Janji Dibuat Untuk Dilanggar

1745 Kata
PSD 09 Waktu seakan-akan berhenti saat keduanya saling memandang. Rahagi memberanikan diri untuk tetap mendaratkan kecupan di dahi, kemudian menggeser bibir ke hidung dan berhenti tepat di depan bibir Milly. Embusan hangat napas keduanya beradu. Milly mengerjapkan mata beberapa kali untuk mengusir desir aneh yang melanda hati. Milly nyaris tidak menghela napas karena tegang. Tubuhnya bertambah kaku saat Rahagi menyapukan bibir dan memancing Milly untuk membalas. Perlahan mata Milly menutup saat bibirnya membuka dan membiarkan Rahagi menyecapnya. Bertukar saliva dan napas, diiringi dengan suara-suara kecil yang keluar tanpa sempat dicegah oleh Milly. Suara batuk Eri yang tidur di sebelah kiri Milly seketika menghentikan aktivitas pasangan suami istri tersebut. Rahagi dan Milly beradu pandang sesaat, sebelum akhirnya Rahagi menolak tubuh dan menjauh. Milly memandangi ketika pria itu bangkit berdiri dan jalan menuju pintu kamar. Tak peduli bila dirinya melangkahi tubuh Mikail dan Didi yang tidur di kasur lipat yang berada tepat di samping ranjang. Kala Rahagi membuka pintu dan melangkah ke luar, Milly mengembuskan napas berat. Sisi hatinya terbelah menjadi dua bagian. Satu sisi merasa agak kecewa Rahagi memutus kedekatan mereka, dan di sisi lain dia mengomeli sang sahabat yang merusak suasana. Milly berusaha untuk tidur kembali. Akan tetapi, berulang kali dia mengubah posisi tubuh, tetap saja matanya tak mau menutup, justru makin segar. Milly akhirnya beranjak duduk, menggeser posisi hingga berada di pinggir ranjang. Mengerling pada sang kakak yang tidur dengan mulut menganga. Menggigit bibir bawah untuk menahan tawa ketika melihat tubuh bagian atas Didi tenggelam di bawah selimut, tetapi bagian kakinya terkangkang dan menimpa kaki Mikail. Tiba-tiba pintu terbuka dan sosok Rahagi muncul sambil membawa dua cangkir yang tampak mengepul di atas nampan. Belum hilang rasa terkejut Milly, Rahagi mengarahkan dagu ke kiri, seakan-akan memberi kode agar Milly mengikutinya yang membalikkan tubuh. Beberapa saat kemudian, kedua orang tersebut sudah duduk di sofa ruang tamu. Menyesap su*su cokelat hangat di cangkir masing-masing, sambil memandangi langit malam yang gelap dari balik jendela yang gordennya sengaja dibuka lebar oleh Rahagi. Suasana sekitar sangat hening. Hanya ada suara binatang-binatang malam yang terdengar saling bersahut-sahutan dengan cukup nyaring. "Mil." "Ehm?" "Udah ketemu panggilan mesra buat saya?" "Bukan mesra, Om. Cuma biar ... ehm ... beda aja. Om ada usul nggak?" Milly mengubah posisi tubuh hingga berhadapan dengan sang suami. "Gimana kalau ... Papa?" "Nggak mau!" "Papi?" "Sama aja itu!" "Mas?" "Kayak Ivana manggil Zayan gitu?" "Oh iya, kurang unik." Milly manggut-manggut. "Kalau ... ayah?" "Tua amat!" "Abi?" "Hadeuh!" "Bang?" "Itu kan panggilan Yhara ke Ziyad. Sama banget. Nggak mau!" Rahagi mendengkus. Dia kehabisan ide nama-nama panggilan. "Kalau Sayang aja gimana?" usulnya. "Sayangku? Om Didi mode on." "Honey?" "Itu panggilan Keven buat Aruna." "Akang?" "Apalagi itu, Om. Sama banget dengan panggilan buat Fairel dari Isna." "Aa'?" "Andre gelindingan dipanggil itu sama Askana." "Terus apa dong? Pusing saya." Rahagi menyugar rambut, sedikit gemas dengan tingkah sang istri yang agak keras kepala. Milly mengangkat bahu, tetapi kemudian terlonjak kaget ketika Rahagi menepuk lengannya seraya tersenyum lebar. "Saya tau panggilan yang pas buat kita," ucap pria berparas tampan tersebut dengan semangat. "Apaan?" tanya Milly. "Darling." Mulut Milly spontan menganga, sedetik kemudian tawanya meledak. Tak peduli Rahagi mengerutkan kening sambil melipat tangan di depan dadaa. "Om ini kebanyakan nonton film barat!" seru Milly di sela-sela tawa. "Ya, terus apa lagi? Kamu dari tadi nolak semua usul saya, tapi nggak ngasih solusi satu pun!" balas Rahagi. Milly menghentikan tawa dan mengusap sudut matanya yang berair. Gadis itu berpikir sesaat sebelum akhirnya berucap,"Gimana kalau panggilannya ... Hubby?" Rahagi terdiam