Salah Sasaran
"Papa terkena PHK, Jes," ucap Elena, ibu dari Jesicca, kepada putrinya itu saat ia baru saja pulang dari bekerja.
"Kok bisa, Ma?? Selama ini, Papa bekerja dengan bagus kan?? Lagipula, itu perusahaan yang cukup berpengaruh. Kenapa bisa Papa di-PHK??"
"Memang sedang ada pengurangan besar-besaran, Jes. Perusahaan collapse karena pandemi dan mau tidak mau, terpaksa harus memangkas banyak karyawannya dan Papa kamu, termasuk ke dalam salah satunya."
Jesicca mengusap wajah dengan telapak tangan kanannya. Sebagai anak yang memang hanya satu-satunya, Jesicca mulai merasa, beban yang berat harus ia pikul mulai hari ini. Padahal biasanya, ia hanya bekerja untuk kesenangannya sendiri, di usianya yang baru menginjak dua puluh empat tahun. Namun sekarang, ada keluarga yang harus ia sokong kesejahteraan hidupnya.
"Tidak usah terlalu dipikirkan. Kamu bekerja saja yang rajin ya? Papa pasti akan segera mendapatkan pekerjaan yang baru," ucap Elena yang berusaha menenangkan. Namun, tidak serta merta membuat Jesicca tenang dengan mudah. Pikirnya, siapa yang akan mempekerjakan pria yang usianya sudah hampir akan memasuki setengah abad. Mau tidak mau, ia sebagai anak tunggal ini, harus mulai berusaha mencari uang dengan lebih giat lagi, agar tetap bisa memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, yang tergolong bak sosialita serta keluarganya juga.
Esok harinya.
Sang Bos yang lagi-lagi datang bersama dengan anak istrinya, nampak menggendong pria kecil di dalam dekapannya. Belum lagi, ia yang juga berusaha merangkul pinggang istrinya yang terlihat dengan perut yang menonjol.
Membuat setiap pasang mata menatap iri, terlebih khusus kepada wanita yang belum lama lulus SMA dan sudah menjadi istri dari bos mereka, yang bukan hanya good looking tapi juga good rekening.
"Hey kedip! Nih laporannya!" tegur staf satu kantor Jesicca.
"Beruntung ya? Masih muda. Udah punya suami yang menjamin masa depan. Udah mau punya anak dua juga," ucap Jesicca tiba-tiba.
"Kenapa memangnya? Iri? Mau juga? Emangnya, kamu sepolos itu??" cecar Agnes, wanita yang sedari tadi mengajak Jesicca berbicara.
"Maksudnya??" tanya Jesicca dengan dahi yang berkerut banyak.
"Jadi, kamu tidak dilirik sama sekali?" ucap Agnes lagi dan malah membuat Jesicca bertambah bingung.
"Apa sih maksudnya??" tanya Jesicca.
Agnes mengembuskan napas dan mencondongkan tubuh, hingga berada lebih dekat dengan Jesicca.
"Bos kita itu, dulunya ada main dengan sekretaris di sini. Griselda. Sektretaris yang sebelumnya."
"Oh ya?? Masa sih??" tanya Jesicca dengan mata membeliak.
Agnes mengangguk. "Iya. Tanya aja anak-anak yang lain. Dia cuma sekretaris. Tapi tiap Minggu selalu datang dengan tas branded keluaran terbaru. Ya, you know lah! Asal dekat dengan bos. Akan dapat timbal balik yang lumayan. Udah ya? Mau lanjut kerja lagi."
Jesicca bergeming. Hingga muncul bayangan kehidupan enak dan layak. Namun, bila memakai jalan pintas, apa hal tersebut tidak terlalu buruk untuk dilakukan?
Satu minggu kemudian.
Rainer membungkuk di depan pintu kamar sambil berkali-kali mengecup perut sang istri, Lily.
"Sudah ya sayang? Mas berangkat dulu."
"Iya hati-hati. Kalau udah sampai, langsung kasih kabar ya, Mas?" pinta Lily.
Rainer mengangguk patuh dan tersenyum, sambil menyelipkan helaian rambut pada daun telinga istrinya itu.
"Kamu juga hati-hati, di rumah. Jaga Matthew dan juga calon adiknya Matthew ini," ucap Rainer sambil mengelus perut Lily yang nampak menonjol.
"Iya. Ya udah sana berangkat nanti terlambat."
"Iya sayang. Tidak akan lama, sebelum satu minggu pekerjaan akan segera Mas bereskan. Jadi, Mas bisa pulang cepat," ucap Rainer lagi sambil mengecup pipi kanan kiri Lily secara bergantian. Sesuatu di bawah indra penciuman Lily pun tak luput dari sapuan bibir Rainer. Dan saatnya kini, ia pergi untuk melakukan perjalanan bisnisnya ke luar negeri, bersama dengan asisten pribadi dan juga sekretarisnya di kantor.
Di sebuah kamar hotel.
"Hai sayang. Kamu sedang apa? Matthew mana? Aku baru saja sampai di hotel," sapa Rainer, melalui panggilan video, sebelum suara ketukan pada pintu kamarnya, membuat perhatiannya teralihkan.
Lily mulai memperhatikan dengan seksama. Apa yang sedang suaminya lakukan di sana. Dan dapat melihat melalui layar ponsel, Rainer yang sedang berjalan ke arah pintu. Lalu membuka pintunya.
"Pak! Saya numpang ke toilet ya! Sudah tidak tahan mau buang air!" ucap wanita yang kini berdiri diambang pintu, sambil meletakkan kedua tangannya di depan bagian sensitifnya.
"Memangnya kenapa dengan kamar mandinya?" tanya Rainer kepada sekretarisnya, Jesicca.
"Sepertinya rusak, Pak! Boleh ya, Pak? Sudah tidak tahan ini," ucapnya lagi disertai ringisan.
"Ya sudah. Cepatlah!" cetus Rainer.
Jesicca berjalan masuk dan memakai kamar mandi, sementara Rainer duduk di atas tempat tidur, sambil menunggu sekretarisnya keluar dari dalam kamar mandi, dengan begitu, ia bisa kembali menutup pintu kamar setelahnya.
Rainer kembali mengarahkan layar ponsel miliknya dan melihat Lily yang sudah menekuk wajahnya.
"Siapa???" tanya Lily dengan nada mencecar.
"Sekretaris Mas di kantor," jawab Rainer dengan santai.
"Ngapain masuk kamar segala???" cecar Lily lagi.
"Numpang ke kamar kecil," jawab Rainer lagi yang masih nampak santai.
Namun tidak untuk Lily yang sudah mulai ketar-ketir. Pikirannya sudah tidak menentu. Apalagi, sebelum dengannya, Rainer sudah dikelilingi banyak wanita. Termasuk mantan sekretarisnya. Dan sekarang, ada sekretaris baru. Apa dia juga calon-calon pengganggu suami orang?
"Kenapa? Kok diam?" tanya Rainer, yang melihat Lily hanya bergeming tanpa berkata-kata lagi.
"Pak sudah. Terima kasih ya?" ucap Jesicca yang sempat melirik layar ponsel Rainer, lalu keluar dari dalam kamar dan kembali menutup pintu kembali dengan rapat.
"Sayang, kenapa diam terus sih? Hmm? Kenapa?" tanya Rainer lagi yang kini berpindah ke balkon.
"Mas jangan bawa-bawa masuk perempuan ke dalam kamar. Jangan terlalu baik sama perempuan. Nanti kalau dia baper. Terus, ada hati sama Mas gimana coba???"
"Ya masa harus Mas usir sih. Kalau dia buang air kecil di tempat bagaimana?"
"Ya kan ada Mas Aaron. Kenapa juga harus perginya ke kamar Mas?? Caper tuh dia! Nggak tahu apa, atasannya udah punya anak sama istri. Udah nggak laku lagi sama yang lajang apa gimana!??"
Kini Lily mulai bersungut-sungut. Karena emosi yang mulai tersulut. Ia jadi kembali teringat dengan ucapan sang Mama, tentang rekan kerja di kantor Papanya yang genit. Karena Papanya bersikap terlalu baik.
Rainer tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Sepertinya, istrinya kini sudah mulai posesif. Sampai ia tidak boleh bersikap baik kepada perempuan manapun.
"Iya iya. Mas tidak akan terlalu baik sama perempuan manapun. Selain dengan istri Mas sendiri."
"Beneran lho, Mas! Jangan mentang-mentang aku nggak lihat Mas di sana. Nanti Mas begitu lagi!"
"Iya sayang iya. Tidak akan pernah terjadi lagi. Kamu bisa tanya Aaron langsung nanti. Mas bagaimana di sini," ujar Rainer yang berusaha menenangkan kekhawatiran istrinya itu.
"Iya. Ya udah. Terus, jadi kapan Mas pulangnya?" tanya Lily.
Entah Rainer harus senang atau bagaimana kali ini.
"Mas baru juga sampai. Belum sempat mengurus pekerjaan di sini. Dan sudah ditanya kapan pulang?"
"Ya kan aku cuma nanya. Lebih cepat lebih bagus kan," ucap Lily.
"Memangnya kenapa? Sudah tidak tahan ya? Lama-lama jauh dari Mas?" goda Rainer dengan senyum yang mengembang.
Tingkat kepercayaan diri Rainer memang tidak pernah berubah sedikitpun dan sialnya, hal itu memang benar Lily rasakan.
"Nggak tuh!" jawab Lily asal dan yang pasti, tidak mau mengakui.
"Oh ya? Kalau begitu, satu bulan di sini mungkin bukan ide yang buruk," tutur Rainer sembarangan.
Lily membuka kedua kelopak matanya lebar-lebar. Dan sudah bersiap melayangkan protes keras bagi suaminya itu.
"Nggak usah pulang sekalian, Mas. Tinggal di sana aja terus!"
"Oh ya sudah kalau kamu mengizinkan," goda Rainer lagi.
"Ih Mas ngeselin! Nggak sayang sama anak istri nih jadinya!" keluh Lily.
"Ya sayang dong. Lagipula, kalau Mas pulang cepat. Memangnya, mau dikasih apa hmm?" tanya Rainer yang mulai memancing, siapa tahu dapat.
"Ya apapun pokoknya asal cepet pulang!"
"Ok dua ronde. Deal!"
"Ih Mas tuh... Ya udah cepet pulang dulu makanya!"
"Iya sayang. Ya sudah. Mas mau mandi dulu. Mau langsung survey lapangan hari ini juga, supaya bisa cepat pulang."
Malam harinya.
"Rokok?" ucap Aaron seraya mengulurkan satu bungkus rokok, yang sudah terbuka ke hadapan Rainer.
Rainer menggelengkan pelan. "Tidak, Ron. Aku sudah memutuskan untuk tidak lagi merokok maupun minum."
"Kenapa memangnya?" tanya Aaron, yang mengembuskan asap rokok dari dalam mulutnya.
"Kamu tahu riwayat penyakit yang pernah ku derita bukan? Aku tidak ingin membuat Lily menjadi janda di usia muda, apalagi dengan dua orang anak!"
Aaron menyunggingkan senyumnya. "Baguslah. Kalau kamu berpikiran seperti itu. Hiduplah lebih lama lagi. Agar aku juga bisa terus bekerja di Time Luxury, mengumpulkan banyak uang dan segera menyusul dirimu untuk menikah dan memiliki anak," tutur Aaron.
"Ya, tentu saja. By the way, memangnya, kamu sudah menemukan calon istri hmm?" tanya Rainer dengan nada mencibir.
"Ck! Ya, belum! Tapi aku yakin. Aku akan segera menyusul mu dalam waktu dekat ini!" cetus Aaron dengan semangat penuh.
"Ya, akan aku do'akan. Semoga saja secepatnya," ucap Rainer yang kini berbalik dan hendak pergi.
"Kamu mau pergi ke mana malam-malam begini??" tanya Aaron yang sejenak menghentikan langkah kaki Rainer.
"Mencari udara segar di luar sana. Di sini bau asap rokok!" cetus Rainer seraya melanjutkan langkah kakinya.
Rainer pergi menyusuri lorong hotel. Ia pergi ke taman dan menikmati udara malam yang dingin. Sementara Aaron yang masih berada di balkon kamar Rainer. Mulai kembali masuk. Setelah menghabiskan satu batang rokok.
Aaron tak lantas keluar dari dalam kamar. Ia malah mengedarkan pandangannya ke arah sekeliling kamar, yang Rainer tempati malam ini. Hingga sepasang mata miliknya terhenti dan memandangi botol parfum yang berada di atas meja.
"Sepertinya, aku harus mencoba peruntungan. Banyak wanita yang menempel kepadanya. Mungkin, karena hal ini," ucap Aaron pada dirinya sendiri sambil menyemprotkan parfum ke tubuhnya. Lalu meletakkannya lagi pada tempatnya semula.
Baru saja ia akan keluar dari dalam kamar Rainer. Langkahnya kembali terhenti. Entah apa benda di dalam kamar ini dan mungkin berkas-berkas yang penting lainnya.
Aaron memilih mengurungkan langkah kakinya. Dan kembali masuk ke dalam kamar. Mencoba untuk menjaga kamar Rainer untuk sementara waktu, sampai pemiliknya kembali. Ia pun mulai merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Hendak tertidur sejenak, karena lelah di perjalanan serta di pekerjaan.
Namun, agaknya cukup sulit, karena ia yang tidak terbiasa terlelap dengan lampu yang menyala. Aaron kembali bangkit. Lalu pergi ke arah stop kontak dan dengan sengaja mematikan lampu. Setelah itu, barulah ia kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur lalu memejamkan kedua matanya.
Beberapa menit setelah Aaron terlelap. Pintu kamar tiba-tiba saja terbuka. Setelah seseorang dari luar membuka pintu dengan perlahan.
"Pak, saya numpang ke kamar mandi lagi ya?" ucap seseorang yang tadi sore sempat datang ke kamar ini.
Tak ada jawaban. Karena orang tersebut mengira si pemilik kamar telah terlelap dari bayangan sosok di atas tempat tidur. Sebuah senyuman menyeringai pun, ia guratan di bibirnya, setelah melihat sebuah kesempatan emas, yang memang sudah lama ia nanti-nantikan.
Tadinya, ia memang datang untuk menggoda atasannya. Minimal bisa menjadi wanita simpanan Bos-nya sama seperti sekretarisnya yang terdahulu. Dan sekarang, sepertinya ia sudah memiliki kesempatan itu. Perlahan Jesicca menutup rapat pintu kembali. Ia tak lantas menyalakan lampu untuk menerangi ruangan kamar tersebut. Dan memilih untuk bergerak cepat serta merangkak naik ke atas ranjang dengan sosok yang tengah merebahkan tubuhnya di atas sana.
Aroma parfumnya yang biasa ia pakai begitu menyeruak dan memanjakan indra penciuman Jesicca. Perlahan-lahan, tangan nakalnya menggerayangi tubuh yang tergeletak begitu saja. Memberikan sentuhan-sentuhan di area yang paling sensitifnya.
Tiba-tiba saja Aaron terbelalak. Ia melihat siluet tubuh seorang wanita. Dan tak lantas menghardik karena sedang berada di puncak gairah yang membuatnya bergidik. Aaron pasrah. Menerima setiap perlakuan, yang seseorang itu berikan pada tubuhnya. Bahkan yang lebih gilanya lagi. Tiba-tiba saja siluet tubuh wanita itu, merangkak naik dan menyatukan tubuh mereka berdua.
Oh s**t! rutuk Aaron saat merasakan sebuah penyatuan hangat di bawah sana.
Dengan gerakan yang begitu kaku, ia merasakan tubuh itu berusaha membuatnya memuntahkan lahar panas. Sudah tak tahan dan tak bisa tinggal diam lagi. Aaron ingin ikut beraksi. Ia membalikkan keadaan, mengungkung siluet tubuh wanita yang memberinya sebuah kenikmatan tak terkira.
Memberinya hujaman dari tempo lambat hingga cepat. Sampai teriakan bersama, mengakhiri petualangan liar mereka berdua malam ini.