PSD 08
Rahagi mengulum senyum, sementara Milly menahan degup jantung kala pria berparas menawan itu mendekatkan diri hingga berhenti tepat di depan wajah Milly.
"Saya tidak akan mengambil apa yang menjadi hak saya sebagai suami dengan cara memaksa, sesuai janji kita," ucap Rahagi dengan suara pelan. "Tapi, kalau memang diharuskan untuk tidur satu kasur, saya janji nggak ngapa-ngapain kamu, dengan satu syarat," lanjutnya.
Milly menelan ludah, kedekatan mereka membuat hatinya berdentum hebat. Aroma khas parfum Rahagi yang tidak pernah berubah dari dulu membuatnya deg-degan, entah kenapa.
Milly berjengit ketika Rahagi menempelkan pipi kiri mereka sambil berkata,"Syaratnya adalah ... kamu harus ganti panggilan om dengan sesuatu yang lebih terkesan mesra. Biar nggak pada curiga."
Saat Rahagi menolak tubuh, Milly spontan memegangi pipi yang tadi disentuh sang suami. Semburat merah muda mewarnai kedua pipi yang halus. Perasaan aneh yang tiba-tiba menyeruak dalam hati membuat Milly malu.
Awalnya Milly mengira Rahagi akan menciumnya, tetapi ternyata tidak, dan hal itu membuat pipi Milly makin memerah karena sempat berpikir hal yang tidak-tidak.
"Gimana, setuju?" tanya Rahagi.
Milly mengangguk. Lidahnya terasa sulit untuk mengucapkan sesuatu. Manik cokelat tersebut kembali membola kala Rahagi memajukan tubuh lagi dan mengecup kedua pipinya dengan gerakan cepat.
"Makasih," ucap Rahagi tepat di depan hidung Milly.
Embusan hangat menyapu bagian atas bibir Milly. Ketika Rahagi menempelkan bibirnya, Milly seketika menutup mata. Sesapan lembut dilancarkan Rahagi. Menikmati madu Milly dengan perlahan, mencoba untuk membuat gadis itu santai dan mengurangi ketegangan tubuh Milly yang mendadak kaku.
"Mas Ra!" pekik Didi yang ternyata telah berdiri di belakang bangku. Rahagi dan Milly refleks memundurkan tubuh dan memutus keintiman.
"Bagus, ya. Ciuman di tempat terbuka, siang-siang lagi. Apa nggak bisa nunggu malam?" omel pria gemulai itu dengan suara melengking. Tangan dilipat di depan da*da dan wajah ditekuk persegi panjang ke bawah.
Rahagi meringis. Sementara Milly menutupi wajahnya dengan tangan, benar-benar malu dengan kejadian barusan yang sesuai perkiraan awal.
***
Sepanjang hari itu Milly menghindari Rahagi. Setiap terlintas adegan uwuw mereka di pikiran, Milly langsung menggeleng-geleng cepat. Berusaha mengenyahkan bayangan tadi, tetapi gagal. Justru semakin ingat dan membuatnya sangat malu.
"Kamu kenapa sih? Dari tadi geleng-geleng mulu," tanya Eri sambil mengunyah kacang kulit.
"Ada yang nguing-nguing di kepala," jawab Milly asal.
"Nyamuk?"
"Bukan."
"Lalat?"
"Nope."
"Kumbang?"
"Mana ada kumbang di sini," timpal Mikail yang duduk di sebelah kanan Eri dan ikut sibuk mengunyah kacang.
"Ada kok," sela Didi, yang duduk berseberangan dengan ketiga orang tersebut.
"Iyakah?" Eri dan Mikail kompak bertanya.
"Yoih. Entuh kumbangnya,' jelas Didi sambil mengarahkan dagu pada Rahagi yang tengah jalan mendekati tempat mereka duduk sambil merapikan sarung.
"Sejak kapan Om Ra jadi kumbang?" Eri bertanya dengan polosnya. Tidak menyadari bila wajah sahabatnya di sebelah telah memerah.
"Tadi siang. Madunya juga pasrah aja. Malah ngebalas," ungkap Didi yang membuat Eri dan Mikail saling beradu pandang.
"Pada ngomongin apaan? Kayaknya seru," celetuk Rahagi sembari duduk bersila di sebelah kiri Milly yang mendadak menjadi patung.
"Kata Om Didi ada lebah, ngisap madu yang pasrah dan malah ikut ngebalas," imbuh Eri. "Yang jadi pertanyaan itu, Om Didi bilang kalau Mas Ra itu lebah. Sejak kapan Mas berubah?" Eri bertanya dengan lugu dan membuat Milly makin mengerut.
Saat itu Milly sangat berharap bisa punya ilmu menghilang, hingga tidak perlu mendengarkan ledekan Eri dan Mikail. Milly tahu, dirinya akan menjadi bulan-bulanan objek penderita bila kedua orang tersebut mengetahui rahasianya.
"Saya jadi lebah?" Rahagi bertanya sambil menaikkan alis.
"Udah, nggak usah ngeles deh. Akuin aja tadi siang ngapain sama Milly!" sindir Didi.
