Perubahan Bethany

1286 Kata
Malam itu Haikal dan Bianca asyik duduk-duduk santai di depan televisi di ruang keluarga. Keduanya sudah rapih dengan pijama tidur. Meski televisi menyala, tapi mereka malah asyik ngobrol dan bertukar pikiran. "Jadi Mama tuh udah pernah ketemu Raymond sebelumnya?" ujar Haikal yang masih saja tidak menyangka bahwa mamanya sudah mengenal Raymond jauh hari sebelumnya. "Iya. Awalnya Mama nggak ngeh. Pas di depan pintu kamar kamu, Mama baru inget. Kayaknya Mama pernah ketemu, tapi Mama lupa loh di mana. Pas Mama ingat-ingat eh ... rupanya dia itu anak teman arisan Mama yang baru Mama kenal. Kira-kira tiga kali Mama ketemu Mami Anita itu dan memang langsung akrab. Dan maminya manggil dia itu Cello, bukan Raymond." "Cello?" gumam Haikal. Lalu dia manggut-manggut mengingat saat Raymond mengetik nama lengkapnya di halaman depan artikel mereka. Cello adalah nama tengah Raymond. "Emang dia ikutan gabung sama ibu-ibu arisan gitu? Nggak malu apa?" cecar Haikal. Bianca terkekeh. "Sebenarnya dia tuh malu juga, Kal. Tapi karena dia bantu bawain tas-tas dagangan Mama, mau nggak mau dia antar Mama sampe ke ruang arisan. Nah, pas di lift Mama tanya dia kelas berapa, sekolah di mana ... trus dia jawabnya di JIS, kelas dua belas. Mama sempet sebut nama kamu lho. Kenal nggak? Eh, nggak sempat dia jawab, Mama udah keburu dikerubuti ibu-ibu yang mesen tas Mama. Nah, dari situlah Mama tau kalo dia itu namanya Cello, anak Mami Anita. Hm ... dia juga buru-buru ke luar ruangan karena nggak betah liat ibu-ibu rame pada ngobrol ngalor ngidul. Gitu...." Haikal manggut-manggut lagi. "Baik ya, Kal. Rajin lagi," puji Bianca. Dia masih saja mengingat sikap Raymond serta cara Raymond memandangnya. "Iya, Ma. Pinter juga. Tadi aja pas ngerjain tugas, dia yang banyak nulis, yang lain cuma bisa nyuruh-nyuruh nggak jelas gitu. Untung ada Raymond sih, karena tadinya kita bingung dengan perintah Pak Thomas. Trus dia yang arahkan. Akhirnya satu artikel sudah jadi. Kita ketemu lagi jumat depan. Buat latihan presentasi," jelas Haikal. "Pasti pacarnya beruntung banget ya? Siapa nama pacarnya, Kal?" tanya Bianca tiba-tiba. "Bethany, Ma. Baik orangnya. Nggak cerewet. Tapi ... nggak sekeren Jessica sih," Bianca tersenyum melihat wajah Haikal. "Kan udah Mama bilang. Cinta itu nggak mandang cakep atau cantik. Tapi kenyamanan hati," *** Entah bagaimana bayang-bayang wajah Raymond menari-nari di benak Bianca menjelang tidur, terutama di saat dirinya sedang membersihkan wajahnya di depan cermin riasnya. "Astaga. Ada apa dengan diriku," gumam Bianca yang merasakan detak jantungnya berpacu kala mengingat sikap Raymond di siang hingga sore di rumahnya. Mata Raymond yang teduh memandangnya, senyum Raymond yang sangat manis tertuju ke arahnya, serta tubuh seksi Raymond kala berdiri di depan sing dapur. Tak sadar Bianca raba punggung tangan kanannya, mengingat kecupan bibir Raymond serta jilatan lidahnya di atasnya. Dia masih merasakan begitu lembut ujung dua bibir yang menyatu itu menempel di punggung tangannya, hingga meninggalkan jejak saliva di atasnya. Bianca menyudahi kegiatan rutinnya dengan membereskan alat-alat kecantikannya. Lalu perlahan melangkah menuju tempat tidur mewahnya. "Nggak mungkin. Dia sudah punya kekasih," gumam Bianca kemudian. Dia menggeleng menertawai apa yang sedang dia pikirkan. *** Jika Bianca sempat merasa kesusahan tidur, Raymond malah sebaliknya. Dia sangat mudah tidur malam ini. Ternyata pertemuan kedua ini malah lebih indah daripada pertemuan sebelumnya. Dia masih mengingat sikap gugup Bianca saat menyadari bahwa dirinya adalah pria yang membantunya membawa barang-barangnya di sebuah hotel beberapa pekan lalu. Lalu, dia ingat pula wajah Bianca yang memerah setelah dia kecup punggung tangannya. Raymond tersenyum menjelang tidurnya mengingat momen-momen 'bersentuhan' dengan Bianca. Dua kali mengecup punggung tangannya, cukup lama saling menggenggam erat, lalu beberapa kali bersenggolan saat Bianca mencegahnya meneruskan membersihkan piring-piring. Yang paling mengesankan Raymond adalah saat dirinya pamit pulang. Bianca terlihat berat melepasnya. Dia bahkan menawarkan minuman hangat agar bisa lebih lama berada di rumahnya. Tapi Raymond tidak mau cepat-cepat menanggapinya. Dia pikir pasti ada waktu tepat untuk mengungkapkan semuanya di depan Bianca. Lagipula, dia sudah mendapat pesan dari Bethany untuk segera menjemputnya dari salon kecantikan. *** Ada pemandangan yang mengejutkan di sekolah. Bethany berubah