Masih Mama tatap wajah Syara dengan kilatan penuh amarah. Sedangkan Syara, kini ia tengah berusaha untuk bangkit dari posisinya. Ia duduk simpuh dihadapan sang Mama, seraya kembali ia tatap sang Mama dengan nanar. Dan kembali ia mendekat kearahnya.
"Syara, minta maaf, Ma. Syara, bukan seorang pembunuh, Ma. Syara, gak pernah tahu setiap takdir manusia. Jika memang bisa, Syara, memilih. Syara, pun akan memilih, Syara, saja yang menjadi korbannya. Bukan, Papa," ungkap Syara dengan penuh penekanan disetiap katanya.
"Pergi kamu dari hadapan, Mama! Pergi! Mama, gak mau lihat kamu! Mama, benci sama kamu, Syar! Benci!" jawab Mama lagi seraya ia berlalu begitu saja meninggalkan dirinya yang masih bersimpuh disana.
Dengan segera, Syara pun kembali bangkit. Sebab ia masih ingin menegaskan jika dirinya adalah seorang pembunuh. "Ma, tunggu, Ma. Ma.. tungguuu.. Syara ingin bicara, Ma.. Syara ingin menjelaskan semuanya sama, Mama.." pekik Syara, namun tak sedikit pun Mama mengindagkannya. Dengan kasar Syarif pun menarik lengan Syara agar tak lagi mengejar Mama.
"Kak, stop it please! Apa gak cukup lo udah hancurkan kita semua! Jangan pernah lo ganggu Mama, karena Mama jadi begini itu karena lo!" bentak Syarif dengan lantang. Sekarang mending lo pergi! Pergi!!!" maki Syarif yang membuat Syara tak mampu lagi untuk berkata.
Syara berjalan gontai menuju kamarnya. Tangisnya kembali pecah disana seraya ia pandangi fotonya bersama sang, Papa juga Mamanya yang ia pajang diatas nakas disamping ranjangnya. Syara belai wajah sang Papa hingga airmata itu terjatuh begitu saja tepat pada foto wajah Papanya. Menangisi setiap kepedihan yang ia rasakan kini, begitu menyesali mengapa hari itu ia biarkan, Papanya tetap mengendarai mobil itu.
Hingga kini hanya penyesalan dan penyesalan yang membuatnya semakin merasakan kehancuran pada dirinya. "Pa, Syara, bukan pembunuh. Jika, Syara, mengetahui apa yang akan terjadi sore itu, lebih baik Syara pulang sendiri saja, Pa. Kenapa, Papa, yang pergi, Pa? Kenapa bukan, Syara? Kenapa harus, Papaaa!!!" umpat Syara yang mulai mengacak rambutnya frustrasi.
Kini waktu menunjukan pukul setengah empat sore. Adzan Ashar pun baru saja dikumandangkan. Dengan segera Syara memasuki kamar mandinya. Membasahi sekujur tubuhnya dibawah aliran deras air shower masih dengan tangisnya. Kenyataan hidup yang ia dapatkan saat ini sungguh begitu sulit untuk dapat ia menerimanya. Seakan ia ingin segera menyusul sang Papa tuk dapat menghilangkan setiap luka yang teramat dalam pada hatinya.
Setelahnya, Syara pergi salat Ashar. Tak ada lagi tempat yang dapat mendengarkan setiap curahan hatinya selain kepada Rabbnya. Syara angkat kedua tangannya seraya menatap nanar.
"Ya Allah ya Rabb, wahai Tuhan semesta alam. Hamba, mohon ampuni hamba ya Rabb. Hamba mohon tempatkanlah, Papa, disurga terindah-Mu. Hamba mohon jauhkanlah hamba dari siksa api nerakamu. Berilah kelapangan untuk, Mama dan Adik hamba, agar senantiasa memberikan hamba pintu maaf itu, ya Rabb. Hamba, mohon berilah hamba kesempatan untuk membahagiakan keduanya, juga menebus setiap kesalahan yang telah hamba-Mu ini perbuat. Aaamiiin Aaamiiin Alaahumma Aaaamiiin.." Doa Syara diseritai airmata yang terus saja berlinang membasahi kedua pipinya.
Tok..tok..tok..tok..tok..
Terdengar suara ketukan pintu dan dengan segera Syara pun melepaskan mukenanya. "Iya sebentar," ucapnya.
Saat daun pintu kamarnya terbuka, ternyata seorang Syarif masih dengan tatapan penuh kebencian itu yang kini berada dihadapannya. "Mama tunggu lo diteras rumah. Mama mau bicara sama lo," ucapnya sinis. Namun hal itu membuat kedua mata Syara seketika berbinar indah.
"Mama? Okkay, Kakak, segera menyusul. Sebentar ya," jawab Syara antusias. Namun Syarif tak menjawab sepatah katapun seraya ia berlalu pergi.
Setelah selesai Syara menyisiri rambutnya. Ia segera menghampiri Syarif juga sang Mama yang menunggunya diteras rumah dengan tiga cangkir teh juga camilan yang tersedia diatas meja. Senyuman manis Syara pun seketika sirna ketika ia dapati wajah sang Mama yang masih saja muram juga memandang kosong kesembarang Arah. Namun tetap, Syara berusaha untuk tersenyum juga begitu tegar menghadapi keduanya.
Syara duduki kursinya seraya ia raih satu tangan Mamanya. Namun masih dengan kasar Mama menepiskannya. Membuat Syara terkesiap dan memaksakan senyumnya. "Maaf, Ma. Apa yang, Mama, ingin bicarakan sama Syara?" tanya Syara dengan lembut.
"Minum dulu teh kamu. Karena sepertinya, kenyataan ini akan membuat kamu cukup merasa sulit." Ucap Mama sinis.
Tanpa banyak membantah, Syara segera menyesap teh miliknya. "Insha Allah, Syara akan menerimanya, apapun itu, Ma. Ada apa?" tanyanya lagi.
"Syarif sudah mengatakan sama kamu kan kalau perusahaan, Papa, pailit. Trio, musuh besar, Papa yang sudah berbuat kecurangan. Semua asset, Papa, sudah hilang untuk biaya rumah sakit kamu juga biaya hidup, Mama dan Syarif. Kamu tahu kan jika semua itu gak murah? Karena sejak kepergian, Papa, semua itu berantakan. Kamu tahu itu karena apa?
"Karena kamu! Kamu telah bunuh, Papa! Kamu yang sudah merenggut kebahagiaan kami! Kamu hancurkan semua yang, Papamu, bangun sejak bertahun-tahun, hanya dalam waktu sepersekian jam! Andai, Papa, gak jemput kamu sore itu! Andai, Papa, gak terlalu memanjakan kamu! Pasti semua ini gak akan terjadi, Syar! Pasti kita gak akan sehancur ini! Hiks..hiks..hiks.." ungkap Mama yang kembali menitihkan airmatanya, begitu pula dengan Syara. Sedangkan Syarif masih saja memandanginya penuh dengan amarah dan kebencian.
"Syara, minta maaf, Ma. Syara, memang salah. Tapi memang gak pernah, Syara, bukan seorang pembunut. Syara, gak membunuh Papa. Jika memang, Syara, tahu jika hal itu akan terjadi, sudah pasti, Syara, akan menolak kedatangan, Papa. Dan kalau pun bisa memilih, Syara akan pilih, Syara saja yang Tuhan ambil nyawanya. Tapi ini sebuah takdir, Ma. Sebuah suratan Tuhan yang tak akan pernah bisa kita hindari, dan Syara ..."
Plakk...
Sebuah tamparan keras dari Mama mendarat dipipi Syara hingga kini memerah seketika. Terasa begitu panas juga sakit. Namun bukan itu yang membuatnya terluka, melainkan hatinya yang terasa teramat sakit. Sebab sore ini, untuk pertama kalinya Mama memukulnya dengan keras. Hal itu membuat Syara menghentikan ucapannya dan ia tengah bersusah payah menahan isakan yang tak tertahankan pada dirinya.
"Cukup, Syara! Jangan lernah kamu coba untuk menggurui, Mama! Jangan kamu teruskan lagi setiap omong kosongmu itu! Mama, gak mau dengar! Dan, Mama, paling benci dengan seorang pecundang yang tidak mau mengakui setiap kesalahan yang telah ia perbuat!"
"Jangan kamu tutupi segalanya dengan tangis, Syara! Mama, gak pernah mengajari kamu untuk menjadi seorang wanita lemah! Mungkin memang ini kesalahan terbesar dalam hidup, Mama! Sejak dulu, Mama dan Papamu, itu memang terlalu memanjakan kamu! Sehingga gak pernah bisa kamu berdikari sendiri dan terlalu mengandalkan orang lain!" maki Mama lagi membuat Syara semakin terasa tertusuk hingga begitu dalam, tepat dijantung hatinya.
***
To be continue