PSD 07
Rahagi terbangun dan langsung bergerak duduk. Alarm di otak berbunyi kencang. Dia menyibakkan sarung yang tadi digunakan membungkus kaki, kemudian membuka resleting tenda. Ke luar dan jalan cepat menuju tenda sebelah kanan yang ditempati oleh Milly dan Eri di bagian tengah halaman.
"Mil, Milly," panggil Rahagi. Dia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada sesuatu yang mencurigakan di sekitar. "Milly!" ulangnya dengan suara sedikit lebih kencang.
"Ya?" jawab suara yang berbeda dari dalam tenda hijau itu.
"Eri, bangunin Milly. Pindah tidur ke kamar," pinta Rahagi.
Terdengar kasak kusuk di dalam, tak lama berselang seraut wajah mungil milik Milly muncul dengan mata yang masih belum terbuka sepenuhnya. Eri menyusul dari sebelah kanan Milly. Sama-sama memandangi Rahagi yang tengah menggerak-gerakkan tangan di samping tubuh.
"Om, lagi nari?" tanya Milly dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.
"Nggak, lagi nyamar jadi burung," jawab Rahagi asal. "Pindah gih!' titahnya tanpa menoleh.
"Kenapa harus pindah?" Milly kembali bertanya sambil merangkak ke luar dari tenda.
"Ada yang ngirim sesuatu."
"Apaan tuh?"
"Yang kayak dulu pernah dikirim ke rumah mas Al."
"Ehm, pizza?"
"Bukan."
"Kue ulang tahun?"
"Nggak ada yang ultah."
"Mobil baru?"
"Emang kamu ganti mobil?" celetuk Eri.
"Nggak sih, apa harus ganti lagi?" Milly menoleh pada sahabatnya yang membalas dengan mengangkat bahu.
"Bukan kiriman kayak gitu. Ahh, susah ngejelasin ama kalian," keluh Rahagi yang kini berbalik dan meletakkan tangan di atas kepala Milly.
"Om mau ngapain?" Milly tampak panik karena Rahagi tidak menjawab, melainkan hanya menutup mata sembari menggumamkan sesuatu.
"Mau melindungi kamu dengan doa," jawab pria itu beberapa detik kemudian. Rahagi memajukan tubuh dan meniup puncak kepala Milly berulang kali. Mengusapkan kedua tangan ke leher, pundak dan lengan Milly. Terakhir dia menarik tangan Milly dan meniupkan udara ke masing-masing telapaknya.
"Om, ada apa sih? Beneran jadi takut ini."
Rahagi memandangi Milly dengan lekat. Menimbang-nimbang dalam hati bagaimana caranya menyampaikan apa yang barusan dirasakannya pada Milly. Sebab tidak semua orang paham dengan supranatural.
"Kita omongin di dalam aja, ya." Rahagi melirik pada Eri yang langsung bergerak mengambil tas kecil berisi barang-barang penting milik Milly dan dirinya sendiri.
Pria itu masuk kembali ke tenda merah dan mengambil ponsel serta sarung. Memasang resleting penutup tenda, lalu berbalik ke tempat Milly, yang tengah memasuki tenda, mengambil bantal guling berbentuk ulat daun, mengepitnya di ketiak kanan, kemudian ke luar dan menerima uluran tangan Rahagi.
Keduanya melangkah menyusuri jalan setapak menuju dapur, Eri mengekori sambil menahan kantuk. Tidak ada satu orang pun yang ingat untuk membangunkan Didi dan mengajak pria gemulai itu pindah.
Kala melintasi ruang tengah, pintu kamar Jamilah terbuka dan perempuan tua itu memberikan kode dengan gerakan mata pada Rahagi yang dibalas anggukan. Jamilah masuk kembali dan mengenakan mukena. Bersimpuh memohon perlindungan dari Tuhan untuk sang keponakan dan Milly serta keluarganya.
Setibanya di kamar paling depan rumah, Rahagi membuka pintu dan mengajak Milly dan Eri masuk. Kedua gadis itu langsung menghempaskan tubuh ke atas kasur, sementara Rahagi menempelkan tangan ke dinding. Menyalurkan tenaga dalam hasil olah napasnya beberapa tahun lalu di sebuah padepokan silat. Berharap pagar doa itu bisa membantu melindungi mereka.
"Mil, sini." Rahagi mengajak Milly untuk berpindah ke kursi panjang yang berada di sudut kiri kamar.
Ketika Milly sudah duduk sambil menekuk lutut di sebelah kanan, Rahagi meminta ponsel milik Milly yang baru diambil gadis bermata sipit tersebut dari tas. Mengusap benda layar pipih itu dan menekan nomor teratas di daftar kontak.
Terdengar sapaan dari seberang telepon. Milly ikut mendengarkan ketika Aldan menjelaskan tentang hal yang barusan terjadi di rumahnya. Mata sipit gadis itu membeliak, kemudian mengambil alih ponsel dari Rahagi dan mencecar papanya dengan banyak pertanyaan.
*
*
Seulas senyuman tercipta di wajah seorang pria yang tengah duduk menghadap ke jendela besar. Memandangi langit pagi yang masih malu-malu mengeluarkan cahayanya. Bergerak naik untuk menggantikan posisi rembulan yang akan beristirahat.
Pria bertubuh tinggi itu menggoyangkan gelas di tangan, mendekatkan ke bibir dan meneguk sisa air hingga habis. Otaknya bekerja keras memantapkan rencana untuk mengacaukan pernikahan sang mantan kekasih yang baru diketahuinya kemarin pagi.
Adam Fatra, nama pria itu. Dia baru saja pulang setelah melakukan perjalanan ke Jepang. Dia sama sekali tidak menyangka bila Milly bisa lepas dari cengkeraman. Terlalu menganggap remeh kemampuan keluarga Milly untuk menjauhkan gadis itu darinya.
Dering ponsel mengalihkan perhatian Adam. Dia membalikkan badan dan menuju meja bulat kecil di dinding sebelah kanan apartemen. Meraih benda itu dan mengerutkan dahi, ketika melihat nama yang tertera di layarnya.
"Ya." Adam menyapa dengan suara dingin.
"Begitukah caranya menyapa rekan kerja?" tanya seorang perempuan di seberang telepon.
"Nggak usah basa basi, kamu mau apa?"
"Apa kamu sudah bergerak?"
"Ya. Kamu?"
"Nanti malam gilirinku berarti."
"Kalau nggak sanggup, aku masih mampu menghadapi mereka sendirian."
Tawa perempuan itu menguar, sementara Adam mengangkat alis dan memutar bola mata. Kalau bukan karena perempuan itu yang memberitahukan padanya tentang kabar terakhir Milly, dia tidak akan mau bekerjasama dengan perempuan berbisa itu.
"Jangan meremehkan mas Ra. Ilmuku aja nggak mempan," ucap perempuan itu sesaat setelah berhenti tertawa. "Apalagi sekarang mereka telah menikah, semakin sulit buatmu untuk merebut Milly," lanjutnya.
"Kamu juga jangan meremehkanku. Waktu itu aku terpaksa mundur karena harus menyempurnakan ilmu. Sekarang aku sudah lebih kuat dan siap untuk bertempur."
"Nggak usah buru-buru, ingat, mereka dibantu guru besarnya mas Ra."
"Tentu saja aku ingat akan hal itu. Karena aku nggak mau tersingkir kayak kamu yang lari terbirit-b***t saat semuanya terbongkar." Adam terbahak, bertambah kencang ketika mendengar bunyi telepon yang diputus sepihak.
Adam meletakkan benda itu kembali ke tempat semula, kemudian meneruskan langkah memasuki kamar. Menghempaskan tubuh ke kasur. Melipat tangan di belakang kepala. Kaki terjulur dan saling bertindihan. Menatap langit-langit kamar dengan senyuman melebar.
"Aku akan kembali mendapatkanmu, Milly!" desisnya sebelum menutup mata. Membayangkan wajah cantik Milly yang pernah menjadi miliknya, dulu.
Hubungan mereka hancur ketika keluarga Aldan berhasil membongkar rahasia tentang beberapa benda yang diberikannya pada Milly, untuk mengikat gadis itu hingga sulit berpaling darinya. Dua tahun dia menyusun rencana dengan matang, tetapi Rahagi menghancurkannya dalam hitungan minggu.
Adam tanpa sadar mengeraskan rahang. Merasa begitu geram pada sosok pria yang sejak awal sudah tidak menyukainya. Adam sama sekali tidak menyangka bila diam-diam Rahagi menyelidikinya, bahkan mengupah orang untuk membuntutinya ke mana-mana.
Adam menyesal telah mengabaikan perkataan gurunya yang pernah memberitahu bahwa dia harus hati-hati. Adam terlambat mengetahui bila Rahagi telah bergerak mengacak-acak kamar Milly dan menemukan berbagai benda kirimannya yang mengandung pemikat.
Saat semua rencananya terbongkar, Adam mengadu pada sang guru dan diperintahkan untuk pergi dari Indonesia selama beberapa waktu. Meskipun resikonya dia kehilangan Milly, tetapi Adam harus melakukan itu supaya dirinya bisa tetap selamat dan bisa mengatur strategi baru.
*
*
Suara kendaraan memasuki pekarangan membuat kelima orang yang tengah duduk-duduk di ruang tengah seketika penasaran. Eri yang posisinya lebih dekat dengan ruang tamu, segera jalan dan mengintip dari balik gorden. "Mikail!" pekiknya sambil membuka pintu.
Milly, dan Didi segera menghambur ke luar menyusul Eri. Sementara Rahagi membantu bibinya untuk berdiri dan menuntun perempuan tua tersebut ke teras.
Tampak Milly tengah berdebat dengan Mikail di dekat mobil. Wajah keduanya sama-sama merengut, dan semakin tampak mirip satu sama lain.
"Diajak masuk, Neng. Pamali tamu datang tapi langsung disambut omelan," ujar Jamilah dengan bijak.
Milly menunduk, merasa malu karena bertindak sembrono. Perkataan Jamilah ada benarnya, apalagi Mikail adalah kakak kandungnya. Meskipun tingkah laku Mikail sebenarnya lebih cocok menjadi adiknya Milly dibandingkan jadi kakak.
Seperti halnya Prita, Milly menjadi orang kedua di rumah yang sering adu argumen dengan Mikail. Hal ini kadang dipicu hal-hal sepele dan sebetulnya tidak perlu sampai beradu urat leher.
"Kamu diusir?" tanya Didi ketika melihat Mikail menyeret koper besarnya.
"Nggak sih, Om. Tapi aku memang berencana pindah dari rumah," jawab Mikail sembari menyalami Jamilah yang mengusap rambutnya dengan pelan.
"Pindah?"
"Hu um. Ini juga saran dari papa."
"Kakak mau pindah ke mana?" sela Milly.
"Ikut kalianlah," sahut Mikail. "Papa sama mama nanti juga nyusul," sambungnya.
"Ke rumah Om?" celetuk Eri.
"Bukan, ke rumah kakek. Iya kan, Om?" Mikail meminta persetujuan Rahagi yang membalas dengan anggukan.
"Kok jadi ke rumah kakek? Bukannya kita mau langsung ke rumah Om sepulang dari sini?" Milly tampak bingung dengan perubahan rencana yang tiba-tiba.
"Ini usul dari gurunya om, yang kemarin langsung mengerahkan bala bantuan ke rumah mas Al," terang Rahagi. "Kita untuk sementara waktu nggak bisa tinggal misah-misah. Nah, rumah bapak yang paling tepat buat dijadiin tempat tinggal sementara," lanjutnya.
"Lanjut ngobrol di dalam aja." Jamilah mengarahkan semua orang untuk masuk ke kediamannya.
Saat yang lain bergerak ke rumah, Milly justru menarik tangan Rahagi dan mengajaknya ke kursi santai di halaman depan. Segera setelah mereka duduk, Milly langsung mengutarakan hal yang menjadi sumbatan di hati.
"Di rumah kakek kita nggak bisa pisah kamar, Om!" desis Milly.
"Ya udah, sekamar aja. Saya tidur di kasur, kamu tidur di sofa," sahut Rahagi dengan raut wajah datar.
"Yee, enak di Om dong."
"Oke, gini aja, kamu tidur di kasur. Saya di tempat tidur."
Milly mengerutkan dahi, mencoba menganalisa ucapan Rahagi yang membuatnya bingung. "Ehh, itu kan sama aja, Om!" serunya sambil meninju lengan Rahagi dengan kesal.
Rahagi membiarkan Milly meluapkan emosi. Dia pun tidak menghindar dan hanya menepis serangan sang istri dengan sejumput tenaga. Membuat Milly gemas dan meningkatkan serangan.
Tiba-tiba Rahagi menangkap kedua tangan Milly dan mencekal pergelangannya. Mengarahkan tangan perempuan tersebut ke bawah dan memajukan tubuh. Milly refleks mundur tetapi terbentur tiang lampu yang berada tepat di sebelah bangku.
Rahagi mengulum senyum, sementara Milly menahan degup jantung kala pria berparas menawan itu mendekatkan diri hingga berhenti tepat di depan wajah Milly.
Pada tahan napas, ya? ^^