Esok harinya.
Wanita berbalut rok pendek di atas lutut, berambut lurus panjang melewati bahu dan menggunakan kemeja putih, nampak mengetuk pintu ruangan dimana Rainer berada.
"Siapa??" tanya Rainer dari dalam ruangannya, dengan suara yang cukup lantang. Agar orang yang berada di luar sana, bisa mendengar ucapannya.
"Jesicca, Pak. Mau memberikan beberapa berkas laporan," jawabnya dari luar ruangan.
Setelah kemarin beberapa pekerjaan Aaron dialihkan kepadanya. Hari ini, ia sudah harus menangani semua pekerjaan tersebut. Karena mulai hari ini pula, masa cuti Aaron dimulai.
"Masuklah!" perintah Rainer.
Pintu ruangan dibuka. Jesicca masuk ke dalam ruangan dan menyerahkan tumpukan berkas laporan di tangannya.
"Ini Pak berkas-berkasnya," ujar Jesicca.
"Oh iya. Letakan saja di situ," perintah Rainer sambil menunjuk meja di depannya.
Jesicca mulai meletakkan tumpukan berkas laporan tersebut di atas meja Rainer. Dan saat akan berbalik serta berjalan pergi, ia nampak tertegun sejenak. Lalu mengernyitkan dahinya. Saliva ditelan olehnya dan ada rasa yang begitu menggelitik di tenggorokan, yang berusaha Jesicca tahan. Namun ternyata, tidak lagi dapat tertahankan.
"Pak??? Saya pinjam toiletnya ya???" ucap Jesicca yang langsung kembali menatap Rainer.
Rainer tak menoleh dan masih sibuk menandatangani berkas di hadapannya.
"Ya sudah sana!" perintahnya.
Jesicca berjalan cepat dan pergi ke toilet. Menutup kembali pintunya rapat-rapat dan berdiri di depan wastafel, lalu membungkukkan tubuhnya.
"Hoek! Hoek!"
Rainer mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah dimana suara yang cukup keras itu berasal.
"Hoek!!"
Suara itu kembali terdengar dan tidak lama setelahnya, Jesicca pun keluar dari dalam toilet dan berjalan dengan perlahan-lahan. Sementara Rainer memperhatikannya dan ketika Jesicca melewati mejanya.
"Sakit?" tanya Rainer singkat.
Jesicca pun tersenyum kaku dan sedikit menundukkan kepalanya.
"Nggak tahu, Pak. Badannya memang agak kurang enak," tutur Jesicca.
Rainer menghela napas panjang dan berkata,
"Pergilah ke dokter sepulang bekerja! Jangan sampai sakit. Aaron sudah pergi cuti dan kamu harus tetap sehat, untuk meng-handle semua pekerjaan di sini, selama dia tidak ada. Jadi, segeralah pergi ke dokter!" perintah Rainer dengan raut wajah yang serius.
"Iya Pak. Nanti sepulang bekerja, saya langsung pergi ke dokter. Permisi, Pak."
Jesicca berjalan keluar dari dalam ruangan dan menutup pintunya kembali. Sementara Rainer menggelengkan kepala serta melanjutkan pekerjaannya.
Siang harinya.
Ponsel milik Rainer berdering. Ia yang masih sibuk mengecek berkas laporan pun merogoh saku celananya dan menjawab panggilan tersebut.
"Halo sayang. Ada apa?" tanya Rainer ketika melihat nama 'My lovely wife' pada layar ponselnya yang menyala.
"Mas lagi apa?" tanya Lily.
"Mengecek laporan, sayang."
"Nggak pergi makan? Bukannya udah waktunya makan siang ya??" tanya Lily seraya melirik jam yang menempel pada dinding kamar.
"Iya memang. Tapi, Mas sedang sibuk sekali hari ini. Sedang banyak pekerjaan. Aaron mengambil cuti beberapa hari. Jadi, Mas agak kewalahan juga mengerjakan semuanya. Biasanya dibantu oleh dia," jelas Rainer.
"Oh pantes aja. Ya tapi jangan sampai telat makan juga Mas. Nanti sakit lagi gimana??" ujar Lily.
"Iya... Nanti sore saja di rumah. Makannya dengan kamu juga. Kalau sekarang benar-benar tidak bisa. Pekerjaan Mas masih menumpuk."
"Ck! Mas kebiasaan nih! Kalau udah sakit aja. Ya udah deh, aku anterin makanan aja ya buat Mas??" saran Lily yang langsung diiyakan oleh Rainer.
"Ya sudah sini. Sekalian temani Mas di kantor ya?" ucap Rainer.
"Iya, Mas. Ya udah. Aku mau siap-siap dulu. Bye Mas."
"Iya bye sayang, Mas tunggu ya?"
"Iya."
Panggilan diakhiri. Lily bergegas mengganti pakaian yang melekat di tubuhnya. Setelah itu meminta pelayan menyiapkan makanan dan juga mengganti pakaian untuk putranya. Barulah setelahnya, ia pergi ke kantor dimana suaminya bekerja.
Sekitar empat puluh menit berlalu. Akhirnya, Lily tiba di kantor tempat suaminya bekerja. Ia keluar dari dalam mobil dan berjalan masuk ke dalam gedung perusahaan, bersama dengan supir yang menggendong putranya.
"Selamat siang, Bu. Pasti ingin bertemu dengan Bapak Rainer ya?" ujar satpam yang berjaga di depan pintu, saat Lily baru sampai di lobby.
Lily tersenyum semringah dan mengangguk. "Iya, Pak. Mau antar makan siang," ucap Lily sambil mengangkat paper bag di tangannya.
"Ayo, ke sini, Bu," ajak satpam tersebut yang menggiring Lily ke dalam lift.
"Hati-hati ya, Bu," pesan satpam tersebut saat pintu lift akan tertutup.
"Iya, Pak. Terima kasih ya?"
"Sama-sama, Bu," balas satpam itu lagi dengan senyum ramah.
Pintu lift tertutup dan membawa Lily ke lantai atas. Dentingan nyaring terdengar, bersamaan dengan pintu lift yang kembali terbuka. Lily mulai melangkah keluar dan berjalan dengan hati-hati.
"Aduh!" pekik seseorang yang tidak sengaja menubruk Lily dari arah belakang. Membuat berkas di tangannya berceceran di bawah.
"Lagi pusing juga ada-ada aja lagi!" rutuk orang tersebut yang tak lain adalah Jesicca.
Setelah semua berkas telah ia bereskan. Ia bangkit dan hendak meminta maaf. Namun setelah itu malah tertegun, saat melihat dua bola mata yang menatap sinis kepadanya.
"Maaf. Saya tidak sengaja, sedang buru-buru!" ucap Jesicca
Lily yang sempat melirik sinis sejenak, kembali meneruskan langkah kakinya ke ruangan dimana Rainer berada.
Pintu dibuka begitu saja tanpa diketuk. Rainer yang masih sibuk menandatangani berkas pun berkata tanpa menoleh.
"Apa tidak bisa mengetuk pintu dulu sebelum masuk!?" tegur Rainer.
"Istri sendiri juga harus ketuk pintu ya, Mas??" ketus Lily seraya meletakkan paper bag di atas meja.
Rainer langsung mendongak lalu tersenyum semringah.
"Sayang, Mas kira siapa tadi." Semua laporan Rainer ke sampingkan, ia fokus menatap istrinya sendiri, yang baru saja mendaratkan tubuhnya pada kursi di depannya.
"Kamu cepat sekali sampainya. Pasti tidak macet ya tadi??"
"Iya," jawab Lily singkat dengan raut wajah yang masam. Rainer yang melihat wajah istrinya ditekuk pun langsung berinisiatif untuk bertanya.
"Kenapa? Maaf ya? Mas kira tadi itu karyawan yang masuk ke ruangan tanpa permisi," ujar Rainer yang mencoba menjelaskan. Karena ia pikir, ekspresi wajah Lily disebabkan ia yang menegurnya tadi.
"Iya nggak apa-apa kok. Cuma aku sebel aja. Tadi itu, sekretaris Mas tabrak aku. Untungnya aku nggak sampe jatuh tadi. Mana aku lagi hamil begini," adu Lily.
"Oh ya?? Nanti Mas akan tegur dia."
"Cuma ditegur aja?"
"hm? Memangnya, kamu maunya bagaimana? Mas pecat dia? Ya boleh saja sih. Tapi, Mas belum mendapatkan penggantinya sayang. Belum ada bisa menghandle pekerjaan selain dia. Apalagi, Aaron sedang cuti sekarang. Jadi, mau tidak mau Mas harus tetap memperkerjakan dia. Tidak apa-apa kan??"
Lily hanya dapat menghela napas panjang dan berkata, "Terserah Mas aja deh!"
"Jangan begitu sayang. Lagipula, dia itu cukup membantu juga. Kalau dia tidak ada. Bisa-bisa Mas malah pulang tengah malam lho nanti."
"Iya Mas. Iyaa. Ya udah, ayo makan dulu. Nanti baru dilanjutin lagi kerjaannya," perintah Lily.
"Siap sayang!"
Rainer langsung menarik paper bag di depannya. Lalu mengeluarkan isinya.
"Mas makan dulu ya? Kamu sudah makan belum?" tanya Rainer seraya melahap makanan yang Lily bawakan.
"Udah kok, Mas. Mas habisin dulu aja makanan."
Rainer menjawab dengan anggukan, karena mulutnya yang penuh dengan makanan.
Sore harinya.
Sepulang bekerja, Jesicca pergi ke dokter untuk memeriksakan kesehatannya. Hingga akhirnya dilakukan pengujian laboratorium, untuk memperjelas kondisi tubuhnya saat ini.
Satu buah permen Jesicca keluarkan dari dalam bungkusnya dan ia masukkan ke dalam mulut, untuk meredakan rasa mual yang masih saja menggelitik perut.
"Nona Jesicca," panggil Perawat di depan ruangan Dokter.
Jesicca bangkit dari kursi dan berjalan masuk. Lalu duduk di depan meja Dokter, yang sedang memegang kertas hasil pemeriksaan kesehatannya.
"Ini silahkan dibaca dulu," ujar Dokter tersebut yang malah memberikan kertas berisi hasil uji laboratorium kepada Jesicca.
Ingin membacakan langsung. Agaknya tidak tahu pasiennya akan senang atau malah sebaliknya. Karena saat bertanya tadi, pasiennya itu mengatakan, bila ia masih melajang dan ternyata, hasil pemeriksaannya malah di luar dari dugaan.
Jesicca meraih kertas yang diberikan kepadanya. Kedua bola matanya nampak menyapu setiap kata. Awalnya, ia masih terlihat bingung dengan informasi yang tertulis. Hingga kedua bola matanya terhenti pada satu kata, yang tidak pernah ia sangka-sangka sebelumnya.
Jesicca mendongak cepat, ia menatap dokter itu lekat-lekat, lalu meminta kejelasan, dari hasil pemeriksaan.
"Positif, Dok?? Ini maksudnya?? Saya...,"