Siluet tubuh wanita itu bergegas menarik diri dan merapikan pakaiannya kembali. "Saya tidak menyangka, Bapak hebat juga ternyata," ucap suara wanita yang terdengar tidak asing di indra pendengaran Aaron. "Saya tidak akan pernah melupakan kejadian malam ini," ujar siluet tubuh itu lagi, yang sudah bisa Aaron terka dengan jelas suara dari siapa.
Pintu kembali ditutup. Seiring dengan perginya wanita yang hanya datang dan pergi, kurang dari dua puluh menit. Aaron bergegas bangkit dan menyalakan lampu kembali. Ia masih mencerna apa yang sudah terjadi tadi. Hingga kondisi ranjang yang berantakan serta tubuhnya pun yang demikian. Membuat Aaron yakin, bila apa yang terjadi tadi, bukanlah mimpi.
"Astaga! Aku pikir, aku sedang bermimpi tadi," ujar Aaron yang masih terlihat shock dan kini pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Setelah keluar dari kamar mandi, Aaron cepat-cepat merapikan semua kekacauan yang dibuatnya seperti semula lagi. Ia kembali berdiri di balkon dan menghisap sebatang rokok, sambil membayangkan lagi pergulatan panasnya tadi.
"Dia nekat sekali," gumam Aaron sambil kembali menghisap satu batang rokok, yang diapit oleh jemari tangannya.
Bruk!
Suara pintu ditutup yang terdengar keras. Rainer melangkah masuk ke dalam kamarnya dan mendapati Aaron, yang masih berada di balkon kamar hotelnya, seperti saat ia tinggalkan tadi.
"Kamu masih di sini rupanya," ucap Rainer.
Aaron memadamkan ujung putung rokok dengan menggesekkan di dasar asbak. Setelah itu, ia mulai menatap Rainer, yang kini menyandarkan kedua tangannya di pagar pembatas.
"Hei, apakah kamu memiliki wanita lain??" pertanyaan yang begitu konyol menurut Rainer dan membuat ia menyunggingkan senyumnya.
"Apa maksudmu? Wanita yang mana yang kamu maksud hm? Aku hanya memiliki satu wanita penting di dalam hidupku saat ini dan kamu juga pasti sudah tahu siapa orangnya," cetus Rainer.
"Benarkah? Apa kamu tidak bermain api dengan wanita selain dia??" cecar Aaron lagi, yang masih belum juga puas dengan jawaban yang Rainer berikan.
"Ck! Mana ada, Ron. Griselda yang terakhir. Tidak ada yang lainnya lagi setelah dia," tutur Rainer yang membuat kerutan yang begitu banyak di dahi Aaron.
Itu artinya, Rainer tidak pernah melakukan hal apapun, bersama dengan wanita yang tadi tiba-tiba saja memberikan ia kenikmatan. Apa mungkin, wanita itu sedang berusaha menjebak Rainer? Kalau memang mereka terbiasa melakukannya. Ia tidak mungkin salah mengenali bukan?
Bahkan, wanita itu malah pergi begitu saja. Padahal, dari pengalamannya selama bekerja dengan Rainer sejak dulu. Rainer pasti selalu menyuruhnya untuk mentransfer sejumlah uang, ke rekening wanita yang menemani malamnya. Dan sekarang, ia bahkan tidak melakukan hal itu.
"Kenapa memangnya??" tanya Rainer penasaran. Apalagi, Aaron hanya diam mematung dan terlihat sedang berpikir keras.
Aaron tersenyum kaku dan menggelengkan kepalanya. "Tidak. Tidak ada apa-apa. Ya sudah. Aku akan kembali ke kamarku dulu," ucap Aaron seraya berlalu pergi. Namun, langkahnya terhenti sejenak dan berkata,
"Kunci lah pintu kamarmu! Supaya tidak ada orang yang berniat jahat masuk!" peringatan yang Aaron berikan.
"Tenang saja! Aku tidak pernah lupa untuk melakukannya. Kecuali saat tadi saja. Karena kamu sedang berada di kamar ku," balas Rainer.
Esok harinya. Di lantai bawah, saat Rainer dan Aaron yang berada di satu meja yang sama, telah selesai menikmati sarapan pagi mereka.
"Ini, Pak. Kopi untuk Bapak," ucap Jesicca seraya meletakkan secangkir kopi di atas meja, tepat di hadapan Rainer. Ia tersenyum dan juga sambil menyelipkan helaian rambut pada belakang telinganya.
Rainer yang tengah membaca majalah seketika mendongak, untuk melihat siapa yang meletakkan secangkir kopi di hadapannya ini. Lalu, kembali mengedarkan pandangannya pada secangkir kopi, yang sudah tersedia di meja.
"Saya tidak minum kopi," ucap Rainer dengan intonasi suara yang datar.
Jesicca ternganga, karena salah memberikan apa yang atasannya sukai.
"Iya. Dia itu tidak suka kopi. Sini, untukku saja!" cetus Aaron yang duduk di samping Rainer dan langsung menarik secangkir kopi tersebut, serta meletakkannya di hadapannya sendiri.
"Ta-tapi itu...,"
Jesicca terbata. Berniat menarik perhatian atasannya dengan secangkir kopi, setelah semalam dengan sebuah kenikmatan. Kini malah diambil alih oleh asistennya.
"Kenapa? Aku suka kopi kok. Terima kasih ya, Jes," ucap Aaron dengan senyuman yang mengembang.
Jesicca hanya bisa berdengus kesal. Apalagi melihat asistennya yang malah senyum-senyum menatapnya.
"Iya sama-sama!" ketus Jesicca.