sangat cantik dan lebih modis. Sejak berpacaran dengan Raymond, Beth lebih memperhatikan penampilannya. Wajahnya lebih mulus dan cerah kemerahan, rambutnya terlihat rajin dicatok keriwil, sehingga lebih indah dipandang. Pakaiannya lebih rapi, sepatu dan tasnya dia ganti dengan yang lebih mahal dan bermerek. Sikap Beth juga lebih ramah kepada siapa saja yang menyapanya. Aura kecantikan Bethany benar-benar ke luar, sehingga perhatian murid-murid mulai berpindah dari Jessica, sekarang tertuju ke dirinya. Tidak terkecuali Haikal cs, mereka manggut-manggut melihat perubahan Bethany. Khususnya Farel, dia yang sebelumnya pernah menilai Bethany yang biasa-biasa saja, justru sekarang mulutnya tidak berhenti berdecak kagum melihat penampilan Beth. Kedekatan keduanya pun menjadi bahan perbincangan di dalam kelas. Mereka salut dengan sikap Raymond yang memanjakan Bethany. Hampir setiap hari dia terlihat tidak malu-malu membawakan tas kecil berisi bekal makanan dan minuman milik 'kekasihnya' itu. "Wow. Kok bisa?" decak Nori yang terkagum-kagum melihat Beth yang sudah duduk di sampingnya. Sementara Jessica dan teman-temannya tampak sinis mengamati penampilan Beth. Mereka berbisik-bisik. Entah apa yang mereka bicarakan. Beth beri senyum termanisnya di hadapan Nori. "Lu cantik, Beth. Kalo begini jadi pantes liat lu berduaan ama Raymond," puji Nori sambil melirik ke arah Raymond yang sudah rapi manis di samping Haikal. "Hm ... jadi kepingin perawatan juga kayak lu," gumam Nori. Matanya bergerak-gerak binar melihat penampilan Bethany. "Mau ikutan? Aku kasih info klinik kecantikan yang sangat cocok buat seumuran kita-kita. Kita bisa bareng ke sana," usul Beth. "Mahal nggak?" "Standar sih." Meskipun Nori juga berasal dari keluarga kaya, tapi dia masih berpikir ulang untuk menghabiskan uang buat perawatan. Prioritas mamapapanya bukan kecantikan, tapi lebih ke kesehatan dan kepintaran. Nori manggut-manggut. "Boleh juga," gumamnya saat mengingat Irfan, cowok gebetannya. Siapa tahu dengan merawat diri dan penampilannya, Irfan bisa berubah pikiran mengaguminya. *** Raymond tidak segan-segan menunjukkan kedekatannya dengan Beth di sekolah. Di mana-mana mereka terlihat berduaan; di kantin, di perpustakaan, dan di halaman sekolah. Teman-teman akrab Raymond kini mulai menjauh karena Raymond terlihat lebih memperhatikan Beth daripada mereka. Meskipun mereka juga sudah memiliki pacar, tapi tidak 'sebucin' Raymond dan Beth, yang ke manapun selalu berdua. Wajar Raymond memperlakukan Beth seperti ratu, karena Beth adalah gadis pendiam dan kurang bergaul. Temannya hanya satu, Nori Tada. Itu juga tidak terlalu dekat. Dan yang meresahkan sekaligus mengundang pertanyaan, Raymond juga semakin dekat dengan geng Haikal dan para Papa tirinya. Tapi ada kejadian yang cukup janggal hari ini. Haikal terheran-heran melihat Raymond dan Beth mendatangi dirinya yang sedang mengeluarkan motor mewahnya dari parkiran. "Kal. Gue boleh minta bantuan nggak?" tanya Raymond ke Haikal yang sudah siap-siap mengendarai motornya. Haikal buka kaca helmnya. "Lu mau gue bantu apa?" tanyanya sambil melirik ke Beth yang berdiri di samping Raymond. "Lu bisa nggak anterin Beth pulang ke rumahnya. Hari ini dia nggak dijemput. Gue nggak bawa mobil, nebeng ma Farel." Haikal semakin heran. "Nggak papa naik motor?" tanyanya memastikan. "Justru dia tuh kepingin naik motor. Katanya udah setahun ini nggak naik motor," ujar Raymond berkelakar. Dia usap-usap kepala Bethany. Haikal mengamati Bethany sebentar. Dia lalu turun dari motornya meraih helm cadangan. "Ya udah, naik," decaknya sambil menyerahkan helem bogo ke arah Beth. Bethany dengan semangat menaiki motor Haikal setelah memasang helm dengan rapi di kepalanya. Haikal sebentar menatap Raymond dengan tatapan aneh. Sedikit tersentak hatinya kala Beth memegang dua bahunya. Lalu duduk mendekat ke tubuhnya. Beth tak sungkan memegang pinggangnya. "Jagain ya ... jangan ngebut," ucap Raymond sambil menepuk pundak Haikal. Haikal mengamati ponselnya yang ada di depan dashboard motor. "Lu kirim alamat Beth, Ray," katanya. "Oh iya. Sip sip," decak Raymond senang. "Yang. Jangan lupa telfon kalo dah nyampe rumah," ujar Raymond ke Beth yang terlihat gugup. "Iya," balas Beth dengan senyum terkulum. Padahal hatinya bersorak gembira. "Awas lu bawa kabur cewek gue," ancam Raymond. Lagi-lagi Raymond berkelakar. Haikal balas candaannya dengan membunyikan gas motornya kencang-kencang di hadapan Raymond. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN