Kebencian

1021 Kata
Syarif pukuli stir mobilnya frustrasi. Sebab memang ia masih tak dapat terima jika sang Papa meninggal dunia hanya karena disebabkan oleh seorang Kakak perempuan, yang begitu ia benci juga tak pernah bisa ia anggap sebagai seorang Kakak. Syarif masih saja terus berharap jika akan jauh lebih baik bila Syara, Kakak perempuannya itu sudah tak lagi hidup. Karena dengan kehadiran Syara, bagi Syarif hnya akan semakin menyakiti dirinya juga menyusahkan sang Mama. Bugh..bugh..bugh.. "Aaaaarrrrghh!! kenapa juga sih tu cewek pakai masih hidup! Kenapa dia gak mati aja sekalian! Kalau begini kasih sayang, Mama, ke gue udah pasti akan kembali berkurang! dan dengan hadirnya dia, hanya akan membuat gue kembali tersudutkan! "Enggak, Rif! Lo gak boleh nyerah! Lo harus manfaatin hidup, Kakak lo itu dengan memeras dia! Lo harus bisa jadiin dia sebagai mesin ATM buat lo! Jangan pernah lo biarin dia hidup tenang lagi! Karena sejak dulu, dia sudah selalu saja ambil perhatian, Bokap, Nyokap, lo!" umpat Syarif yang memang masih begitu membenci Syara. Dan kini dengan kecepatan tinggi ia kembali mengemudikan mobilnya. Walau sebenarnya ia tak sudi untuk kembali bertemu dengan Kakaknya yang teramat ia benci itu. *** Setelah tiga bulan mengalami koma, membuat tubuh Syara semakin mengurus. Wajah yang sebelumnya begitu jelita nun memesona, kini mulai tirus dengan lingkaran hitam yang cukup jelas dikedua mata indahnya. Bibirnya pun negitu kering, hingga kini ia coba untuk membasahinya dengan segelas air mineral yang tersedia diatas nakas. Kepalanya masih terasa begitu pening, membuat pandangannya tak sepenuhnya jelas. "Sus, sebenarnya sudah berapa lama saya koma? Dimana keluarga saya, Sus? Dimana, Mama, Papa, atau adik saya? Apakah mereka tidak ada yang datang?" tanya Syara lagi dengan tatapan yang nanar. Sebab saat ini rasanya ia sudah teramat merindukan seluruh anggota keluarganya. "Maaf, Mbak Syara. Mungkin ini berat untuk, Mbak. Tapi sebenarnya, Papa, Mbak Syara, meninggal dunia saat diperjalanan menuju rumah sakit, Mbak. Sedangkan Mbak Syara, sudah koma sejak tiga bulan yang lalu," jelas perawat. Yang membuat Syara saat mendengarnya tak dapat membendung airmatanya. sungguh begitu sesak rasanya ketika ia ketahui harus menerima jika sang Papa benar-benar telah tiada. "Dan selama, Mbak Syara, koma, saya gak sekali pun melihat ada anggota keluarga, Mbak, yang menjenguk, Mbak Syara. Selain teman-teman band, Mbak. Hingga hari ini Alhamdulillah ada, Adik, Mbak, yang akan bisa hadir menjemput, Mbak," Lanjutnya lagi, yang cukup menyakitkan untuk Syara. Sebab ia mulai merasa jika sudah tak ada lagi keluarganya yang memedulikan dirinya. Namun ia masih bersyukur dikala ia ketahui para temannya itu masih memedulikannya. "Innalillahi wainnailaihi rojiun. Astaghfirullahhalladzim.. Ya Allah Ya Rabb.. Papa meninggal karena kecelakaan itu, hiks..hiks..hiks.." isak Syara seraya ia tutup dengan satu tangannya mulutnya yang menganga. Perawat itu memeluk hangat tubuh Syara seraya ia tersenyum manis kepadanya. "Yang sabar ya, Mbak. Saya yakin, Papa, Mbak, pasti sudah bahagia disurga-Nya," ucapnya tulus. "Aaaamiiiin Allahumma Aaamiiin. Terimakasih ya, Sus," jawab Syara yang berusaha untuk tersenyum. Perawat itu pun mengangguk seraya tersenyum manis padanya. "Baik, Mbak. Jika begitu, saya tinggal dulu ya, Mbak. Saya permisi," pamitnya. "Baik, Sus. Terimakasih," jawab Syara seraya tersenyum. Setelah perawat itu pergi, kembali Syara menangis sejadi-jadinya. Meratapi nasibnya yang sungguh begitu menyedihkan bagi dirinya. Mulai berharap mengapa Tuhan tak mengambil dirinya saja, ketimbang ia harus kehilangan sesosok Ayah dalam hidupnya. "Seharusnya aku yang pergi. Seharusnya aku yang Kau ambil Ya Rabb. Mengapa harus, Papa. Gimana nasib, Mama tanpa, Papa, aku harus apa?! Hiks..hiks..hiks.." isak Syara dengan segala kepedihan dalam dirinya. Tok..tok..tok.. Seseorang mengetuk pintu kamar rawat Syara dan mulai membukanya. Ternyata Syarif yang baru saja datang. Ia menatap begitu sinis kearah Syara. Yang sungguh hal itu begitu menyakitkan untuk Syara. Sebab ia tahu jika saat ini, Syarif tengah begitu kecewa padanya karena kepergian Papa mereka. hingga ia hanya mampu menyunggingkan senyuman manis padanya. "Rif, Alhamdulillah kamu datang. Kakak, sudah sangat rindu sekali sama kamu, Dik," ucap Syara dengan kedua mata yang berbinar indah. "Gue minta sama lo gak usah lo banyak bicara. Gak usah banyak komen atau apa pun itu. Gue kesini bukan karena peduli sama lo. Ini semua gue lakuin karena kita sudah gak punya uang buat biaya rumah sakit lo. Karena kepergian, Papa, Mama, depresi berat, perusahaan juga bangkrut. Siapa yang mau tanggung jawab sekarang hah? Lo bisa apa? "Jadi jangan pernah lo harap kalau gue sudi masih anggap lo sebagai seorang, Kakak. Papa meninggal, Mama depresi, dan perusahaan bangkrut. Semua itu karena lo! So nyadar, Kak. Udah gak akan ada lagi orang yang bakal respect, sama lo. Gue mau urus administrasi. Siap-siap sana. Kita pulang!" ungkap Syarif ketus. Seraya ia berlalu begitu saja meninggalkan Syara. Tanpa berpikir seperti apa hancurnya perasaan Syara saat ini. Airmata itu pun kembali membasahi kedua pipi mulus Syara. Tak dapat ia berkata apapun lagi dan hanya tangis yang dapat mengungkapkan seperti apa perasaannya saat ini. Namun tetap ia berusaha bangkit dari posisinya seraya mulai membenahi dirinya sebelum Syarif kembali datang. Sebab ia tak ingin jika nantinya Syarif akan kembali memakinya. *** Selama berkendara tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Syarif juga Syara. Keduanya bagai dua orang yang tak saling kenal. Bahkan kini Syarif terus saja menatap tajam kearah jalanan yang longgar. Hingga kini mereka baru saja tiba dirumah. Ingin rasanya ia segera bertemu dengan sang Mama dan melepas setiap kerinduannya yang mendalam sejak lama. Sedangkan Syarif sudah lebih dulu meninggalkannya. Terlihat Mama yang tengah duduk dikursi roda dengan tatapan yang sendu kesembarang arah. Membuat Syara merasa cukup takut untuk mendekat dan mengajaknya bicara. Namun kini ia putuskan untuk tetap memberanikan diri menghampiri sang, Mama. Seraya ia salami takdzim punggung tangannya. "Asslamu'alaikum, Ma. Syara, rinduuuu sekali, Ma, sama, Mama," ucap Syara seraya ia hendak memeluknya hangat. Namun belum sempat kedua lengan Syara memeluknya, sudah lebih dulu sang Mama menepis kedua tangan itu dan mendorongnya cukup keras hingga Syara tersungkur kelantai. "Dasar pembunuh! Mama, benci kamu! Mama, sangat membenci kamu! Seharusnya kamu yang menjadi korban dalam kecelakaan itu, Syar! Seharusnya kamu yang pergi!" maki Mama cukup lantang. Mendengarnya membuat jantung hati Syara seakan tertombak seketika. Lidahnya pun keluh, ia tak lagi sanggup berkata. Lagi-lagi hanya airmata yang menggambarkan setiap kehancuran pada dirinya. 'Astaghfirullahhalladzim.. aku bukan seorang pembunuh! Bukan aku yang menyebabkan, Papa, meninggal!' Umpat Syara dalam hati. *** To be continue
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN