond membungkuk dan mencium punggung tangannya.
"Iya, Tante," ucap Raymond yang kini lebih tenang. Dia eratkan lagi jabatan tangannya seolah ingin merasakan lagi halus dan lembutnya telapak tangan Bianca.
"Kamu...." Bianca tatap wajah Raymond dengan seksama sambil mengingat-ingat. Tangan kanannya masih digenggam erat tangan Raymond.
Bukan main Raymond senang. Perasaannya hangat seketika saat ditatap hangat mata binar Bianca.
Dia berikan senyum termanisnya.
"Astaga ... kamu kan Cello, Anak bungsu Mami Anita," sorak Bianca akhirnya. Dia tumpu dua tangannya di tangan Raymond saking senangnya.
"Aku biasa dipanggil Cello di rumah, Tan," jelas Raymond.
"Oooo...."
Bianca tampak salah tingkah karena baru sadar terlalu lama menggenggam tangan Raymond.
"Maaf, Cello ... hm ... Raymond," ucap Bianca sambil melepaskan genggaman tangannya.
"Nggak papa, Tante," balas Raymond.
Bersambung