Rahagi spontan melebarkan senyuman, kemudian menggaruk-garuk belakang kepala yang tiba-tiba terasa gatal. Sedangkan Milly menutup mata dan menunduk. Tidak berani membalas tatapan Mikail dan Eri yang kini mulutnya tengah menganga.
"Om tadi ngapain Milly?" Mikail memajukan tubuh, benar-benar penasaran.
"Ehm, itu ... bersihin bibir Milly," jawab Rahagi. Pria itu melirik sang istri yang makin berusaha menciutkan badan.
"Ada apaan emang di bibir Milly?" desak Eri. Namun, selanjutnya dia langsung menjerit dan menutup mulut dengan tangan. Membungkuk untuk melihat wajah Milly yang bersemu bak tomat sambil bertanya,"Kalian ciuman?"
Milly tidak berani mengangguk ataupun menggeleng. Terkejut ketika merasakan sentuhan tangan seseorang di puncak kepala yang disusul dengan rangkulan hingga membuat tubuhnya menabrak dadaa bidang.
Tanpa perlu membuka mata pun Milly tahu jika saat ini dia tengah berada dalam pelukan Rahagi, yang terasa hangat hingga menyelusup dalam hati. Milly membuka mata dan melihat jakun pria itu bergerak-gerak. Menengadahkan wajah dan beradu pandang dengan sepasang mata beriris hitam milik sang suami yang balas memandangi dengan sorot mata sayu.
"Ish! Jangan mesra-mesraan di sini dong!" sergah Didi.
"Om sewot amat sih. Mereka kan pengantin baru, wajar kalau cipokan mulu," timpal Mikail.
"Om Didi pasti iri!" sela Eri yang disambung tawa cekikikannya.
"Emangnya kamu nggak iri?" balas Didi.
"Eri nggak iri, kan bisa cipokan ama aku!" Mikail langsung berdiri dan lari menjauh ketika Eri bergerak mencubitinya.
Selanjutnya kedua orang tersebut saling kejar-kejaran. Sementara Rahagi makin mengeratkan pelukan dan membuat Milly meleleh.
Hati Milly berdegup kencang ketika merasakan kecupan di puncak kepala.
Secarik senyuman terbit di wajahnya yang cantik. Karena Milly baru menyadari bila dirinya suka diperlakukan seperti itu oleh Rahagi. Sangat suka.
***
Satu jam kemudian, Eri dan Milly sudah memasuki kamar mereka. Sementara Jamilah sudah mapan di tempat tidur di kamarnya saat yang lain masih berada di teras tadi.
Rahagi, Didi dan Mikail masih melanjutkan obrolan di ruang tengah. Duduk bersila di lantai sambil memegangi toples berisi rangginang, opak dan keripik singkong di pangkuan masing-masing.
"Jadi, menurut guru Om, itu kiriman dari Adam?" tanya Mikail yang duduk di tengah-tengah antara Rahagi dan Didi.
"Iya, dan sepertinya dia telah bersiap-siap untuk melakukan serangan lagi," jawab Rahagi.
"Kenapa sih cowok itu ngebet banget sama Milly?" sela Didi.
"Saya sendiri masih belum paham dengan tujuan dia sebenarnya. Tapi sepertinya itu nggak jauh dari harta," jelas Rahagi.
"Kayaknya Milly pernah keceplosan ngomong soal warisan," celetuk Mikail.
"Emang kenapa dengan warisan?" cecar Didi. "Aku tahu harta mbak Prita dan mas Aldan itu bejibun, tapi kan Mikail nanti yang dapat paling banyak, sesuai aturan dalam ilmu warisan dalam Islam," imbuhnya yang mendapat anggukan persetujuan dari Rahagi.
"Bukan dari orang tua kami, Om. Tapi warisan dari almarhum nenek." Mikail menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, kemudian melanjutkan ucapannya. "Harta kekayaan nenek pribadi itu diwariskan ke Milly. Karena harta kakek jatuhnya ke papa, aku, mama dan Om Ra," lanjutnya.
"Aku nggak paham deh, sumpah. Kenapa Milly nggak dapat bagian dari harta pak Ghandi?" Didi memajukan tubuh dan menatap Mikail dengan lekat.
"Entah, aku juga nggak paham. Mungkin Om bisa ngejelasin." Mikail mengalihkan pandangan pada Rahagi, demikian pula dengan Didi.
"Saya tau alasannya, tapi saya nggak punya kewenangan untuk ngejelasin sama kalian," kilah Rahagi.
"Ahh, Mas Ra nggak asyik!" sungut Didi.
"Saya terikat sumpah pada bapak dan almarhum ibu. Nggak bisa ngebocorin. Tau sendiri bapak itu mengerikan kalau lagi marah." Rahagi menyunggingkan senyuman tipis. Mengingat sosok bapak angkatnya itu membuat dirinya meringis.
Sementara itu di tempat berbeda, sepasang manusia tengah duduk di kursi sebuah restoran di kawasan Tendean. Keduanya tampak sangat serius berbincang-bincang, sehingga tidak menyadari bila dua orang pria menempati meja di belakang sang pria, dan ikut mendengarkan obrolan mereka.
