Malam harinya.
"Mas, masih lama pulangnya?" tanya Lily, melalui sambungan panggilan video, saat sedang merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, dengan sang anak yang tengah tertidur di sampingnya.
"Belum tahu sayang. Sabar ya? Kalau sudah selesai. Mas juga akan langsung pulang."
"Lama, Mas. Nggak bisa pulang duluan aja gitu?" pinta Lily.
"Ya kalau bisa juga, Mas sudah lakukan dari kemarin. Tapi sayangnya belum bisa."
"Jenuh pingin jalan-jalan kemana gitu sama Mas. Di rumah terus bosen," keluh Lily, yang mood-nya sedang tidak tentu, efek dari kehamilannya juga.
"Iya. Nanti kalau Mas sudah pulang kita jalan-jalan kemanapun yang kamu inginkan. Pokoknya kita jelajahi semuanya ya? Sekarang, sebaiknya kamu tidur dulu. Sudah malam. Istirahat. Kamu masih harus mengurusi Matthew dan calon adiknya juga. Jadi, harus banyak-banyak istirahat," tutur Rainer dengan begitu lembut.
"Iya deh iya. Tapi bener ya, Mas. Pulang dari sana, kita jalan-jalan bertiga. Eh berempat deh, sama calon adiknya Matthew juga."
"Iya siap! Tunggu saja Mas pulang ya?"
"Iya...,"
"Ok bye. Have a nice dream, sayang," ucap Rainer, yang akan mengakhiri sambungan panggilan video.
"Iya bye. Have a nice dream too, Mas."
Panggilan diakhiri dan Rainer meletakkan ponselnya kembali di dalam saku celananya.
Suara ketukan pintu seketika membuat Rainer menoleh. Ia bangkit dari tepi tempat tidur dan pergi untuk melihat siapa orang yang mengetuk pintu kamarnya malam-malam begini.
Pintu terbuka dan Rainer mendapati wanita, yang berbalut baju tidur berbahan satin, berwarna hitam lengkap dengan outer berwarna senada. Panjangnya tidak sampai menutupi lutut dan belahan dadanya nampak terlihat.
Bohong, bila orang yang menatapnya saat ini, tidak sampai menelan salivanya sendiri. Apalagi, dia adalah lelaki normal, yang sudah tidak menjamah tubuh istrinya hampir satu minggu lebih, karena ingin memberinya waktu beristirahat.
"Ada apa???" tanya Rainer penuh selidik dengan sorot mata tajam. Ia seperti merasakan Dejavu, saat business trip terakhirnya bersama dengan mantan sekretarisnya terdahulu.
Bedanya hanya, bila dulu mungkin wanita di depannya langsung memberikan ia sentuhan. Dan mendorongnya masuk. Namun yang ini nampak tersenyum malu-malu dan berkata,
"Saya mau membicarakan masalah pekerjaan yang tidak saya mengerti, Pak."
Kerutan pada dahi Rainer nampak jelas dan banyak terlihat. Masih tak habis pikir. Kenapa juga harus membicarakan masalah pekerjaan di malam hari?
"Kenapa tidak dibicarakan besok saja?? Ini sudah malam. Waktunya istirahat," tutur Rainer dingin.
Wanita itu mulai kembali berusaha untuk masuk dan dengan cara apapun itu.
"Kalau siang kita sibuk, Pak. Waktu senggangnya ya cuma malam. Jadi, bolehkan? Kalau saya meminta waktu Bapak sebentar?" pinta wanita tersebut yang tak lain adalah Jesicca, yang kini mulai memberikan senyuman tipis dan termanisnya untuk lelaki, yang menjadi atasannya tersebut.
Rainer menghela napas dan mengembuskannya dengan kasar.
"Baiklah, ayo masuk!" ajak Rainer yang kini membuka pintu lebar-lebar.
Sebuah seringai di bibir Jesicca terlihat. Ia masuk lalu menutup pintu kembali dan berjalan membuntuti sang atasan.
Rainer mendaratkan tubuhnya lebih dulu pada sofa, menopang kaki kanan dengan kaki kirinya. Sementara kedua tangannya ia rentangkan di atas sandaran sofa.
"Cepat katakan! Hal apa saja yang tidak kamu mengerti!" cetus Rainer buru-buru.
"Emm... Sebentar." Jesicca dengan beraninya mendekat dan duduk di sebelah Rainer. Lalu, mengeluarkan notebook yang ia bawa hanya untuk alasannya saja.
Jesicca sedikit membungkuk. Ia mengibaskan rambutnya ke belakang. Hingga belahan pada dadanya, bisa Rainer lihat dengan begitu jelas.
Saliva ditelan dengan begitu sulit dan susah payah oleh lelaki yang mau tidak mau, melihat juga pemandangan dua pegunungan mulus itu. Napasnya berhembus tidak beraturan. Hasrat seorang lelaki normal mulai bergejolak di dalam dirinya saat ini.
Rainer mulai mengerjap-ngerjapkan matanya hingga berkali-kali. Mencoba untuk tetap tenang dan menyadarkan dirinya sendiri. Berupaya untuk membuat pikiran tetap waras. Disela otaknya yang memanas.
Astaga! Sadar, Rai! Ingat istri dan anak! batin Rainer bermonolog.
Jesicca melirik ke arah Rainer, yang memalingkan wajahnya dan kini tengah memijat-mijat ruang diantara kedua matanya. Ia pasti sudah tidak tahan pikir Jesicca.
Tapi, Jesicca tak ingin langsung bermain ke intinya seperti semalam. Apalagi, atasannya tersebut, menunjukkan gelagat yang tidak ramah, sedari menerimanya saat masuk tadi.
Ia mulai berpura-pura menunjukkan beberapa catatan. Menjelaskan hal, yang sebenarnya sudah ia mengerti dan membiarkan Rainer untuk menjelaskannya kembali.
"Yang ini, Pak. Yang saya tidak mengerti."
Rainer menurunkan topangan kakinya mencoba untuk melihat hal apa yang Jesicca tunjukkan. Dan mencoba untuk tetap fokus. Ditengah usaha Jesicca yang memamerkan lekuk tubuhnya yang mulus.
Jesicca tidak bisa memberikan kepuasan secara cuma-cuma. Mungkin, kemarin hanya percobaan. Dan sekarang adalah inti dari semuanya.
Persis seperti apa yang diceritakan oleh rekan kerjanya, tentang mantan sekretaris atasannya ini yang terdahulu. Dan sekarang, waktunya ia mencoba peruntungannya sendiri. Demi tas branded, make-up dan juga kesejahteraan keluarganya. Ia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan bagus ini.
Lagipula, tidak akan rugi. Karena atasannya memiliki paras yang tampan. Bukan sekedar lelaki tua atau bisa dibilang Om-om hidung belang.
Setelah beberapa menit waktu berlalu dan suasana sudah tidak lagi secanggung tadi. Perlahan tangan nakal Jesicca mulai bekerja. Ia meletakkan tangannya dengan sembarang di atas paha Rainer. Berusaha menggodanya untuk kembali memulai pergumulan, seperti yang terjadi kemarin malam.
"Pak, bagaimana kalau kita lakukan lagi yang semalam?" ucap Jesicca sambil mengusap paha Rainer.
Rainer tak lantas bereaksi. Ia bergeming dengan banyaknya kerutan di dahi. Memikirkan lagi, sebenarnya hal apa yang sedang Jesicca maksud. Memangnya, semalam mereka melakukan hal apa??
Namun, karena tak kunjung mendapatkan jawaban. Akhirnya, iapun menanyakan hal tersebut secara langsung.
"Apa maksud kamu? Hal apa memangnya, yang kita lakukan???" tanya Rainer sambil membeliakkan mata.
Jesicca tertawa kecil dan kembali berkata,
"Yang kemarin itu saya, Pak. Apa Bapak tidak menyadarinya??"
Dahi Rainer semakin mengernyit keheranan. Belum sempat hal pertama terjawab kini ada hal yang lainnya lagi yang membuat ia semakin kebingungan.
"Ck! Berhentilah mengatakan hal yang tidak saya mengerti! Dan keluar sekarang juga dari sini!!" hardik Rainer dengan mata yang terbuka lebar. Ia tidak suka disentuh sembarangan seperti ini. Tidak sopan sebagai atasan dan juga bawahan. Belum lagi Rainer merasa, hubungan mereka tidaklah seintim ini.
"Tapi Pak, apa Bapak lupa? Kalau kemarin malam kita sudah...,"
"Saya bilang keluar sekarang!! Atau kamu saya pecat!" hardik Rainer dengan sangat lantang, tanpa membiarkan Jesicca melanjutkan perkataannya.
Nyali Jesicca menciut. Apalagi setelah mendengar kata pecat. Ia tersenyum masam dan bangkit dari sofa. Lalu pergi keluar dari dalam kamar Rainer.
"Dia kenapa sih?? Kemarin jelas-jelas kita melakukannya dan sekarang malah berpura-pura lupa!" keluh Jesicca di balik pintu kamar Rainer.
"Kamu sedang apa disini, Jes??" tanya Aaron yang baru keluar dari dalam kamarnya dan menghampiri Jesicca.
Jesicca menoleh ke samping dan saat menemukan Aaron yang berdiri di sampingnya. Raut wajahnya nampak semakin terlihat kesal saja.
"Kenapa kamu lagi kamu lagi sih!!?" pekik Jesicca bersungut-sungut.
Aaron menyunggingkan senyumannya. "Memangnya kenapa? Mungkin saja kita berjodoh."
"Jangan mimpi! Jangan terlalu banyak berharap! Aku tidak mau berjodoh dengan lelaki seperti kamu!" seru Jesicca yang kini pergi kembali ke dalam kamarnya sendiri.
Aaron melipat bibir dengan ucapan Jesicca yang berdengung di dalam kepalanya. Memangnya, apa yang salah dengan dirinya?? Apa karena ia tidaklah seperti Rainer, yang hampir memiliki segalanya. Jadi, Jesicca melihatnya, hanya bak seekor lalat pengganggu saja?