sejenak, kemudian balas bertanya,"Terus saya manggil kamu apa?" "Apa, ya? Ehm ... Wife?" Rahagi menggeleng. "Terus apa dong? Pasangan Hubby kan Wife." "Saya panggil kamu Bebi aja." "Ehm, oke deh. Lumayanlah daripada Wife." "Tapi kok lidah saya kagok, ya, nyebutnya?" "Kan belum terbiasa, Om." "Ganti aja deh, yang gampang diingat." "Apa tuh?" "Mommy, kamu panggil saya Daddy." Milly membeliakkan mata. "Kan nanti kamu bakalan jadi mommy buat anak-anak saya." * * Perbincangan antara dirinya dan Rahagi masih terngiang di telinga Milly. Sepanjang perjalanan pulang menuju Jakarta, Milly hanya diam dan menjadi pendengar setia dongeng Eri, Mikail dan Didi. Perempuan berhidung mancung itu mengalihkan pandangan ke luar kaca mobil. Memandangi lalu lalang kendaraan sepanjang jalan tol. Merasa gamang karena saat ini dia dan Rahagi terpisah jarak. Pria itu memutuskan untuk tinggal sehari lagi di tempat Jamilah. Selain karena ingin menemani sang bibi yang tengah menunggu asisten rumah tangganya pulang dari kampung, Rahagi juga ingin mengunjungi rumah guru besar silat yang berada di daerah Ciawi. Setibanya di rumah orang tuanya, Milly langsung mengemasi barang-barang yang akan dibawanya pindah ke rumah sang kakek. Hal yang sama juga dilakukan oleh Mikail dan Eri. Sementara Didi tengah terlibat pembicaraan serius dengan Prita yang kali ini menggunakan masker madu di wajah. "Rahagi datangnya kapan sih?" tanya Prita sembari memotong-motong mangga dan menyusunnya di atas piring. "Besok pagi-pagi dia langsung ke sini," jawab Didi sambil menyuapkan anggur ke mulut dan mengunyahnya dengan gerakan anggun. "Bi Ilah nggak mau ikut, ya?" "Hu um, banyak kerjaan katanya." Prita menghela napas berat. Sudah berpuluh-puluh kali dia mengajak perempuan tua tersebut untuk tinggal bersama mereka, tetapi Jamilah selalu menolak. Prita khawatir dengan kondisi kesehatan Jamilah. Sebagai satu-satunya keluarga terdekat Rahagi yang masih tersisa, Prita juga merasa wajib untuk merawat perempuan tua itu karena merasa utang budi. Jamilah adalah asisten andalan almarhumah ibunya, Rohana. Dulu Jamilah juga ikut merawatnya sejak kecil, bersama dengan ibunya Rahagi. Kala ibunya Rahagi wafat karena kecelakaan saat hendak pulang kampung ke Bogor, Jamilah langsung memutuskan untuk tidak menikah dan ingin merawat Rahagi. Namun, berkat desakan Rohana, akhirnya Jamilah bersedia untuk menikah dengan sopir pribadi Ghandi, tetapi sayangnya mereka tidak memiliki keturunan. Prita yang sangat menyayangi Rahagi pun memujuk ayahnya untuk benar-benar mengadopsi Rahagi dan menyematkan nama Setiawan di belakang nama pria tersebut. Prita yakin, bila Rahagi bukan orang yang serakah akan harta. Dia pun semakin percaya bila sang adik angkat itu sangat cocok untuk menjadi menantunya. Sejak awal bertemu dengan Firda, Prita tidak menyukai perempuan itu. Seperti ada tembok penghalang dalam hati yang membuatnya sulit untuk menyukai perempuan tersebut. Hal yang sama juga dirasakannya saat bertemu dengan Adam. Sisi khawatir khas seorang mama membuatnya tidak bisa tulus menyukai pria bertubuh gagah tersebut. Prita makin meneguhkan niat menjodohkan putrinya dengan Rahagi, ketika sering didatangi oleh ibunya melalui mimpi. Rohana mewanti-wanti agar Prita menjauhkan Firda dan Adam dari keluarga mereka, serta menikahkan Milly dengan sang putra angkat. "Darling, berapa lama kalian akan tinggal di tempat pak Gandhi yang terhormat?" tanya Didi yang tengah memegangi garpu dan hendak mengambil potongan mangga. "Kayaknya sekitar sebulan." "Aduh, jadi aku sendirian dong di sini?" "Kan ada pak Mamat dan Pon yang nemenin." "Pon Nawasch artis itu?" Prita menggeleng pelan. Cara berpikir Didi yang ajaib itu kadang membuatnya harus sering-sering mengelus da*da. "Ponimin, ponakannya pak Mamat. Surti juga tiap pagi ke sini buat bersih-bersih dan masak buat kalian." "Aku boleh bawa adikku ke sini?" "Roby?" "Hu um." "Boleh. Mau ngajak Nana juga boleh." "Nana tidur di mana dong? Aku nggak mau sekamar dengan si cerewet itu." "Nana bisa tidur di kamar Milly." Didi manggut-manggut, kemudian membuka tas pinggang dan meraih ponsel. Menekan-nekan layar sentuh dan mendekatkan benda itu ke telinga kanan. Tak berselang lama dia sudah tenggelam dalam obrolan dengan Roby. Sementara itu di sebuah rumah berarsitektur khas Sunda, Rahagi tengah berbincang dengan guru besarnya yang bernama Salman. Pria tua itu mengingatkan Rahagi untuk tetap waspada terhadap berbagai macam serangan yang akan dikirimkan oleh pihak lawan. "Jadi Bapak kapan mau ke tempat mas Aldan, ngebersihin rumahnya. Mas Aldan keberatan kalau harus tinggal terlalu lama di tempat bapak kami," ungkap Rahagi. "Kemungkinan baru bisa dua minggu lagi, karena sekarang lagi musim panen. Bapak nggak bisa ninggalin para pekerja. Tau sendiri kalau nggak diawasi, mereka nggak benar kerjanya." "Iya, Pak. Saya paham." "Satu lagi, Ra. Kamu harus ingat buat ngelindungin istri." "Siap!" "Kalau bisa cepat-cepat hamil lebih bagus." Rahagi terbatuk-batuk karena kaget. "Anak kalian bisa membantunya menjadi lebih kuat." "Ehm ... kalau itu saya belum berani buat minta, Pak. Milly ... belum ngizinin saya buat ... ehm ...." Rahagi tidak bisa melanjutkan ucapan karena tawa Salman sudah bergema di ruangan tersebut. Rahagi tak urung juga ikut tersenyum lebar. Merasa malu dengan dirinya sendiri yang masih berusaha menepati janji pada sang istri. "Kamu ini, kayak pemuda tanggung aja. Gempur terus, nanti juga dia bakal luluh." "Itu juga kata mama dan papanya, Pak. Tapi saya udah telanjur janji sama Milly buat nggak nyentuh dia sebelum diizinkan." "Janji dibuat untuk dilanggar. Ingat itu!" * * Ucapan sang guru terus bergema di otak Rahagi. Sepanjang perjalanan menuju rumah bibinya, Rahagi tak henti-hentinya tersenyum. Dia tengah meneguhkan hati untuk menjemput haknya pada Milly, tak peduli bila nanti istrinya itu akan mengamuk. Setibanya di rumah Jamilah, Rahagi bingung ketika melihat tasnya sudah ada di ruang tamu, bersebelahan dengan dus berisi oleh-oleh khas kampung yang telah disiapkan Jamilah. "Pipit udah datang," ucap Jamilah sambil menyebut nama asistennya. "Kamu boleh pulang sekarang. Nggak baik pisah-pisah sama istri," lanjutnya. "Bibi ikut aja, ya?" ajak Rahagi untuk kesekian kalinya. "Nggak bisa, kerjaan bibi banyak di sini. Sekarang tugasmu yang ngejagain keluarga pak Gandhi." Rahagi enggan untuk berdebat dan akhirnya menuruti perintah sang bibi. Seusai bersantap siang dan tak lupa untuk menunaikan salat empat rakaat, Rahagi berpamitan pada Jamilah. Pria berambut tebal itu melajukan kendaraan dengan kecepatan sedang. Membayangkan ekspresi Milly yang bakal kaget melihatnya datang, tanpa sadar membuatnya membingkai senyuman. Beberapa jam kemudian, Rahagi sudah memasuki kamar Milly. Gadis itu tengah terlelap sambil memeluk boneka besar kesayangan. Rahagi memutuskan untuk membersihkan diri dan tidak mengganggu Milly. Pria itu mandi sambil bersiul. Merasa bahagia sekaligus berdebar-debar karena akan meminta hak-nya nanti pada Milly. Kala Rahagi keluar dengan setelan kebangsaan, celana pendek hitam dan kaus tanpa lengan hijau muda, tatapannya bersirobok dengan Milly yang ternyata sudah bangun dan tengah duduk di sofa. "Om kapan datangnya?" tanya Milly. "Sekitar satu jam yang lalu, ngobrol dulu sama mbak dan Didi di bawah, baru ke sini." "Katanya pulang besok." "Kenapa? Nggak suka saya di sini?" Milly menggeleng, kemudian mengulaskan senyuman agar Rahagi tidak tersinggung. "Bukan nggak suka, Om. Aku cuma kaget karena Om nggak ngabarin dulu." "Kalau saya ngabarin, kamu mau nyambut saya dengan pelukan?" Milly tertawa kecil, merasa lucu dengan gaya candaan Rahagi. Tawa Milly menghilang ketika Rahagi mendudukkan diri di sebelah kiri. Meraih tangan dan mengusapnya dengan lembut. "Saya pulang karena ... kangen sama kamu," ucapnya sambil mengerling pada Milly. "Rayuan gombal!" balas Milly. "Beneran kok. Nggak percaya?" Milly menggeleng, tetapi dia langsung terkesiap saat Rahagi memajukan tubuh dan langsung meraup bibirnya dengan sesapan rakus. ^^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN