"Iya betul, Nona. Nona ini sedang mengandung sekarang. Tadi saya sudah sempat curiga memang. Dan ternyata, hasilnya memang benar, bila Nona tengah mengandung saat ini."
Jesicca tertegun. Otaknya masih mencerna semua kenyataan ini baik-baik. Hingga tangannya ia letakkan di atas perutnya sendiri, seulas senyuman menyeringai pun nampak di bibirnya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Berniat ingin menjadi seorang simpanan, hanya untuk mendapatkan kemewahan serta hidup yang layak. Sepertinya, ia malah akan mendapatkan kedudukan sebagai Nyonya. Dan janin di dalam rahimnya saat ini adalah jalannya untuk mencapai itu semua.
Beberapa puluh menit kemudian.
Pintu kediaman Rainer diketuk oleh seseorang dari luar. Nampak Pelayan yang berjalan tergopoh-gopoh, membukakan pintu rumah dan ternyata, Jesicca lah yang mengetuk pintu rumah tersebut.
"Apa pemilik rumah ini ada di tempat??" tanya Jesicca, yang sebelumnya langsung meluncur dari rumah sakit ke kediaman Rainer untuk langsung memberitahukan tentang kabar kehamilannya. Ia benar-benar sudah tidak sabar, untuk melihat reaksi atasannya itu, saat tahu, bahwa ia akan segera memiliki anak lainnya dalam kurun waktu dekat.
"Nyonya dan Tuan sedang tidak ada di rumah. Sedang pergi dan belum kembali," jawab pelayan tersebut.
Jesicca bergeming sejenak, lalu menghela napas. Rasanya, ini terlalu cepat. Mungkin, besok saja ia memberitahunya saat sedang berada di kantor.
"Ya sudah kalau begitu."
Jesicca berbalik dan pergi dari kediaman Rainer dan tidak lama setelahnya, Rainer tiba di kediamannya bersama Lily.
Pintu kembali dibuka dengan lebar oleh pelayan, yang belum lama menutup pintu.
"Tuan, tadi ada yang datang mencari Tuan," ucap pelayan tersebut, yang membuat Rainer menghentikan langkah kakinya. Begitu pula dengan Lily, yang langsung mempertajam Indra pendengarannya.
"Siapa?" tanya Rainer kemudian.
Pelayan tersebut nampak menggaruk kepala bagian belakangnya yang tak gatal. Karena lupa menanyakan kepada orang yang datang tadi, tentang siapa dan apa keperluannya datang.
"Maaf, Tuan. Tadi saya lupa bertanya. Yang jelas seorang perempuan."
Lirikan tajam langsung Lily berikan kepada suaminya itu. Apalagi, setelah mendengar kata 'perempuan'.
Rainer bergeming sambil berpikir keras. Kira-kira siapa orang yang datang mencarinya. Dan lagi, seorang perempuan?
Sementara wanita yang masih berada di samping Rainer mulai menyindirnya.
"Perempuan siapa tuh...," sindir Lily dengan tatapan mata ke lain arah.
Rainer tersenyum dan langsung merengkuh kepala Lily. Mendekap ke dalam dadanya yang bidang.
"Apaaaa?? Kalau dengar kata perempuan saja, langsung sensitif sekali ini telinganya," ucap Rainer yang kini mengelus-elus telinga Lily.
"Ya iyalah! Suami sendiri dicariin perempuan lain. Masa iya diem aja??" ucap Lily bersungut-sungut seraya melepaskan dekapan Rainer.
Rainer masih saja tersenyum dan sengaja membungkukkan tubuhnya, agar sejajar dengan wajah Lily.
"Sayangku... Istriku yang cemburuan ini. Kalau ada perempuan datang ke rumah. Bukan berarti ada apa-apanya lho ya? Lagian, kalau ada apa-apa, mana mungkin berani datang ke sini. Memangnya, mau dijambak oleh istri Mas yang sangar ini," seloroh Rainer sambil mengusap puncak kepala Lily.
"Apa??? Siapa yang sangar??" tanya Lily dengan delik mata yang tajam.