Jesicca berbalik dan pergi meninggalkan meja Rainer dan kembali ke mejanya sendiri.
"Hei, Rai. Bagaimana menurutmu tentangnya??" tanya Aaron dengan setengah berbisik, karena Jesicca yang belum pergi terlalu jauh.
"Siapa yang kamu maksud?" tanya Rainer dengan tatapan mata, yang tak lepas dari majalah di tangannya.
"Siapa lagi? Sekretaris mu itu. Kalau dengan Griselda, lebih baik mana?" tanya Aaron penasaran.
"Ya, menurutku, tentu saja lebih baik istriku sendiri!" cetus Rainer yang kini menoleh dan menatap Aaron. Ia merasa tidak suka membahas hal seperti ini.
Sebelum menikah, mungkin ia akan langsung memberikan komentar terkait bentuk tubuh keduanya.
Tapi, setelah memiliki istri. Hanya Istrinya lah yang terbaik menurut Rainer. Lagipula, Istrinya masih sangat alami. Tanpa sentuhan make-up serta permak sana sini di bagian tubuh manapun. Tidak seperti, sekretaris atau mantan sekretarisnya. Yang sudah banyak melakukan perubahan bentuk di sana sini. Belum lagi, dengan pulasan make-up yang tidak pernah absen dari wajah-wajah mereka.
"Tapi, kalau menurutku. Jesicca lebih menakjubkan!" tutur Aaron yang melirik sekilas ke arah meja, dengan Jesicca yang berada di sana.
"Kenapa? Kamu menyukainya? Kejar saja dia!" perintah Rainer, yang kini kembali menatap majalah di tangannya.
"Inginnya aku lakukan. Tapi sepertinya, dia sedang mengejar mu!" tutur Aaron dan langsung mendapatkan sunggingan bibir dari Rainer.
"Jangan membuatku ingin tertawa, Ron. Lagipula, seandainya benar pun, aku sama sekali tidak tertarik dengannya."
"Benarkah? Benarkah itu?? Kamu tidak tertarik sama sekali dengannya? Hm?" tanya Aaron dengan nada meledek dan untuk lebih meyakinkan lagi.
"Tentu saja. Aku lebih tertarik dengan istriku yang polos. Bukan dengan wanita yang sekali lihat saja. Sudah dapat aku tebak. Bila dia itu satu tipe dengan Griselda," tutur Rainer seraya menyeruput secangkir teh miliknya.
Aaron hanya dapat menggelengkan kepalanya dan tersenyum kaku. Karena Bos sekaligus sahabatnya itu, bisa-bisanya tahu, bila Jesicca tidaklah jauh berbeda dengan Griselda.
"Apa bisa dipercepat observasi kita di sini? Aku ingin segera pulang dan berkumpul dengan anak dan istriku," ujar Rainer seraya meletakkan cangkir teh di tangannya ke atas meja.
"Aku juga belum bisa memastikan. Ya, kita jalani saja semaksimal mungkin. Jadi, setelah selesai nanti. Kita bisa segera kembali ke tanah air. Aku juga belum sempat membelikan apapun untuk anakmu. Tapi, kamu malah sudah akan memiliki anak kedua saja. Apa aku belikan cinderamata untuknya di sini saja sekalian?" tanya Aaron.
"Tidak usah. Tidak perlu membelikan apapun. Aku sudah memberikan semua yang dibutuhkan oleh istri dan anakku. Kalau ingin datang untuk main atau sekedar berkunjung datang saja!"
"Hei ayolah. Setidaknya, aku tidak ingin datang dengan tangan kosong!" cetus Aaron.
Rainer bergeming sejenak dan berpikir keras. "Oh iya, kemarin, aku sempat ingin membelikan anakku mobil. Tapi, karena Istriku melarangnya. Jadi, mungkin kamu bisa membelikannya sebagai hadiah. Aku ingin Ferarri Testa Rossa J. Kisaran harganya hanya sekitar 1,6 miliar saja!" cetus Rainer yang sukses membuat Aaron ternganga.
"Astaga!! Kamu ingin membunuhku atau bagaimana?? Bahkan uang tabungan yang ku punya saja, tidak sampai menyentuh angka itu!!"
Rainer hanya menyunggingkan senyumnya dan berkata,
"Hey, aku sudah mengatakannya diawal tadi. Anakku sudah memiliki semuanya. Jadi, daripada kamu membelikan yang sudah ada. Kenapa tidak yang belum ada saja kamu belikan untuk anakku?" seloroh Rainer dengan sangat lancar.
"Ok. Aku rasa, aku mulai menyesal bertanya! Aku akan membelikan sesuatu nanti. Dan yang pastinya, tidak sampai membuat isi kantong ku menjerit!"
Rainer terkekeh geli dan Aaron bangkit dari kursi dengan terburu-buru.
"Hey, mau kemana??" tanya Rainer dengan senyuman lebar.
"Toilet!" cetus Aaron yang kini menggeser tubuh dan pergi ke belakang.
Aaron berjalan menyusuri lorong dan berpapasan dengan orang, yang tadi sempat ia cicipi kopi pemberiannya. Bahkan semalam, tubuhnya juga?
Jesicca mengerutkan keningnya. Ia keheranan saat Aaron yang bukannya minggir, tapi malah bergeming sambil memperhatikan tubuhnya.
"Hei! Apa yang kamu lihat!!" ketus Jesicca dan langsung membuat Aaron membuang muka.
"Ck! Dasar!" keluh Jesicca yang kini pergi melewati Aaron begitu saja.
"Astaga! Kenapa masih terbayang juga," gumam Aaron disertai hembusan napas dan laju kaki yang kembali ia lakukan.