PSD 10
Milly menggeleng, tetapi dia langsung terkesiap saat Rahagi memajukan tubuh dan langsung meraup bibirnya dengan sesapan rakus.
Sejenak Milly merasa waktu seakan-akan berhenti. Cecapan penuh hasrat Rahagi membuat Milly sedikit takut. Dia menekan d**a sang suami dan mendorong dengan sekuat tenaga, hingga Rahagi yang merasa ditolak akhirnya menjauhkan diri sambil menatap Milly dengan mata mengilat.
"Apa-apaan sih, Om?" tanya Milly sembari menyipitkan mata.
"Saya cuma pengen ...." Rahagi tidak menyelesaikan kalimat karena tangan Milly sudah menutupi bibirnya.
"Ingat perjanjian kita, Om!" tegas Milly.
Rahagi menarik tangan gadis itu dan malah mengarahkannya ke bagian bawah tubuh. "Hati dan otak saya bisa ngerti buat nepatin janji. Tapi yang itu nggak paham!"
Milly membeliakkan mata dan buru-buru menarik tangannya. Jantung Milly jumpalitan dan merasa gelisah. Meskipun dia tahu bahwa tindakannya tidak tepat, tetapi rasa takut yang merajai hati mengalahkan logikanya.
"Saya pria normal dan sangat dewasa. Jadi sudah sepantasnya saya mendapatkan hak sebagai suami kamu, Milly," ucap Rahagi dengan suara yang dilembut-lembutkan.
Milly menggeleng pelan. Berbagai cerita tentang hubungan intim pertama kali itu rasanya menyakitkan bagi perempuan, bermain di benaknya bak film yang tayang berderet tanpa putus. Milly takut. Sangat takut.
Melihat reaksi Milly seperti itu membuat Rahagi mengalami dilema. Apakah akan terus meminta dengan sedikit paksaan, atau menunggu Milly siap dan menyerahkan diri dengan sukarela.
Pria itu menggeser posisi hingga berhadapan dengan televisi yang kini tengah menayangkan iklan alat pengaman hubungan intim yang makin membuatnya pusing.
Dengan tergesa Rahagi meraih remote dari atas sofa dan menekan-nekan tombol untuk mencari tayangan lain. Akan tetapi, semesta rupanya hendak bercanda dengan Rahagi. Hampir semua saluran televisi luar negeri itu menayangkan film beradegan dewasa yang membuat pandangannya berkunang-kunang.
Lelah dengan permainan tayangan film luar negeri berbahasa aneh itu, akhirnya Rahagi berdiri dan jalan memasuki kamar mandi. Kembali mengguyur kepala dengan semburan shower agar otaknya tidak mengebul, sekaligus menjinakkan senjata yang tadinya sudah siap tempur.
Milly menutupi wajahnya dengan bantal. Kebimbangan yang melanda membuatnya galau. Pada satu sisi Milly merasa bersalah telah menolak suami, tetapi di sisi lain dia masih ketakutan dengan apa yang diinginkan oleh pria tersebut.
Milly masih berada dalam posisi yang sama ketika Rahagi keluar dan jalan menuju lemari. Menarik ransel miliknya dan bergegas membuka pintu. Tanpa berkata apa pun, Rahagi meninggalkan Milly dan meneruskan langkah hingga berada di carport.
"Sayangku, mau ke mana?" tanya Didi yang tengah mengobrol dengan Surti dan Ati di teras depan.
"Mau pulang," jawab Rahagi sambil membuka pintu dan memasuki mobil.
"Pulang?" Didi berdiri dan jalan mendekat. "Ke rumahmu?" cecarnya.
"Iya, mau beres-beres rumah, kelamaan ditinggal pasti kotor."
Didi mengerutkan kening kala Rahagi menarik pintu mobil hingga tertutup dengan sedikit kencang. Bertambah bingung ketika pria tampan itu langsung menyalakan mesin dan memundurkan mobil tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Mamat yang berjaga di pos depan segera mendorong pagar besar itu hingga terbuka lebar. Mengangguk sambil tersenyum tipis ketika Rahagi menekan klakson sebagai tanda berpamitan.
Mobil Lexus keluaran terbaru itu melaju melintasi jalan. Pengemudi sengaja memacunya sedikit kencang untuk mengusir dentuman di hati dan kepala. Meskipun Rahagi pria penyabar, tetapi tetap saja merasa sakit bila ditolak.
Seperti halnya dulu, saat pikirannya terbuka dan tahu bila tengah dimanfaatkan oleh Firda. Rasa cinta yang tulus pada perempuan itu membuat Rahagi sempat buta dan mengikuti semua permintaan mantan istrinya tersebut.
Untunglah Salman kembali merengkuh muridnya itu dan membantu Rahagi hingga bisa membentengi diri lebih kuat. Hal itu tentu saja ada andil Jamilah di dalamnya, yang mendatangi kediaman Salman dan meminta bantuan agar Rahagi bisa melihat kesesatan Firda secara gamblang.
*
*
Milly baru menyadari bila Rahagi telah pergi setelah mendengar bunyi pagar yang didorong. Secepat mungkin Milly jalan menuju balkon dan hendak membuka pintu kaca besar itu tatkala mendengar raungan mesin knalpot mobil Rahagi yang menjauhi kediamannya.
Milly tertegun. Menatap hampa pada langit sore yang memudarkan sengatan mentari, tetapi masih menyisakan kehangatan. Sebongkah gumpalan dalam dadanya membuat Milly tercekat. Merasa bersalah telah mengecewakan orang yang selama ini gigih melindungi serta selalu memperlakukannya dengan baik.
Perempuan berkulit kuning langsat itu menutup mulut dengan tangan ketika embun di matanya makin menebal dan siap meluruhkan lelehan air. Susah payah Milly menahan, tetapi akhirnya anak sungai itu tumpah jua.
"Milly," panggil Prita yang baru saja tiba di lantai dua untuk membawakan minuman serta kudapan untuk Rahagi. "Kamu kenapa nangis?" tanyanya sambil celingukan. "Rahagi mana?" cecarnya sembari
meletakkan nampan di atas meja oval yang berada di tengah-tengah ruangan dan menghampiri sang putri.
Tangisan Milly semakin keras ketika Prita menarik tubuhnya dan mendekap erat. Tangan halus sang mama mengusap rambut dan punggung Milly dengan pelan.
"Ada apa, Sayang? Ayo, tenangkan diri dulu, habis itu cerita sama mama." Prita menepuk-nepuk punggung sang putri yang perlahan mereda tangisannya. "Kita ngobrol sambil duduk-duduk, yuk. Di teras belakang. Udah lama kita nggak ngerumpi," ajak Prita yang berusaha untuk menyabarkan diri agar tidak mendesak putrinya lebih jauh.
Milly mengangguk lemah. Menyusut sisa bulir bening dengan daster yang dikenakan Prita. Sang mama hanya bisa pasrah melihat kelakuan putrinya yang memang seunik dirinya sendiri.
Beberapa menit kemudian, kedua perempuan berbeda generasi itu sudah duduk di kursi teras atas yang sekaligus menjadi tempat gym dadakan keluarga tersebut.
"Rahagi nggak ngomong mau ke mana?" tanya Prita, sesaat setelah Milly selesai bercerita.
Milly menggeleng patah-patah.
"Kalian berantem?"
Milly mengangguk dengan gerakan seperti robot.
"Masalahnya apa? Kalau mama boleh tau sih. Kalau nggak boleh, mama tetap memaksa."
Milly mengerucutkan bibir. Gemas dengan sikap Prita yang memang tidak akan berhenti bertanya kalau belum puas dengan jawabannya.
"Itu, Ma. Ehm ... om Ra minta ... anu." Milly bingung hendak memberikan penjelasan, terutama karena tiba-tiba rasa malu menyeruak ke permukaan hati.
"Ra minta apa? Masakin makanan favorit?"
"Bukan."
"Pijitin?"
"Mirip itu, tapi beda tempat."
"Gimana? Mama nggak paham. Coba lebih detail lagi."
"Itu loh, Ma. Om Ra minta ...." Milly tidak jadi meneruskan ucapan ketika tiga wajah penasaran muncul dari balik pintu teras.
Ketiga orang tersebut seperti membentuk undakan tangga. Didi berjongkok di bagian paling bawah. Eri setengah merunduk di bagian tengah, dan Mikail berdiri dengan posisi tubuh miring di bagian paling atas.
"Pada ngapain di situ!" sentak Milly.
"Nguping," jawab Didi.
"Kepo euy," timpal Eri.
"Kalau aku cuma pengen tahu kalian ngomongin apaan," jelas Mikail.
"Sama aja kali itu artinya!" Milly merengut dan melipat tangan di depan dadaa. Merasa kesal karena niatnya untuk meminta saran dari Prita akhirnya gagal karena kehadiran trio kwek-kwek tersebut.
*
*
Detik demi detik berlalu dengan sangat lambat bagi Milly. Perempuan berparas cantik itu sudah berulang kali memastikan bahwa jam dindingnya berfungsi maksimal dan akurat. Akan tetapi, masih belum ada tanda-tanda akan datangnya orang yang ditunggu.
Milly sudah mengubah posisi tubuh hingga puluhan kali. Mulai dari duduk anggun, kemudian bersila. Berubah menjadi gaya khas orang-orang yang tengah bermain kartu di warung kopi, yaitu menekuk satu kaki ke atas sedangkan yang lainnya dalam posisi terlipat.
Bosan untuk terus duduk di sofa, akhirnya Milly berpindah ke karpet tebal di depan televisi. Menekuk kedua kaki dan menopangkan dagu di atasnya. Menatap layar televisi yang kali ini menayangkan film beradegan tarian khas negeri acha acha nehi nehi.
Ketika terdengar suara ketukan, Milly nyaris terlonjak. Bertambah terkejut kala pintu terbuka dan seraut wajah pria dewasa muncul seraya mengembangkan senyuman.
"Papa boleh masuk?" tanya Aldan yang dibalas Milly dengan anggukan.
Pria berkulit kecokelatan itu mengayunkan tungkai mendekati sang putri. Duduk dengan punggung melengkung di sofa sambil menumpangkan kaki kanan di lutut kiri. Menatap dalam-dalam wajah putri kesayangan yang telah lepas dari tanggung jawabnya sebagai seorang papa.
"Rahagi belum pulang?" tanya Aldan basa basi. Sebenarnya dia tahu kalau adik angkat sekaligus menantunya itu masih belum kembali.
"Iya," jawab Milly sambil menunduk. Dia tidak mau Aldan bisa menangkap sinyal-sinyal rasa bersalahnya pada sang paman yang kini telah berubah status menjadi suaminya.
"Udah ditelepon?"
"Belum."
"Kenapa?"
"Malu."
"Kok malu?"
"Ehm, itu, Pa. Om kayaknya ... sengaja ngejauhin Milly."
Aldan mengerutkan dahi. "Pengantin baru kok jauh-jauhan? Harusnya nempel mulu kayak masker di wajah mamamu."
"Emang papa sama mama dulu deketan mulu waktu baru nikah?"
"Ehm ... nggak setiap saat sih. Karena mama langsung dipecut nenek buat belajar masak. Jadi nempelnya kalau di kamar aja."
"Pa, apa papa sama mama dulu langsung .. anu .. apa sih namanya?" Milly memilin jemari. Merasa bingung hendak mengatakan apa yang ada di pikirannya.
"Anu apa? Main congklak?" seloroh Aldan.
"Bukan itu."
"Gundu?"
"Bukan, ihhh, Papa!" Milly menekuk wajah.
"Sepak takraw?"
"Au ahh!"
Aldan tergelak. Sebetulnya dia tahu arah pertanyaan sang putri. Aldan hanya ingin putrinya itu bisa jujur dengan kondisi pernikahannya yang belum melakukan ritual malam pertama.
"Emang kamu sama Ra, habis nikah itu ngapain?" Aldan bertanya balik, sengaja hendak menggoda Milly.
"Tidur," jawab Milly dengan jujur.
"Polosan atau masih pake baju?"
"Papa!"
"Hmm?"
"Nyebelin tau nggak!"
"Tinggal jawab aja, Mil. Jangan mengalihkan pembicaraan."
Derit pintu yang kembali terbuka membuat kedua kepala itu kompak menoleh. Rahagi sempat terkejut ketika melihat sosok kakak angkat sekaligus mertuanya ada di kamar Milly.
"Nah, karena orangnya udah datang, papa mau nanya langsung aja. Sini, Ra!" panggil Aldan sambil menepuk-nepuk kursi di sebelah kiri.
Rahagi melangkah masuk dan tak lupa untuk menutup pintu. Mengayunkan kaki menghampiri kedua orang yang tengah menunggu. Duduk dengan tubuh tegak dan berdiam diri. Menunggu Aldan mengajukan pertanyaan dengan hati yang berdebar.
"Mas ehh papa mau tanya. Jawab dengan jujur, ya, nggak perlu nutupin apa pun," tukas Aldan. "Apa kalian tidur terpisah?" tanyanya tanpa basa-basi.
Rahagi seketika menatap Milly yang balas memandangi dengan raut wajah bingung. Sepersekian detik kemudian Rahagi menjawab," Ya, kami memang tidur terpisah. Tapi masih satu kamar."
"Dengan kata lain anak papa masih bersegel."
Rahagi mengangguk mengiakan. Sementara Milly menunduk, merasa malu rahasianya terungkap oleh sang papa.
"Kamu kok kuat sih, Ra? Papa dulu main hajar aja langsung pas malam pertama."
Rahagi tercengang, sedangkan Milly langsung membeliakkan mata.
"Papa!" pekik Milly.
"Apaan?" balas Aldan.
"Ngomongnya sarkas amat."
"Laki-laki kan gitu, Mil. To the point. Nggak suka basa-basi."
"Iya, tapi jangan ngajarin Om yang enggak-enggak dong!"
"Nggak usah diajarin juga dia bukan amatiran. Ya kan, Ra?" Aldan terbahak sambil berdiri dan jalan menjauh. Tak peduli kedua orang yang ditinggal pergi sekarang tengah salah tingkah.
"Ra," panggil Aldan tepat di depan pintu.
Rahagi menengadah.
"Sikat aja langsung," sambung Aldan sebelum menutup pintu. Gelak tawanya masih terdengar meskipun dia telah menjauh.