"Kamu. Memangnya, siapa lagi?" seloroh Rainer lagi, yang langsung mendapatkan cubitan kencang di pinggangnya.
"Aduduh! Sakit sayang!!" pekik Rainer, yang langsung berusaha melepaskan tarikan jemari tangan Lily dari pinggangnya.
"Makanya jangan ngomong aneh-aneh!" ketus Lily seraya melepaskan cubitannya.
"Tapi, Mas benarkan? Memangnya ada perempuan yang berani mendatangi istri sah? Kalau ada apa-apanya. Pasti main belakang, bukan malah di depan."
"Sama sekretaris yang dulu emangnya nggak gitu??"
"Griselda maksud kamu??" tanya Rainer memperjelas.
"Pake nanya lagi," ucap Lily seraya berbalik dan melengos pergi meninggalkan Rainer begitu saja.
Lily yang telah sampai di kamar dan meletakkan Matthew ke dalam box bayinya.
Rainer yang baru saja datang menyusul, langsung melingkarkan kedua tangannya pada pinggang istrinya itu.
"Mas tidak akan pernah berbuat macam-macam sayang. Satu saja sudah cukup. Jadi, untuk apa ada yang lainnya lagi??"
"Di mulut sih bilangnya gitu, tapi di hatinya aku nggak tahu kan!" ketus Lily.
"Di hati juga cuma ada kamu. Tidak ada yang lainnya lagi. Sudah. Jangan cemburuan begini. Sumpah demi kamu, demi Matthew dan juga adiknya Matthew ini. Tidak akan pernah ada wanita yang lain lagi. Cuma ada kamu sayang," ucap Rainer sambil mengecup pelipis Lily.
Keesokkan harinya.
"Ini Pak, berkas-berkasnya," ujar Jesicca yang meletakkan tumpukan berkas laporan di atas meja Rainer, sama seperti kemarin.
"Iya simpan saja di situ," perintah Rainer tanpa menoleh sedikitpun.
Jesicca masih diam mematung. Ia tak selangkah pun meninggalkan posisinya berdiri. Rainer yang menyadari, bila wanita di depannya hanya diam saja mulai mendongak dan berusaha untuk menegurnya.
"Kenapa masih di sini??" tanya Rainer.
"Em, ada yang mau saya bicarakan dengan Bapak. Penting," ucap Jesicca yang sedikit ragu-ragu. Takut bila akan ditolak mentah-mentah.
"Cepat katakan! Saya tidak punya banyak waktu."
Jesicca mengambil kertas dari saku kemeja putih, yang ia kenakan. Dan meletakkannya di atas meja sambil mendorongnya ke hadapan Rainer.
"Apa? Katakanlah, apa yang ingin kamu bicarakan!?" ketus Rainer tanpa banyak basa-basi.
"Silahkan dibaca, Pak," perintah Jesicca.
Rainer menyunggingkan bibirnya. "Kamu ingin membuang waktu saya dengan percuma??" Intonasi suara Rainer meninggi. Ia tidak suka diajak bicara bertele-tele seperti ini. Dan ingin langsung ke intinya.
"Cepat katakan saja. Atau keluar dari sini!" tegas Rainer.
"Saya hamil, Pak!" ucap Jesicca dengan cepat sebelum Rainer mengusirnya keluar.
Rainer mengerutkan keningnya. Masalah seperti ini saja, kenapa harus mengatakan kepada dirinya? Apa ia ingin meminta keringanan pekerjaan karena sedang hamil?
"Ingin cuti? Atau keringanan pekerjaan?" tanya Rainer to the point.
Jesicca tersenyum masam dan menggelengkan kepalanya.
"Bukan itu yang saya inginkan. Saya mau tanggung jawab Bapak!" cetus Jesicca.
Rainer bergeming dengan ekspresi wajah yang datar. Ingin sekali tertawa. Tapi tidak ada waktu untuk lelucon semacam ini.
"Sudahlah. Cepat kembali bekerja!" perintah Rainer.
Jesicca membuka mulutnya dan mengembuskan napas dari dalam sana. Merasa seperti sedang diinjak harga dirinya. Meskipun, ia yang memulai semuanya lebih dulu. Tetapi tetap saja. Tidak seharusnya ia diperlakukan seperti ini. Apalagi, ia tengah mengandung anaknya pikir Jesicca.
"Pak! Jangan mempermainkan saya seperti ini! Saya memang hanya sekretaris dan mungkin memang saya juga yang memulai semuanya malam itu. Tapi setidaknya, tunjukkanlah sedikit rasa empati Bapak terhadap calon anak Bapak sendiri!" cetus Jesicca yang membuat Rainer geram.
"Hei dengar!! Dengarkan saya baik-baik. Jangan kamu melimpahkan apa yang kamu perbuat sendiri kepada saya! Sana Mintalah pertanggung jawaban dari kekasihmu! Bukan kepada saya!!" pekik Rainer dengan kelopak mata yang terbuka lebar.
"Tapi, Pak. Ini anak Bapak. Kita sudah melakukannya malam itu!"
"Keluar!! Atau saya tidak akan segan-segan berbuat kasar!" pekik Rainer dengan lantang.
Jesicca mengembuskan napas kasar. Menarik kertas miliknya lagi dan keluar dari ruangan Rainer.
Jesicca kembali ke mejanya. Ia mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Tidak pernah merasa terhina sampai seperti ini. Kalau bukan karena kekayaan yang dimiliki oleh atasannya itu. Ia rasanya malas sekali berhubungan dengannya.
Dan lagi, saat ini ia malah hamil. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Ia tetap harus mendapatkan pertanggungjawaban. Tidak ingin hamil tanpa memiliki suami. Apa kata orang-orang nanti??
Ya, bagaimana pun caranya. Ia harus membuat Rainer menikahinya.
Sore harinya.
Pintu kediaman Rainer diketuk oleh seseorang. Lily yang akan pergi ke dapur pun akhirnya menghentikan langkah kakinya. Ia berjalan ke arah pintu keluar untuk melihat siapa yang datang.
Pintu terbuka. Nampak seorang wanita yang malas sekali Lily lihat, sudah berdiri diambang pintu.
"Mau apa, Mbak??" tanya Lily ketus.
"Mau menunggu calon suami pulang!" cetus Jesicca yang langsung saja melengos masuk tanpa permisi. Bahkan menabrak tubuh Lily.
Lily naik pitam dan langsung berbalik serta menarik rambut panjang wanita, yang baru saja berjalan melewatinya.
"Argh sakit!!" pekik Jesicca sambil memegangi rambutnya yang dijambak oleh Lily.
"Lepas!!" pekik Jesicca, yang masih berusaha melepaskan cengkraman tangan Lily yang begitu kuat pada rambutnya.
Benar-benar bocah ingusan kurang ajar. Berani sekali menjambak rambut orang yang lebih tua darinya batin Jesicca.
"Ayo keluar!" usir Lily yang kembali menarik rambut panjang Jesicca dengan lebih kencang ke belakang.
Jesicca yang tidak mau kalah dari bocah kemarin sore, mulai menekan kencang tangan Lily di atas kepalanya, agar Lily berhenti menarik rambutnya.
Tarikan rambut berhasil dihentikan. Jesicca bergegas menjauh sambil merapikan rambutnya yang berantakan.
"Mbak, jangan karena merasa lebih tua. Mbak pikir saya takut! Ini rumah saya. Ini rumah suami saya! Sekali aja saya teriak, Mbak bisa langsung diseret keluar!!" ancam Lily berapi-api.
Benar-benar perempuan kurang ajar pikir Lily. Ia sudah menahan-nahan cukup lama, dari ia datang dan masuk seenaknya ke kamar suaminya saat perjalanan bisnis mereka. Belum lagi, menarik pipi anaknya yang masih bayi, dan sekarang melengos masuk tanpa permisi, sambil menyebut Rainer sebagai calon suami. Benar-benar harus diberi pelajaran, supaya kapok
"Mbak nggak laku apa gimana?? Nggak ada malunya deketin suami orang??? Yang masih lajang banyak Mbak. Nggak usah kegatelan sama suami orang! Kayak nggak laku aja!!" cibir Lily dengan begitu puas, lantang dan membuat Jesicca cukup kena mental.