"Kamu tahu mereka ada di mana sekarang?" tanya Firda sambil mengusap bibir dengan tisu.
"Di kediaman keluarga Rahagi di Bogor," jawab Adam. Pria itu merapikan sendok garpu di atas piring, kemudian meraih cangkir dan meneguk teh hijau mint hingga habis.
"Rumah bi Jamilah?"
"Sepertinya begitu, aku nggak tau namanya. Karena emang nggak pernah tau orangnya yang mana."
"Pantes kirimanku sulit menembus."
"Kenapa? Bukannya yang kamu kirim itu udah kuat?"
"Rumah itu dan beberapa tempat lainnya dipasangi pelapis yang aku nggak tau ada berapa. Waktu berkunjung ke sana dulu itu aku kegerahan terus, padahal mas Ra pake jaket tebal."
Adam tersenyum miring. "Sepertinya mereka juga bersiap-siap untuk pindah. Kemungkinan besar bakal berkumpul di rumah kakek. Salah satu dari dua tempat yang nggak bisa aku masuki."
"Tempat satu lagi yang mana?"
"Rumah si om. Kuat banget pelapisnya."
"Jangankan kamu, aku yang udah bertukar keringat dengannya pun nggak mau ke situ lagi. Kapok!"
Tawa Adam menguar, tak menghiraukan tatapan penuh tanya pengunjung lainnya. Sementara Firda hanya tersenyum tipis. Mengingat berbagai macam usaha yang pernah dilakukannya untuk menggenggam hati Rahagi ternyata harus kandas.
"Bagaimana awalnya kalian bisa bertemu?" tanya Adam seusai tertawa.
"Aku awalnya ngelamar kerja di perusahaan mereka. Tadinya aku ngincar mas Aldan, karena kupikir pria itu kosong alias nggak punya pegangan. Tapi waktu sadar kalau Rahagi menyukaiku, akhirnya aku mengubah haluan," ujar Firda memulai ceritanya.
"Aku gencar mendekati pak Gandhi, karena tau kalau pria tua itulah yang memegang kendali atas anak-anaknya. Seperti mbak Prita dulu, kan dijodohin juga sama mas Aldan yang awalnya itu jadi asisten pribadi bapak."
"Usahaku berhasil, selain bisa meraih simpati pak Gandhi, aku juga mendapatkan cinta mas Ra. Hanya satu orang yang sejak awal udah nggak suka sama aku."
"Siapa?" sela Adam.
"Mbak Prita."
"Mungkin karena dia tau kamu awalnya ngincar suaminya, jadi dia cemburu."
"Bukan itu. Tapi menurut mas Ra, mbak Prita sering didatangi almarhum ibunya melalui mimpi. Neneknya Milly itu mewanti-wanti agar Prita berhati-hati denganku."
Adam manggut-manggut.
"Selain itu, dari awal aku dan mas Ra nikah, makhluk astral yang menyerupai nenek tua itu sering muncul tiba-tiba, kalau aku berkunjung ke rumah bapak atau rumah mbak Prita."
***
Rahagi mengerutkan dahi ketika mendengar bunyi khas ponselnya. Dengan nyawa yang masih separuh terkumpul, pria itu bangkit dan mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Rahagi meraih benda pipih hitam yang berada di atas meja. Memastikan siapa yang menelepon, kemudian mendekatkan ponsel ke telinga kanan.
"Yak, Fer," sapanya dengan suara serak.
"Mantan istrimu bekerjasama dengan mantan pacar Milly," sahut Feri dari seberang telepon.
"Kamu dapat info dari mana?"
"Tadi aku sama Heru lagi nungguin teman-teman kita yang mau ketemuan di restoran C. Lihat Firda masuk ke sana bareng ... ehm siapa nama cowok itu?"
"Adam."
"Ahh iya, Adam. Terus aku sama Heru mutusin buat curi dengar obrolan mereka. Rekamannya udah kukirim. Dengerin aja."
"Oke, thank's, ya."
"Sip. Lagi apa kamu sekarang?"
"Lagi tidur tadi. Kebangun gara-gara kamu nelepon ini."
"Tumben tidur awal? Atau jangan-jangan habis ngelonin Milly?" Tawa Feri terdengar cukup kencang, sementara Rahagi menjauhkan ponsel dari telinga dan memutus sambungan.
Rahagi menggeleng pelan. Tersenyum tipis ketika terngiang percakapan barusan. Pria itu menoleh ke kiri dan memandangi wajah cantik Milly yang tengah terlelap.
Tangan kiri Rahagi terulur dan membelai rambut Milly yang berserakan di bantal. Pria itu merunduk dan hendak mengecup dahi Milly ketika sepasang mata sang istri membuka.
Waktu seakan-akan berhenti saat keduanya saling memandang. Rahagi memberanikan diri untuk tetap mendaratkan kecupan di dahi, kemudian menggeser bibir ke hidung dan berhenti tepat di depan bibir Milly.