"Hei! Dengar ya? Saya juga malas harus ke sini. Apalagi, berhadapan dengan bocah kemarin sore seperti kamu! Tapi demi anak di perut saya ini. Ya saya datang ke sini!" pekik Jesicca yang tidak mau kalah.
"Anak??" ucap Lily kebingungan dengan dahi mengerut.
"Iya anak. Saya hamil. Dan suami kamu yang menghamili saya," ujar Jesicca dengan angkuh.
Lily memperhatikan Jesicca dari atas hingga ke bawah. Memang, tubuhnya cukup bagus. Sekal dan berisi. Tetapi anak?? Apa ia tidak salah mendengar? Masa iya dia dihamili oleh suaminya?
"Sayang Mas pulang," ucap Rainer yang masuk begitu saja saat melihat pintu terbuka.
Dan langsung shock melihat Jesicca dengan rambut yang berantakan. Apa mereka habis tawuran? Rainer langsung mendekati Lily dan mengecek keadaannya.
"Sayang? Dia tidak apa-apa kan kamu kan? Mana yang sakit?" tanya Rainer seraya melihat sekujur tubuh Lily. Untuk memastikan tidak ada luka di tubuhnya. Sementara Jesicca nampak tersenyum masam. Ia yang dijambak habis-habisan. Malah bocah ingusan itu yang diperhatikan kondisi tubuhnya.
Lily langsung menoleh dan menatap Rainer. Melayangkan pertanyaan yang masih abu-abu untuknya.
"Mas hamilin dia?" tanya Lily dengan sedikit memajukan bibir, yang tadinya sudah buas bak singa, kini berubah jadi kucing kecil di hadapan suaminya sendiri.
"Hah? Tidak sayang. Mana pernah Mas sentuh dia," ucap Rainer seraya melirik ke arah Jesicca.
"Pak, Bapak lupa waktu business trip kita waktu itu!" cetus Jesicca dengan cepat.
Lily membuka kedua kelopak matanya lebar-lebar. Ia mendelik tajam kepada Rainer yang sedang membeliak.
Habislah ia pikirnya. Lily pasti berpikir yang bukan-bukan tentangnya. Hal ini harus segera dituntaskan. Sebelum bertambah rumit.
Rainer mendekat kepada Jesicca dan langsung mencekal lengannya, serta menyeretnya keluar.
"Pergi dari sini! Jangan pernah datang lagi ke sini, maupun ke perusahaan!" cetus Rainer.
"Pak, Saya tidak peduli mau dipecat atau apa. Tapi yang saya butuhkan sekarang, pertanggungjawaban atas kehamilan saya ini!!"
"Astaga! Tanggung jawab untuk apa?? Saya tidak pernah menyentuh kamu seujung kuku pun! Jadi bagaimana mungkin anak itu darah daging saya!"
"Waktu business trip kita waktu itu. Kita melakukannya di kamar Bapak kan?"
Perkataan yang semakin membuat tanda tanya besar di dalam kepala Rainer.
Kenapa dia begitu yakin dan berani mengatakan hal ini? Apa dia sudah gila??
"Pulanglah dulu! Kita bicarakan hal ini nanti!" ucap Rainer pada akhirnya. Ia ingin segera membuat Jesicca enyah dari hadapannya dan segera menyusul istrinya, untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi di sini.
"Baiklah. Tapi saya harap, Bapak tidak pernah lari dari tanggung jawab!" cetus Jesicca seraya berjalan pergi.
Rainer bergegas kembali masuk ke dalam. Namun, ia sudah tidak menemukan Lily di dalam sana. Lily pasti kembali ke kamar pikirnya.
Akhirnya, Rainer memilih untuk menyusul Lily ke kamar. Namun, saat pegangan pintu diputar serta daun pintu didorong. Rasanya, kenapa begitu sulit untuk terbuka.
"Dikunci??" gumam Rainer.